Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (12/11/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Oleh: Hendra Friana - 17 Desember 2018
Dibaca Normal 1 menit
Sri Mulyani menilai pertumbuhan ekonomi Cina yang lagi ada penyesuaian dari sisi internal harus diwaspadai.
tirto.id - Neraca dagang Indonesia kembali tekor pada November 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit perdagangan pada bulan lalu itu mencapai 2,05 miliar dolar AS, terburuk sejak Juli 2013. Secara kumulatif atau dari Januari hingga November, defisit sudah mencapai 7,52 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, faktor yang membuat neraca dagang terjerembab cukup dalam adalah defisit migas yang mencapai 1,5 miliar dolar AS serta perdagangan nonmigas sebesar 583 juta dolar AS.
Musababnya, kata dia, adalah pergerakan harga pada sejumlah komoditas di bulan Oktober dan November.
“Harga minyak mentah Indonesia turun dari 77,56 dolar AS per barel pada Oktober 2018 menjadi 62,98 dolar AS per barel pada November 2018,” kata Suhariyanto, di kantornya, Senin (17/12/2018).
Sementara pada komoditas nonmigas, terjadi kenaikan harga pada coklat dan emas. Harga komoditas nonmigas yang mengalami penurunan, kata dia, adalah minyak kernel, minyak kelapa sawit, batu bara, dan nikel.
Di sisi lain, kata Suhariyanto, kinerja ekspor Indonesia anjlok sebesar 6,69 persen menjadi 14,8 miliar dolar AS dibandingkan Oktober yang tercatat sebesar 15,8 milar dolar AS.
Kinerja ekspor juga masih terbilang buruk secara year on year (yoy). Pada November 2017, misalnya, ekspor Indonesia tercatat sebesar 15,3 miliar dolar AS atau lebih besar 3,28 persen dibandingkan November tahun ini.
Peneliti dari Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Nailul Huda menyebut kinerja ekspor yang minus juga merupakan dampak dari perang dagang antara Amerika dan Cina.
Selama periode Januari hingga November 2018, kata Nailul, Cina dan Amerika memang jadi dua negara tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan total masing-masing ekspor senilai 22,7 miliar dolar AS dan 16,1 miliar dolar AS.
Namun demikian, kata Nailul, permintaan sektor nonmigas dua negara tersebut pada November tercatat menurun secara month-to-month (mtm), yakni sebesar 369,7 persen ke Cina dan 77,3 persen ke Amerika.
Sementara ekspor nonmigas November 2018 ke 13 negara tujuan dan Uni Eropa (28 negara) hanya sebesar 13,46 miliar dolar AS, turun 6,25 persen dibanding Oktober 2018. Sementara bila dibanding ekspor nonmigas pada November 2017, penurunannya tercatat sebesar 4,12 persen.
“Yang bisa dilakukan pemerintah terkait perang dagang pasti menyiasati kekurangan pasokan barang baik dari Amerika maupun dari Tiongkok. Seperti CPO yang harusnya bisa mengisi kekurangan pasokan akibat pengenaan tarif soybean dari Amerika ke Tiongkok,” kata Nailul.
Waspadai Cina
Terkait hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membenarkan jika melemahnya kinerja ekspor memang disebabkan oleh faktor eksternal.
Menurut Sri Mulyani hal itu harus diwaspadai. Sebab, kata dia, "pertumbuhan ekonomi Cina lagi ada penyesuaian dari sisi internal atau karena ada perang dagang dengan AS.”
Selain itu, kata Sri Mulyani, ada pula komoditas ekspor yang memang sensitif terhadap isu-isu non-ekonomi, sehingga berdampak pada pengurangan permintaan di negara-negara Eropa.
Melihat kondisi global yang diliputi ketidakpastian ini, kata Sri Mulyani, pemerintah terus memperkuat daya saing ekspor dengan memberikan insentif kepada eksportir agar gairah sektor perdagangan tidak melemah.
"Ekspor dipacu dari sisi daya kompetisi kita, melalui berbagai kebijakan untuk mendukung, seperti insentif. Namun kami perlu memahami, dinamika pasar global sedang sangat tinggi atau tidak menentu,” kata dia.
Dari sisi impor, kata Sri Mulyani, pemerintah akan melakukan kajian lebih mendalam atas kebijakan pengurangan impor yang sudah diterbitkan, seperti peningkatan tarif PPh impor.
"Untuk sektor lain, migas dan nonmigas harus tetap perhatikan kemampuan industri dalam negeri untuk menghasilkan subtitusi, jadi kita tetap fokus dalam porsi itu,” kata Sri Mulyani.
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz
Komentar
Posting Komentar