MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)

 KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Kalam bapak Dr. Ismakun Ilyas, MA. Yang telah banyak memberikan ilmunya kepada kami.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada siapa saja yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulis mengaku banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ataupun isi dalam makalah ini, oleh karena itu penulis memohon bantuan kritik dan saran kepada pembaca, guna menambah pengetahuan kami, agar kami dapat menjadi yang lebih baik lagi.



Penulis



DAFTAR ISI
Kata pengantar ................................................................................................................................ i
Daftar isi ........................................................................................................................................ ii
BAB l  PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.      Latar Belakang Permasalahan ............................................................................................ 1
2.      Rumusan Masalah .............................................................................................................. 1
3.      Tujuan Pembahasan ........................................................................................................... 1
BAB ll PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2
A.    Pengertian Khalaf dan Ahlussunnah .................................................................................. 2
B.     Al-Asy’ari
1.      Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari .............................................................................. 2
2.      Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari ............................................................................ 3
C.     Al-Maturidi
1.      Riwayat Hidup Singkat Al-Maturidi ............................................................................ 4
2.      Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi .......................................................................... 5
BAB lll PENUTUP ........................................................................................................................ 9
A.    Kesimpulan ........................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 10


BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang
Di dunia ini islam telah terbagi ke dalam beberapa golongan. Golongan ini tidak sedikit jumlahnya, akan tetapi yang menarik perhatian kami untuk jadikan pembahasan dalam makalah ini adalah ahlussunah wal jama’ah. Di dalam makalah ini kami ingin membahas apa sebenarnya yang di maksut dengan ahlussunah wal jama’ah, dan prinip-prinsip yang di pegang oleh ahlussunah wal jama’ah.

B.          Rumusan Masalah
1.      Apa sebenarnya ahlussunah wal jama’ah itu ?
2.      Siapa Al-Asy’ari?
3.      Bagaimana doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari?
4.      Siapa Al-Maturidi?
5.      Bagaimana doktrin-doktrin Al-Maturidi?

C.         Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui dan memahami ahlussunnah.
2.      Mengetahui sejarah ringkas Al-Asy’ari.
3.      Mengetahui doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari.
4.      Mengetahui sejarah ringkas Al-Maturidi.
5.      Mengetahui doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ahlussunnah
Kata Khalaf bisanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad 3H, dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Menurut Siradjuddin Abbas, Ahlussunnah ialah penganut sunnah Nabi Muhammad saw. Sedangkan Wal jama’ah ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad jama’ah sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw.[1]
Dari beberapa definisi diatas, maka ungkapan Ahlussunnah atau yang sering disebut Sunni ini dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umzsum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari kelompok mu’tazilah. Pengertian Sunni secara khusus inilah yang akan kami pakai dalam pembahasan selanjutnya,yang mana nama Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
B.     Al-ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari atau yang sering disebut dengan Syekh Abu Hasan ‘Ali al-asy’ari. Beliau dilahirkan di Bashrah Irak pada tahun 260 H/875 M, dan wafat ketika hijrah di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecilnya, ia berguru pada seorang tokoh mu’tazilah terkenal yang bernama Al-Jubbai. Aliran ini terus diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku ke-mu’tazilahan.[2]
Menurut suatu riwayat, ketika ia berumur 40 tahun, ia mengasingkan dirinya dirumahnya selama 15 hari. Setelah itu ia pergi ke masjid besar Bashrah dan melontarkan kata-kata sebagai berikut: ”Saya tidak lagi mengikuti paham aliran mu’tazilah dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.” Boleh jadi, ia telah lama mengadakan peninjauan terhadap paham mu’tazilah, dan tempo 15 hari tersebut merupakan puncaknya, sebab sebelumnya ia banyak mengadakan perdebatan-perdebatan dengan gurunya tentang dasar-dasar paham aliran mu’tazilah.[3]
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyyah ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain; al-Baqillani, ibnu Faurak, ibnu ishak al-isfaraini, Abdul kahir al-Baghdadi, imam al-haramain al-juwaini, abdul mudzaffar al-isfaraini, Al-Ghazali, ibnu Tumart, as-Syihritsani, ar-Razi, Al-Iji, al-Sanusi.
Doktrin-doktrin Al-Asy’ari yang terpenting adalah :

    Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat (bertentangan dengan mu’tazilah) yang tidak identik dengan zat-Nya. Sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk. Ia juga menyatakan bahwa orang yang meyakini keberadaan sifat-sifat Tuhan itu bukan termasuk musyrik, karena sekalipun dengan sebutan yang berbeda, akan tetapi sifat tersebut menyatu dengan zat, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al-Asy’ari:
فَيَثْبُتُ هذه الصِّفَاتُ قَائِمَةً بِالذَاتِ لَا هِيَ هُوَ وَلَا هِيَ غَيْرُهُ
“Sifat itu tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat, dan bukan pula lain dari zat”.
2.      Kebebasan Dalam Berkehendak
Menurut Asy’ariyah, kehendak Allah itu maha meliputi. Allah juga maha berkuasa, maka Dia berhak untuk tidak menjalankan janji-janji maupun ancamannya. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, dan manusia hanya memperoleh perbuatan tersebut.
3.      Kriteria Baik dan Buruk
Al-Asy’ari mengatakatan bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada keterangan syari’ah atau petunjuk wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.

4.      Qodimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari mengataka bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan atau dilihat dengan cara dan arah tertentu. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6.      Keadilan
Pada dasarnya, Al-Asy’ari sependapat dengan mu’tazilah bahwa Allah itu adil. Mereka berbeda pendapat dalam memaknai keadilan. Menurut mu’tazilah, Allah harus seimbang dalam memberikan pahala amal perbuatan manusia. Sedangkan menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
7.      Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Oleh karena itu, mukmin yang fasik itu berada pada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dan memasukkannya kedalam surga. Dan jika berkehendak lagi, maka Allah akan menyiksa kefasikannya kemudian memasukkannya ke surga.[4]

C.    AL-MATURIDI
Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi dilahirkan di Samarkand (daerah Uzbekistan, sovyet) pada pertengahan abad ketiga hijrah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. dan wafat tahun 333 H. tidak banyak diketahui riwayat hidupnya.
Ia mencari ilmu pada pertiga akhir dari abad ketiga hijrah, dimana aliran mu’tazilah mulai mengalami kemunduran. Diantara gurunya adalah Nashr bin yahya al-Balakhi (wafat 268H). Pada masa al-Maturidi, terjadi perdebatan antara aliran fiqh hanafiyah dan fiqh syafi’iyyah. Dan dalam masalah fiqh, maturidi mengikuti madzhab hanafi.
Ia adalah pengikut abu hanifah, faham-faham teologinya banyak persamaan dengan faham-faham Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Manshur termasuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah.
Kebanyakan ulama’ maturidiyyah terdiri dari orang pengikut aliran fiqh hanafiyyah, seperti; Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-Nasafi, Ibnul Hummam, dan lain-lain.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi adalah sebagai berikut:
1.      Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
3.      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjukajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
2.      Perbuatan        manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya.
3.      Kekuasaan dan kehendak mutlak       Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt.
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4.      Sifat    Tuhan
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.

5.      Meliha t           Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
6.      Kalam  Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.
7.      Perbuatan        manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
1.      Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2.      Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

8.      Pelaku dosa     besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
9.      Pengutusan      Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ahlussunnah (Sunni) dapat dibedakan menjadi 2 pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari kelompok mu’tazilah.
Ajaran Ahlusunnah meliputi:
a. Bahwa sesungguhnya mereka tidak meniadakan sifat-sifat Allah yang telah disifatkan oleh-Nya, dan tidak mengajukan pertanyaan “bagaimana itu” dan tidak menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
b. Bahwa mereka beri’tikad (berkeyakinan) bahwa Allah SWT tidak ada yang melebihi, tidak dapat disaingi dan tidak bisa diukur dengan makhluk-Nya.
c. Dan Alus sunnah mereka tidak menyimpang dari apa yang dibawa para Rasul dari hadirat Tuhan seru sekalian alam.
d. Pendapat dalam penetapan sifat terhadap Allah SWT, bagi Ahlus sunnah, seperti pendapat mereka tentang dzat Allah yang berbeda dari makhluk-Nya.
e. Sifat-sifat Allah dalam al-Quran banyak sekali, begitu pula dalam sunnah rasul Saw, kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan hakikat-Nya tidak bisa dicapai oleh akal manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Balukia Syakir. Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bandung: Sinar Baru. 1992.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:  UIP. 1986.
http://duniacemoro.wordpress.com/2012/03/19/ilmu-kalam/
M Afrizal, Ibn Rusyd Tujuh. Perdebatan Utama Dalam Aliran Islam. Jakarta: Erlangga. 2006.

[1] Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992.
[2] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Klam, Bandung : Pustaka setia, 2012, hlm. 146
[3] Sahidin Ahmad, Aliran-Aliran Dalam Islam, Jawa Barat, Salamadani, 2009.
[4] Ibid, hlm. 2.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

TAFSIR DAN ASBABUN NUZUL SURAT AL-MAIDAH AYAT 67