Nasib Perempuan Sebelum Islam Datang
Sebelum datangnya Islam, umat manusia sudah mempunyai beberapa peradaban besar yang sudah berkembang terlebih dahulu. Seperti peradaban Yunani Kuno, Romawi, Yahudi, Arab pra Islam dan peradaban lainnya.
Peradaban Yunani Kuno, adalah peradaban yang banyak melahirkan para filosof. Namun hak dan kewajiban perempuan tidak banyak terakomodir.
Di kalangan elite Yunani Kuno, para perempuan ditempatkan atau hanya berada di dalam istana saja. Tidak memiliki akses untuk ikut andil di luar istana. Sedangkan dikalangan masyarakat bawah atau di luar istana, perempuan hanya menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Perempuan pada masa ini, bahkan tidak memiliki hak-hak sipil dan hak waris.
Di masa Yunani Kuno, perempuan dipaksa melakukan hal yang tidak melalui persetujuannya. Karena persetujuan tersebut dianggap tidak perlu. Seorang perempuan harus tunduk kepada orang tuanya, termasuk dalam hal pernikahan sekalipun.
Setidaknya ada 3 klasifikasi perempuan dalam peradaban Yunani Kuno. Pertama, para perempuan yang bertugas hanya sebagai pemuas hawa nafsu laki-laki. Kedua, para perempuan yang bertugas menjadi selir dan merawat tubuh tuannya. Ketiga, para isteri yang bertugas merawat dan mendidik anaknya layaknya seorang pengasuh bukan layaknya seorang ibu.
Kedudukan perempuan kurang lebih hanya berputar pada hal-hal tersebut saja. Dalam peradaban Romawi, perempuan dianggap sebagai seorang balita atau anak remaja yang harus selalu diawasi.
Dalam peradaban Romawi, jika perempuan sudah menikah maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan suami. Termasuk ketika seorang perempuan melakukan kesalahan, maka suami bebas memberikan hukuman apa saja.
Bahkan dalam tradisi masyarakat Romawi, perempuan dianggap tidak ada dan tidak masuk hitungan dalam berbagai penyelesaian masalah dalam kehidupan. Hal tersebut muncul, karena perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki.
Di kalangan masyarakat Kristen di zaman dahulu, perempuan juga mengalami penindasan. Salah seorang sejarawan Kristen terkenal yang bernama Lecky, mengungkapkan bahwa kemarahan penulis-penulis Kristen membentuk suatu tulisan yang lucu, yaitu bahwa perempuan adalah derita manusia, dan perempuan harus menjalani hukuman selama hidupnya, sesuai dengan kutukan yang dibawanya ke dunia.
Dalam hasil konferensi Kristen abad ke-5, sebagaimana yang dijelaskan Said Abdullah dalam bukunya Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah. Konferensi tersebut merumuskan bahwa perempuan tidaklah mempunyai jiwa dan kediamannya di neraka, kecuali ibunda Isa Al-Masih. Perempuan hanya diciptakan sebagai pelayan dan hanya untuk keuntungan kaum laki-laki semata.
Dalam peradaban India, peraturan yang berhubungan dengan hak waris hanya diturunkan kepada kaum laki-laki saja dan tidak pada perempuan. Pada masa itu, perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan sumber dari kerusakan akhlak dan agama. Bahkan seorang istri di India, terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan yang mulia atau tuan.
Begitu juga dengan masyarakat Yahudi. Beberapa kepercayaan Yahudi memandang wanita makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Bahkan, lebih rendah dibawah seorang pembantu laki-laki. Dalam hak waris, perempuan juga tidak mempunyai hak warisan apapun dari orang tuanya, selama masih memiliki saudara laki-laki. Perempuan tidak mempunyai hak untuk membela dirinya, dari berbagai tindak kekerasan, sekalipun itu berasal dari suaminya.
Di kalangan masyarakat Persia, sebelum datangnya Islam. perempuan dilarang menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki berbagai macam baju besi. Bahkan dalam kondisi haid, perempuan dilarang berada ditempatnya dan harus hijrah ke tempat yang jauh, dan tidak boleh dijenguk kecuali yang memberi makanan saja.
Perempuan di masa masyarakat Arab pra Islam, atau yang sering disebut Arab Jahiliyah, juga memandang begitu rendah kaum perempuan. Bahkan bagi orang Arab waktu itu, ketika mempunyai atau melahirkan seorang anak perempuan wajib dikubur hidup-hidup. Karena mempunyai anak perempuan adalah aib besar pada waktu itu.
Tradisi Arab pra Islam, sejatinya mempunyai dua cara dalam menerima kehadiran seorang perempuan. Mayoritas mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, dan yang lainnya tetap membesarkannya.
Hanya saja diperlakukan tidak adil, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan pada masa Arab pra Islam, seorang istri bagaikan sebuah harta benda yang dapat diwariskan. Jika suami meninggal dunia, maka anak laki-laki mempunyai hak penuh atas diri mereka. Termasuk menikahinya, ataupun menikahkan dengan laki-laki lain.
Perempuan Arab pra Islam berada pada level yang begitu hina dan sangat rendah. Karena mereka menjadi simbol keterbelakangan dan kehinaan.
Era Jahiliyah adalah titik hitam peradaban perempuan, seperti sungai yang mengering dan padang rumput yang tandus. Sangat jarang sekali ditemukan seorang perempuan yang unggul pada masa ini.
Sebelum datangnya Islam, kedudukan perempuan di beberapa peradaban hampir sama. Jika sampai saat ini nasib perempuan tidak jauh beda dengan pra-Islam, lalu apa bedanya kita dengan peradaban jahiliyah itu?
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar