PENGARUH MAKSIAT PADA KADAR KEIMANAN
PENGARUH MAKSIAT PADA
KADAR KEIMANANOleh : SAIFULLAH, S.Pd
Marilah kita jadikan
pertemuan kita di tempat yang mulia ini, di hari yang mulia ini, dan di waktu
yang mulia ini, sebagai penumbuh dan penambah iman dan takwa kita kepada Allah
Ta’ala. Karena iman dan takwa adalah sebaikbaik bekal kita untuk mengharungi
kehidupan dunia ini sebelum kehidupan akhirat kelak. Firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa”(AlBaqarah: 197)
Sudah
menjadi ketentuan di dalam kehidupan, bahwa kita sebagai makhluk dihadapkan
kepada dua perkara didalam menjalani kehidupan dunia ini. Tergantung kepada
kita apakah kita akan menjadikan dunia ini sebagai ladang kebaikan untuk negeri
akhirat atau sebaliknya, maka dunia ini malah menjadi awal dari kebinasaan dan
kehancuran kita di negeri akhirat kelak. Manusia yang berhasil adalah manusia
yang mampu menjadikan kehidupan yang hanya sekali ini untuk meraih kebahagian
dunia dan akhirat.
maka alangkah gagalnya
dan ruginya manusia yang hanya menjadikan kehidupan dunia ini untuk meraih
kebahagian sementara dan melupakan kebahagian abadi. Manusia yang sukses adalah
manusia yang mampu menjamin dirinya akan meraih kebahagiaan setelah ia
meninggalkan dunia ini, namun sebaliknya alangkah sayangnya jika dunia ini semata
menjadi misi utama kehidupan kita sekarang ini.
Sebagai manusia yang
diberikan akal dan nafsu oleh Allah swt, maka kita sangat berpotensi untuk
melakukan dua hal, yaitu potensi fujur (kecenderungan berbuat maksiat dan dosa)
karena mengikuti dorongan nafsu dan potensi takwa karena mengikuti kepada
cahaya Iman, Ilmu dan Akal.
Potensi yang terdapat
pada diri seorang hamba itulah yang kemudian berkembang dari hari ke hari,
mulai dari perkembangan pada individu maupun perkembangan secara sosial.
Bersyukurlah kita, apabila yang berkembang di dalam diri setiap individu adalah
ketakwaan yang akan berpengaruh positif bagi kehidupan.
Sebaliknya, hanya
kepada Allah ‘Azza wa Jalla kita mampu berlindung ketika yang berkembang pada
diri setiap individu adalah sifat fujur yang akan tampak melalui
kemaksiatankemaksiatan yang menodai kehidupan kita. Karena sesungguhnya
kemaksiatan itu hanya akan memurukkan kita ke dalam lembah kahinaan dan
kenistaan. Ia akan menjadikan kita menjadi sesosok hamba yang tidak berharga di
hadapan Allah swt maupun makhluk. Kemaksiatan juga yang akan
memporak-porandakan kehidupan yang semestinya kita hiasi dengan ketakwaan.
Implikasi dari
kemaksiatan yang dilakukan dalam kehidupan sesungguhnya akan sangat berpengaruh
dalam keseharian kita, baik pengaruh yang dirasakan oleh individu secara
langsung maupun pengaruh di tengah kehidupan.
Akibat dari maksiat
sesungguhnya menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi seorang hamba, namun
kenikmatan sesaat dalam melakukan kemaksiatan tersebut, terkadang menjadikan
pelaku maksiat terbuai dan lalai dalam kehidupannya.
Hal yang paling utama
digerogoti oleh kemaksiatan adalah keimanan. Keimanan akan menurun bahkan
hilang sama sekali disebabkan oleh kemaksiatan, seorang yang beriman kepada
Allah swt, tentunya tidak akan berani melakukan pelanggaran dengan melakukan
maksiat terhadap Allah swt, sebagaimana sabda Nabi saw didalam sebuah hadits
riwayat Bukhari-Muslim:
Abu Hurairah r.a.
berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang pelacur di waktu
berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di waktu minum jika
ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang
beriman, dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orangorang
membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman.
(Bukhari-Muslim).
Namun ketika nafsu
lebih berperan, maka ketakutan terhadap ancamanancaman Allah hilang seketika
dan berganti dengan pesona-pesona kenikmatan dunia yang menjadikan mereka
menjadi makhluk hina. Tidak hanya cukup sampai di situ, tetapi Allah melaknat
mereka dengan kematian hati mereka. Apalah artinya hidup ini, jika kita hanya
menjadi seonggok daging yang berjalan di permukaan bumi ini dengan ketiadaan
iman dan matinya hati menjadi keras membatu. Allah berfirman.
“Tetapi mereka
melanggar janjinya, maka kami melaknat mereka, dan kami jadikan hati mereka
keras membatu. Mereka suka mengubah firman Allah dari tempatnya, dan mereka
(sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau
(Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok
kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan
biarkan mereka. Sungguh menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Maa’idah:
13).
Hukuman yang Allah
berikan kepada mereka adalah: Pertama, Allah melupakan mereka. Kedua, Allah
menjadikan mereka lupa diri. Allah melupakan mereka berarti
Allah membiarkannya, meninggalkannya sendirian, dan menyia-nyiakannya bahkan
meninggalkannya tanpa keimanan. Jika kondisinya demikian, maka kehancuran dan
kebinasaan lebih dekat kepada dirinya daripada tangan dan mulutnya sendiri.
Sedangkan kelupaannya
kepada dirinya sendiri berarti ia melupakan hak dan tanggung jawab dirinya
terhadap dirinya dan Allah, ia tidak lagi peduli dan ingat dengan faktor-faktor
tersebut atau mengalihkan perhatian darinya. Akibatnya ia tak lagi senang
dengan semua bagian kebaikan tersebut.
Selain dari melemahkan
hati dari kebaikan, tertutupnya hati seorang hamba juga sebaliknya akan
menguatkan kehendak untuk berbuat maksiat yang lain. Merasa enak melakukan
sebuah perbuatan maksiat, sehingga terpancing untuk melakukan kemaksiatan yang
lain hingga terakumulasi dalam sebuah kebiasaan yang tak tertinggalkan, dan
pada akhirnya menjadi pemutus keinginan untuk bertobat. Inilah yang akan
menjadi penyakit hati yang paling besar. Allah SWT berfirman,
“Bahkan apa (dosa) yang selalu mereka usahakan itu telah menutupi hatihati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14)
Ada kerugian yang tidak
kalah pentingnya diperhatikan oleh seorang pelaku maksiat, yakni tercabutnya
ilmu dan hilangnya hafalan atau ingatan kepada pengetahuan. Ilmu adalah cahaya
yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan dalam hati dapat menghalangi
dan memadamkan cahaya tersebut. Ketika Imam Malik melihat kecerdasan dan daya
hafal Imam Syafi’I yang luar biasa, beliau (Imam Malik) berkata, “Aku melihat
Allah telah menyiratkan dan memberikan cahaya di hatimu, wahai anakku.
Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.”
Begitulah pesan agung sang
imam kepada muridnya, pesan yang menyiratkan makna kekhawatiran yang mendalam
terhadap pengaruh maksiat kepada ilmu pengetahuan. Pesan yang mengingatkan kita
kepada ayat Allah,
“Dan barangsiapa yang berpaling dari
peringatanKu, maka sesungguhnya dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan
Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, “Ya
Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku
dapat melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu
ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu pula pada hari ini kamu
diabaikan.” dan demikianlah Kami membalas orangorang yang melampaui batas dan
tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, azab di akhirat itu lebih
berat dan lebih kekal.”
Demikianlah Allah Maha
Teliti dengan kemaksiatan yang kita lakukan dan dengan apa yang telah
dikaruniakan-Nya kepada makhluk-Nya. Tiada keraguan di sisi Allah untuk
mencabut kembali apa yang telah diberikan kepada hamba-Nya, ketika sang hamba
tidak lagi taat kepada-Nya, namun justru bermaksiat kepada-Nya.
Komentar
Posting Komentar