Kemenangan Palestina atas Israel
Kemenangan Palestina atas Israel
Jakarta - Stasiun televisi al-Ajazeera mengabarkan setidaknya 100.000 warga Palestina merayakan kemenangan atas kebebasan beribadah di Masjid al-Aqsa. Ya, Kamis, 27 Juli lalu memang momen penting dalam sejarah Palestina. Ini momen kemenangan Palestina atas Israel.
Khaled al-Hurub, analis Timur-Tengah di Harian Al-Hayat, memotret peristiwa besar kemenangan Palestina atas Israel dalam krisis di Masjid al-Aqsa dengan dua analisis yang menarik. Pertama, lahirnya perlawanan warga Palestina yang terbilang autentik dan genuine. Pasalnya, selama ini sekat-sekat politik yang menyelimuti awan politik Palestina telah melemahkan, bahkan melumpuhkan gerakan perlawanan menuju kemerdekaan Palestina.
Jalan buntu meneguhkan kedaulatan Palestina tidak hanya disebabkan faktor-faktor eksternal semata. Faktor kusutnya politik internal faksi-faksi Palestina menjadi batu sandungan yang serius dalam membingkai formulasi negara Palestina yang mampu memayungi seluruh kepentingan dan melindungi seluruh warga.
Friksi antara faksi Hamas dan Fatah yang tak kunjung selesai jadi masalah serius yang dihadapi Palestina untuk mewujudkan kemerdekaan. Beberapa upaya sudah dilakukan untuk mencari titik-temu dan jalan tengah di antara kedua belah pihak, tapi sampai sekarang masih menemukan kebuntuan, bahkan tidak ada solusi yang mujarab.
Munculnya perlawanan warga yang bersifat massif dalam krisis politik antara Palestina dan Israel di Masjid al-Aqsa pekan lalu telah melahirkan sebuah corak perlawanan baru Palestina. Yaitu perlawanan warga yang autentik, mengedepankan kepentingan bersama Palestina. Perlawanan dari warga tanpa membawa bendera politik, baik Fatah maupun Hamas.
Egoisme kelompok dan golongan terkubur. Yang muncul adalah kepentingan bersama Palestina untuk mempertahankan hak beribadah dan memperjuangkan Masjid al-Aqa sebagai kota suci umat Islam. Tidak ada rudal dan bom bunuh diri yang diledakkan untuk melawan kezaliman Israel terhadap Masjid al-Aqsa.
Kedua, tumbuhnya keberagamaan yang bercorak kebangsaan (al-tadayyun al-wathany). Yang istimewa dalam perlawanan warga Palestina terhadap sikap sewenang-wenang Israel dalam menjamin hak kebebasan beribadah di Masjid al-Aqsa tidak hanya datang dari umat Islam, melainkan juga datang dari kalangan Kristiani. Mereka bahu-membahu dengan umat Islam menentang kebiadaban Israel.
Bahkan, warga yang tumpah ruah di kawasan Masjid al-Aqsa tidak terlihat membawa simbol-simbol keagamaan. Mereka hadir sebagai warga Palestina yang bergerak bersama memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan.
Jerusalem merupakan kota suci agama-agama samawi. Sejak dahulu kala, Jerusalem dipertahankan sebagai tempat yang menginspirasi kedamaian di bawah cahaya iman agama-agama samawi. Tidak jauh dari Masjid al-Aqsa terdapat Gereja Makam Kristus dan Tembok Ratapan. Barangsiapa yang berziarah ke Jerusalem, maka ia tidak hanya berziarah ke satu tempat suci, tetapi juga bisa berziarah ke tempat suci agama-agama samawi lainnya. Itulah keutamaan Jerusalem.
Jerusalem merupakan sumber inspirasi untuk mewujudkan perdamaian. Dan, umat agama-agama samawi --Yahudi, Kristen, dan Islam-- sejatinya dapat menjadi teladan untuk membumikan perdamaian, sebagaimana sudah terbukti berabad-abad di Jerusalem. Israel semestinya belajar dari sejarah Jerusalem yang di dalamnya terdapat simbol yang nyata tentang agama sebagai sumber kedamaian, bukan kekerasan dan penindasan.
Perlawanan warga Palestina dari berbagai agama tersebut sebenarnya peringatan keras bagi Israel agar tidak seenaknya menganeksasi Masjid al-Aqsa, karena mereka tidak hanya berhadapan dengan umat Islam, melainkan seluruh umat agama-agama. Jerusalem adalah wahyu Tuhan tentang perdamaian di muka bumi. Jerusalem akan selalu menjadi ayat Tuhan di alam raya ini (ayat kawniyyah) agar setiap umat agama-agama samawi dapat mewujudkan perdamaian.
Meskipun demikian, kemenangan Palestina atas Israel dalam perlawanan untuk menjamin kebebasan beribadah dan mempertahankan kedaulatan Palestina atas Masjid al-Aqsha masih belum menjadi episode akhir dari sebuah perjuangan.
Sejak kekalahan dalam perang tahun 1967, Israel terus bermanuver untuk menguasai Masjid al-Aqsa secara total. Israel memberikan mandat kepada Jordania untuk menjadi pemegang otoritas atas Jerusalem Timur, termasuk kawasan Masjid al-Aqsa. Lembaga Wakaf Islam diberi mandat khusus untuk mengelola Masjid al-Aqsa.
Fakta ini membuktikan, bahwa Palestina tidak mempunyai kewenangan penuh atas Masjid al-Aqsa. Israel terus bermanuver untuk memastikan Masjid al-Aqsa berada di bawah otoritasnya. Pemasangan alat pemindai metal dan alat pengawas di Masjid al-Aqsa menjadi instrumen Israel untuk memastikan kekuasaannya atas masjid tersebut.
Sejak tahun 80-an, sayap kanan dan garis keras Israel membuat agenda besar untuk mengubah peta Masjid al-Aqsa, bahkan jika memungkinkan Israel merencanakan penghapusan penuh atas situs-situs bersejarahnya, seperti Masjid Qibli dan Masjid Qubah Emas. Bahkan sejak kesepakatan Oslo 1993, Israel selalu berupaya untuk menggagalkan upaya Palestina untuk menjadikan Masjid al-Aqsa sebagai ibu kota Negara Palestina jika suatu kelak merdeka.
Pada 1996, Dewan Keagamaa Israel mengeluarkan fatwa memperbolehkan warga Yahudi untuk memasuki kawasan Masjid al-Aqsa sembari melakukan ibadah di dalamnya. Begitu pula, Partai Likud dan Partai Rumah Yahudi, serta beberapa gerakan keagamaan lainnya menyetujui upaya secara pelan-pelan agar berziarah ke Masjid al-Aqsa dan melakukan ibadah di dalamnya.
Bahkan, parlemen Israel dalam beberapa tahun terakhir melakukan pembahasan untuk menguasai penuh atas Masjid al-Aqsa. Langkah tersebut didukung sepenuhnya oleh mayoritas warga Israel. Setidaknya dalam sebuah survei, sekitar 59% warga Israel menyetujui langkah tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, makin berjibun orang-orang Yahudi yang berziarah ke Masjid al-Aqsa dalam rangka memuluskan langkah Israel untuk menguasai secara simbolik atasnya.
Maka dari itu, kemenangan Palestina atas Israel dalam krisis Masjid al-Aqsa menjadi pertaruhan penting. Setidaknya Israel semakin sadar bahwa mimpi-mimpi mereka itu akan menghadapi protes yang besar, tidak hanya dari warga Palestina, tetapi juga dari umat Islam di seantero dunia. Masjid al-Aqsa merupakan salah satu kota suci umat Islam. Israel harus mengurungkan mimpi-mimpinya untuk menguasai Masjid al-Aqsa, karena dampak geopolitiknya terlalu besar.
Kini, Palestina harus berjuang lagi untuk mewujudkan kemerdekaan serta menjadikan Masjid al-Aqsa sebagai ibu kota. Dan, itu harus dimulai dari persatuan dan gotong-royong seluruh faksi politik di dalam internal Palestina. Dalam konteks ini, perjuangan masih panjang dan terjal.
Zuhairi Misrawi intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah The Middle East Institute
Komentar
Posting Komentar