TESIS AGAMA SAINS INTEGRASI AGAMA
A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama Rahmatal Lil ‘Alamin yang menjadi acuan hidup umat Islam secara keseluruhan, agar menjadi manusia yang baik, beradab, berkualitas dan senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, sehingga mampu membangun sebuah peradaban yang maju dan tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut maka diperlukan dakwah sebagai sarana untuk menginformasikan dan menjelaskan ajaran Islam kepada masyarakat, tentang bagaimana cara Islam mengemas dan mengelola sebuah masyarakat supaya menjadi masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Maka untuk mewujudkan cita-cita dakwah yang demikian itu perlu adanya sebuah format dakwah yang tersusun secara sistematis dalam sebuah kajian ilmiah yang dikenal dengan ilmu dakwah. Tetapi tidak cukup sampai disitu, karena ternyata ilmu dakwah juga berkaitan erat dengan berbagai disiplin ilmu lain, di antaranya adalah ilmu filsafat, karena filsafat memiliki objek kajian yang sangat luas.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri dari dua kata philo dan Sophia. Philo berarti cinta, Sophia berarti hikmah dan kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran. Sedangkan menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar, bahwa istilah filsafat berasal dari Bahasa Arab karena orang Arab lebih dahulu datang ke Indonesia dan mempengaruhi bahasa Indonesia.[1][1]
Sedangkan pengertian filsafat menurut para filosof adalah sebagai berikut:
a. Plato
Menurut Plato filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mencapai kebenaran yang asli, karena kebenaran mutlak ada di tangan Tuhan atau pengetahuan tentang segala yang ada.
b. Aristoteles
Menurut Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang berkaitan dengan ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, sosial, budaya dan estetika.
Dalam menjelaskan pengertian filsafat Aristoteles sama sekali tidak menyinggung kebenaran hakiki yang mengandung nilai-nilai Ketuhanan. Sehingga terkesan bahwa dalam filsafat seolah- seolah tidak ada tempat untuk kebenaran yang datang dari Tuhan yaitu berupa wahyu atau agama.
c. Al-Farabi
Menurut Al-Farabi filsafat adalah pengetahuan tentang yang ada menurut hakekat yang sebenarnya.
d. Immanuel Kant
Filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat kajian yaitu:
· Apa yang dapat diketahui, dijawab oleh metafisika
· Apa yang boleh dikerjakan dijawab oleh etika
· Apa yang dinamakan manusia dijawab oleh Antropologi
· Apa harapan manusia dijawab oleh agama
e. Harun Nasution
Menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya.[2][2]
f. Hasbullah Bakri
Menurut Hasbullah Bakri filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya, sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
g. Sayuti Farid
Menurut Sayuti Farid filsafat adalah pemikiran sedalam-dalamnya, sejauh-jauhnya, dan seluas-luasnya tentang hakikat segala yang ada dan yang mungkin ada.[3][3]
Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat berarti menggunakan akal untuk berfikir secara bebas dan mendalam dalam rangka mencapai tujuan dari apa yang dipikirkan atau objek pemikiran yaitu mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak ada satupun yang mengkaitkan kebenaran filsafat dengan kebenaran wahyu. Padahal filsafat adalah berfikir secara radikal dalam rangka mencari kebenaran sejati, sementara wahyu mengantarkan manusia pada kebenaran hakiki yang menjadi tujuan hidup bagi setiap manusia.
Walaupun Immanuel Khan mencoba memasukkan agama ke dalam salah satu komponen dalam filsafat untuk memberi jawaban atas tujuan hidup manusia. Namun pendapat seperti itu menurut penulis terlalu sempit dalam memahami kebenaran agama. Karena agama tidak hanya menjawab apa yang menjadi harapan manusia, tetapi agama memberi peluang untuk menjawab semua yang berkaitan dengan alam semesta beserta isinya.
Dengan demikian antara filsafat dan agama sesungguhnya memiliki hubungan yang sangat erat dalam hal kebenaran. Berfikir filsafat artinya berfikir dengan menggunakan akal untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Di sisi lain agama sangat menganjurkan manusia untuk selalu menggunakan akal untuk memikirkan kebesaran sang pencipta dan mengambil pelajaran, serta menemukan kebenaran dari alam semesta. Sebagaimana firman Allah berikut ini:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (١٦٤)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah 2: 164)
Ayat ini menjelaskan bahwa penggunaan akal untuk memikirkan tentang segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini merupakan suatu keharusan, karena akan mengantarkan manusia kepada kesimpulan-kesimpulan yang akan melahirkan berbagai pelajaran dalam hidup. Dengan demikian berfikir filsafat perlu adanya kontrol dari agama, sebab antara tujuan filsafat dengan agama tidak berbeda, keduanya sama-sama bermuara pada kebenaran yang hakiki.
2. Sejarah filsafat dalam Islam
Munculnya filsafat tidak terlepas dari keinginan manusia untuk menjawab segala persoalan yang timbul seputar alam semesta, manusia dan Tuhan. Filsafat berasal dari Asia Minor sebuah kepulauan yang terletak antara samudera Mediterania dan Laut Hitam kemudian masuk ke Yunani dan berkembang di sana selama ribuan tahun lamanya.
Ketika Iskandariyah didirikan oleh Iskandar Agung pada tahun 332 SM, filsafat mulai mengalami perkembangan di dunia timur dan puncaknya perkembangannya terjadi pada tahun 529 M. Ketika Mesir takluk di bawah orang-orang Arab pada tahun 641 M, Iskandariah tetap berkembang menjadi pusat filsafat, kedokteran dan sains Yunani. Sebagai akibat dari penaklukan Mesir oleh orang-orang Arab Muslim maka pemikiran filsafat pun mulai memasuki wilayah Islam yang berawal dari Damaskus pada masa Pemerintahan Dinasti Umayyah (661-750) dan berlanjut dengan Dinasti Abbasiah (750-1258).
Maka mulailah ilmuwan Muslim menterjemahkan dan menggali pemikiran-pemikiran para filosof Yunani. Dari sinilah awal mula lahirnya filosof-filosof muslim dengan berbagai corak pemikiran filsafatnya.[4][4] Jadi lahirnya filsafat Islam tidak terlepas dari keberadaan filsafat Yunani, karena filsafat Yunani lah yang memberi ilham terhadap pemikiran tokoh-tokoh muslim pada waktu itu sehingga lahirlah filsafat yang bercorak Islam, sehingga dikenal dengan filsafat Islam.
3. Pembagian filsafat
Untuk memudahkan seseorang dalam memahami dan melakukan penelitian kajian filsafat, maka para ahli membagi filsafat berdasarkan pendapat beberapa tokoh, di antaranya :[5][5]
a. Aristoteles
Aristoteles membagi filsafat menjadi empat cabang
· Logika, yaitu ilmu tentang bagaimana cara berfikir yang benar sehingga sampai pada kesimpulan yang benar.
· Filsafat teoritis, yaitu : fisika membicarakan tentang dunia material, matematika, membicarakan benda alam ditinjau dari segi jumlah dan metafisika, mempersoalkan hakekat segala yang ada sebagai awal sejarah lahirnya filsafat.
· Filsafat praktis, meliputi etika membicarakan bagaimana semestinya tingkah laku dalam kaitannya untuk memperoleh kebahagiaan, ekonomi, membicarakan bagaimana semestinya mencapai tingkat kemakmuran, politik, membicarakan bagaimana masyarakat dan negara mencapai tingkat ketenteraman hidup.
· Filsafat peotika (kesenian) yaitu membicarakan bagaimana semestinya manusia memperoleh kepuasan dalam hidupnya.
Pembagian filsafat menurut Aristoteles ini sesungguhnya sudah mencakup semua kebutuhan manusia. Namun filsafatnya terkesan sebatas kebutuhan praktis manusia. Bagaimana harapan dan tujuan hidup manusia di dunia maupun setelah berakhirnya dunia tidak memiliki muara yang jelas.
b. ENSIE (Eerste Nenerlance Systematich Ingerichte Ensyclopedie), sebuah lembaga yang mendalami filsafat di Belanda, membagi filsafat kepada sembilan bagian yaitu :
· Metafisika
· Logika filsafat mengenal
· Filsafat pengetahuan
· Filsafat alam
· Filsafat kebudayaan
· Etika
· Estetika
· Antropologi
Organisasi ini membagi filsafat menjadi beberapa bagian dengan lebih rinci lagi yaitu berbicara tentang segala yang ada dikenal dengan metafisika. Bagaimana aturan atau tata cara berfikir yang benar menurut filsafat dijelaskan dengan logika. Kemudian berbicara tentang pengetahuan, alam semesta dijawab oleh filsafat pengetahuan dan filsafat alam. Sedangkan untuk memahami manusia, perilaku manusia, dan karya manusia dijawab oleh filsafat Antropologi, etika dan kebudayaan.
c. Al-Farabi
Sedangkan Al-farabi membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis, meliputi logika, metafisika (ontologi), alam (cosmologi), dan manusia (Antropologi). Sedangkan filsafat praktis meliputi; etika, filsafat agama dan filsafat kebudayaan.
Dengan demikian berarti Al-Farabi membagi filsafat berdasarkan teori dan praktek, hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat teori dikelompokkan kepada filsafat teoritis. Sedangkan hal-hal yang bersifat aplikasi langsung dikelompokkan kepada filsafat praktis.
d. Al-Kindi
Al-Kindi salah seorang filosof muslim, membagi filsafat menjadi tiga bagian, yaitu:
· Ilmu fisika, merupakan tingkatan terendah yaitu alam nyata yang terdiri dari benda-benda kongkrit yang dapat ditangkap oleh panca indra.
· Ilmu matematika, tingkatan menengah yaitu berhubungan dengan benda juga tetapi mempunyai wujud tersendiri yang dapat dipastikan dengan angka-angka (ilmu hitung, teknologi, astronomi, musik).
· Ilmu Ketuhanan, tingkatan tertinggi yaitu sesuatu yang tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu soal Ketuhanan.
Dari masing-masing pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembagian filsafat yang dikemukakan oleh Al-Kindi lebih sempurna, karena di samping berbicara tentang manusia dan alam Al-Kindi juga berbicara tentang ketuhanan. Berbicara tentang ketuhanan tentunya tidak terlepas dari agama dan wahyu. Wahyu tentu akan memberi jawaban bagaimana hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dengan demikian, kajian filsafat hanya terbagi kepada tiga kelompok besar saja, pertama kajian tentang alam beserta seluruh isinya, ini akan terkait dengan proses penciptaannya, dan segala unsur-unsur yang ada di dalamnya. Kedua berbicara tentang manusia, hal ini akan berhubungan dengan proses kejadian manusia, akhlak manusia, dan bagaimana cara memenuhi segala kebutuhannya dalam hidup kini dan nanti. Ketiga, kajian tentang Ketuhanan, aspek ini tentu akan mengkaji banyak hal yang berhubungan dengan Keagungan Sang Pencipta. Ketiga aspek besar inilah yang menjadi ruang lingkup kajian filsafat terutama filsafat Islam.
4. Tujuan Dakwah
Untuk bisa memahami apa tujuan dari dakwah perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan dakwah itu sendiri. Secara bahasa kata dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata da’a, yad’u, da’wah yang berarti ajakan, dan seruan. Jika kata dakwah di beri arti seruan, maka yang dimaksud adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Jika kata dakwah diberi arti ajakan, maka yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam.[6][6] Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٢٥)
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. Yunus 10: 25)
Sedangkan dakwah secara terminologi, ada beberapa pendapat para ulama, di antaranya adalah:[7][7]
a. Syekh Ali Mahfudh
Dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Syekh Muhammmad Khidr Husain
Dakwah adalah upaya memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Nasaruddin Latif
Dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan tulisan maupun lisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah sesuai dengan garis-garis aqidah dan syariat serta akhlak Islamiah.
d. Syekh Muhammad al-Ghazali
Dakwah adalah program pelengkap yang meliputi semua pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk memberi penjelasan tentang tujuan hidup serta menyingkap rambu-rambu kehidupan agar mereka mengerti mana yang boleh dan mana yang dilarang.
e. Toha Yahya Oemar
Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan dakwah adalah suatu proses kegiatan mengajak, menyeru, memotivasi, dan mempengaruhi khalayak ramai agar mau mendengarkan, menerima, dan mengamalkan Islam dan seluruh ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, agar mendapatkan kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman dalam kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman ini yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhai Allah.
Dengan demikian berarti dakwah dalam kapasitasnya mengajak dan memotivasi masyarakat agar menerima ajaran Islam tentu saja memiliki tujuan-tujuan tertentu. menurut Muhammad Ali Aziz, tujuan dakwah secara khusus sesungguhnya sudah dijelaskan oleh Alquran, di antara tujuan dakwah tersebut adalah:[8][8]
a. Untuk menghidupkan hati yang mati
Firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 24
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (٢٤)
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS. Al-Anfal 8: 24)
Ibn Katsir menjelaskan bahwa kata iatajiibuu berarti ajibu (penuhilah) “kepada sesuatu yang memberi kehidupan”, yakni kepada kemaslahatanmu. Kemudian Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis dengan sanad yang bersambung sampai kepada Said Bin al-Mu’la ra., dia berkata:[9][9]
كُنْتُ أُصَلِّى فَمَرَّ بِيَّ النَّبِيِّ ص م. فَدَعَانِيْ فَلَمْ اَتِهِ حَتَّى صَلَّيْتُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنِيْ؟ أَلَمْ يَقُلِ اللَّه: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اسْتَجِيْبُوْا لِلَّهِ وَلِلرَّسُوْلِ أِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ. ثُمَّ قَالَ: لَأُعَلَّمَنَكَ أَعْظَمَ سُوْرَةٍ فِيْ الْقُرْاَنِ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ. فَذَهَبَ رَسُوْلُ اللَّهِ ص م. لِيَخْرُجَ فَزَكَرْتُ لَهُ. (رواه البخاري)
“Aku shalat, tiba-tiba Nabi saw lewat, dia memanggilku , namun aku tidak memenuhinya sebelum aku selesai, setelah selesai aku pun menemuinya, Beliau bersabda: mengapa engkau tidak mendatangiku, bukankah Allah berfirman “hai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan seruan rasul jika rasul menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu”. Kemudian Beliau bersabda aku akan mengajarimu suratyang paling agung dalam Al-Quran sebelum aku keluar. Lalu beliau pun pergi keluar masjid, maka akupun mengingatkan beliau. (HR. Bukhari)
hendaknya orang yang mendengar seruan orang-orang yang menyeru manusia kepada Allah dan rasul-Nya memperkenankan seruan tersebut sesegera mungkin, karena seruan tersebut memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan mereka. Siapa yang memperkenankan seruan tersebut Allah akan memberinya ketenangan dan keselamatan dalam hidupnya. Jadi tujuan dakwah di sini adalah mengajak manusia untuk bersegera memenuhi panggilan Allah dan rasul kepada kehidupan yang lebih baik yaitu kehidupan yang sesuai dengan aturan Allah dan rasul-Nya.
b. Agar manusia mendapatkan ampunan Allah
Firman Allah dalam surat Nuh ayat 7
وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا (٧)
Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (QS. Nuh: 7)
Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan dakwah secara khusus adalah mengajak manusia untuk bersegera menuju ampunan Allah. Karena ampunan Allah merupakan tujuan dan dambaan hidup setiap insan di dunia ini. Orang yang mendapat ampunan Allah adalah orang yang dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup secara utuh.
c. Seruan untuk menyembah Allah
Firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 36
وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ الأحْزَابِ مَنْ يُنْكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ (٣٦)
Orang-orang yang Telah kami berikan Kitab kepada mereka bergembira dengan Kitab yang diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebahagiannya. Katakanlah "Sesungguhnya Aku Hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya Aku seru (manusia) dan Hanya kepada-Nya Aku kembali". (QS. Ar-Ra,du: 36)
d. Seruan untuk menegakkan agama Allah
Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 13
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (١٣)
Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
e. Seruan untuk Menyampaikan ayat-ayat Allah
Firman Allah dalam surat al-Qoshashas ayat 87
وَلا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٨٧)
Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan Serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-Qashash: 87)
Berdasarkan uraian di atas sesungguhnya dakwah bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang Islam beserta segala ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat mewarnai tingkah laku, perbuatan dan pola pikir masyarakat agar tercapai cita-cita hidup mereka yaitu mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan ridha Allah di dunia dan akhirat.
5. Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah merupakan perpaduan antara kata ilmu dengan dakwah, untuk dapat menyimpulkan apa yang dimaksud dengan ilmu dakwah perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan ilmu dan dakwah. Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengerti, dan memahami benar-benar. Sedangkan secara terminologi ilmu adalah suatu pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, dan komulatif.[10][10]
Jadi ilmu dakwah merupakan penggabungan antara ilmu dengan dakwah yang secara bahasa berarti ilmu pengetahuan tentang tata cara mengajak atau mempengaruhi masyarakat agar mau menerima ajaran Islam, yang tersusun secara sistematis, objektif, dan rasional. Sedangkan pengertian ilmu dakwah menurut para ahli adalah sebagai berikut :
a. Menurut Toha Yahya Oemar, ilmu dakwah adalah suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara dan tuntutan bagaimana menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ideologi, pendapat, atau pekerjaan tertentu.[11][11]
b. Menurut Muhammad Sulthan, ilmu dakwah merupakan ilmu transpormatif untuk mewujudkan ajaran yang bersifat fitri (Islam) menjadi tatanan khairu al-ummah atau mewujudkan iman menjadi amal saleh kolektif yang tumbuh dari kesadaran intelektual manusia.[12][12]
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu dakwah adalah suatu pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang tata cara menyampaikan dakwah yang baik agar tujuan dakwah bisa tercapai dengan baik. Jadi keberadaan ilmu dakwah sesungguhnya bertujuan untuk mewujudkan cara-cara, dan alternatif-alternatif yang aman dan efektif demi terciptanya proses dakwah yang efektif dan sempurna.
Dengan demikian ilmu dakwah dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang mengkaji semua unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan dakwah. Unsur-unsur yang menjadi kajian utama dalam ilmu dakwah adalah ad-da’i (juru dakwah atau pelaksana dakwah), mad’u (orang yang akan di dakwahi), materi dakwah, metode dakwah, dan media dakwah. Kelima unsur ini merupakan bahasan pokok dalam setiap kajian ilmu dakwah.
6. Filsafat dakwah
Filsafat dakwah adalah suatu kajian dengan berbagai dimensi tentang cara berfikir yang diterapkan untuk memahami secara mendalam dan mendasar segala hal mengenai dakwah terutama mengenai persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari dinamika atau proses dakwah, misalnya mengapa manusia memerlukan agama, mengapa agama perlu didakwahkan, apakah tujuan akhir dakwah, dan persoalan etika dakwah serta rasionalisasi hal-hal yang timbul dari dakwah.[13][13]
Sedangkan menurut Salmadanis, filsafat dakwah terdiri dari dua kata yaitu filsafat dan dakwah, sehingga menjadi kata majemuk yang berarti hikmah dakwah atau kebenaran dakwah. Sedangkan secara terminologi filsafat dakwah berarti membahas faktor-faktor dan dasar-dasar dakwah Islam secara analisis, kritis, dengan tujuan untuk menyatakan kebenaran Islam atau untuk menjelaskan bahwa ajaran Islam itu tidak bertentangan dengan logika, sehingga orang mudah tertarik serta bersedia mengamalkannya.
Jadi keberadaan filsafat dakwah sesungguhnya untuk mempermudah dan memperlancar jalannya suatu proses kegiatan atau pelaksanaan dakwah. Dengan filsafat dakwah orang bisa memahami segala unsur-unsur yang terkait dengan kegiatan dakwah, di mana pemahaman terhadap apa hakekat setiap unsur-unsur dakwah tersebut akan memperlancar proses pelaksanaan dakwah.
Ad-da’i hakekatnya adalah ujung tombak yang menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat umum, agar mereka dapat mengerti, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh. Jadi keberadaan da’i pada hakekatnya adalah penyambung lidah para utusan Allah dalam menyebarkan risalah Islam. Keberadaan mereka adalah sebuah keutamaan di sisi Allah sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٣٣)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri? (QS. Fushshilat 41: 33)
Jelas sekali Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyeru manusia ke jalan Allah adalah orang yang paling baik perkataannya. Karena mereka menyeru manusia kepada Allah, mengajak orang untuk menjadi hamba Allah agar mau beriman dan mengerjakan amal shaleh, yang demikian itu adalah tindakan yang paling utama di sisi Allah.
Mad’u adalah orang yang berhak mendapat seruan dakwah dalam hal ini tentu manusia secara keseluruhan, tidak pandang golongan, pangkat, jabatan, suku bangsa dan sebagainya. Sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Quran:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٢٨)
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (QS. Saba’ 34: 28)
Ayat ini mempertegas bahwa yang menjadi objek dakwah itu adalah manusia secara keseluruhan. Walaupun demikian Al-Quran tetap membagi objek dakwah tersebut menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Para Pemimpin
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٢٥٨)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah 2: 258)
Ayat ini menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran dakwah adalah penguasa atau pemimpin yang zalim atau pemimpin yang tidak mau tunduk kepada perintah Allah. Pemimpin seperti ini paling berhak untuk didakwahi sebab apabila seruan untuk mentauhidkan Allah tidak disampaikan kepadanya maka ia akan melakukan kemungkaran sepanjang kepemimpinannya. Jika itu terjadi maka ia akan menciptakan kerusakan di muka bumi dan akan selalu berbuat zalim kepada orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
b. Orang-orang munafik
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (٨)يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (٩)فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (١٠)وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (١١)أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (١٢)
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (Qs. Al-Baqarah :8-12)
Betapa Allah menjelaskan bahwa karakter orang munafik itu cenderung berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka tersebut merugikan diri sendiri. Orang-orang seperti ini perlu diberi peringatan agar tidak berbuat kerusakan terus menerus yang pada akhirnya akan menenggelamkan mereka ke dalam azab Allah yang sangat pedih.
c. Orang-orang kafir
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ (٦)خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٧)
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. Al-Baqarah: 6-7)
Kekafiran mereka disebabkan karena tidak memahami ayat-ayat Allah dan kesombongan telah membutakan mata hati mereka sehingga tidak mampu melihat tanda-tanda ke besaran Allah melalui ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam raya ini. Dengan demikian orang-orang kafir tersebut perlu mendapat pencerahan agar mereka menyadari bahwa tidak Tuhan yang berhak di sembah kecuali.
d. Manusia secara keseluruhan
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلا أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَعْبُدُ اللَّهَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (١٠٤)
Katakanlah: "Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, Maka (ketahuilah) Aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi Aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan Aku Telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman. (Qs. Yunus 10: 104)
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ (١٠٨)
Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan Aku bukanlah seorang Penjaga terhadap dirimu. (QS. Yunus 10: 108)
Di sini dijelaskan
Bahwa yang menjadi sasaran dakwah adalah manusia secara keseluruhan, tidak membeda-bedakan antara status golongan, pangkat, jabatan, suku, dan status sosial. Semua yang namanya manusia mendapat peringatan melalui ayat ini. Karena itu siapapun yang mendapat seruan tersebut hendaknya segera memenuhi ajakan tersebut. Semua itu hanya semata-mata untuk kebaikan dirinya sendiri, sebab dengan memenuhi ajakan tersebut ia telah menyelamatkan dirinya dari azab yang sangat pedih.
Materi dakwah adalah keseluruhan dari ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah rasul, yang terbagi kepada beberapa aspek penting yaitu akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan hukum-hukum yang terkandung dalam keduanya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 67:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (٦٧)
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah 5: 67)
Ayat ini menegaskan bahwa tidak satupun dari wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya yang boleh disembunyikan semuanya harus disampaikan kepada umat manusia agar mereka bisa mengambil pelajaran darinya. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah:
لَوْ كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَاتِمًا شَيْئًا مِنَ الْقُرْاَنِ لَكَتَمَ هَذِهِ اْلاَيَةَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَاا للَّهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ. (رواه البخاري ومسلم)[14][14]
“Jika Muhammad saw menyembunyikan sesuatu dari Al-Quran, niscaya dia menyembunyikan ayat ini, dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, pada hal Allah lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.(HR, Bukhari Muslim
Metode yang dimaksud di sini adalah metode dakwah yaitu cara-cara tertentu yang dilakukan atau di gunakan oleh seorang da’i dalam mengajak mad’unya agar tercapai tujuan dakwah yang sesungguhnya. Di antara metode dakwah yang biasa digunakan oleh para da’i adalah metode hikmah, mauizhah, dan mujadalah bil lati hiya ahsan.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)ÇÊËÎÈ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang petunjuk. (QS. An-Nahl 16: 125)
Media dakwah adalah alat bantu yang digunakan oleh seorang da’i untuk mempermudah pelaksanaan dakwah, agar dakwah yang telah direncanakan terlaksana dengan sukses. Banyak sekali bentuk-bentuk media dakwah yang bisa di pakai oleh seorang da’i dalam menyampaikan ajaran Islam, di antaranya media tulisan, lisan, audio visual, seni, dan lain sebagainya.
Jadi berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulakan bahwa tujuan dari filsafat dakwah adalah memberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit ajaran Islam secara mendalam, mendasar, dan radikal sampai ke akar-akarnya, sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran hakiki, yang kemudian terimplementasi dalam sikap kesehariannya sebagai seorang muslim.[15][15]
Dengan demikian antara dakwah, ilmu dakwah, dan filsafat dakwah, masing-masing memiliki tujuan yang spesifik, tetapi tetap bermuara pada satu titik yaitu mewujudkan sebuah proses kegiatan dakwah yang sukses dan sempurna, sehingga tujuan akhirnya dakwah untuk mewujudkan khairul ummah tercapai dengan baik. Sehingga tercipta sebuah tatanan kehidupan yang adil, makmur, tenteram, damai, dan sejahtera yang berlandaskan kepada Al-Quran dan Sunnah.
KESIMPULAN
Dakwah merupakan sebuah proses kegiatan memberi informasi, mengajak, dan menyeru masyarakat kepada ajaran Islam, agar mereka mampu memahami rambu-rambu kehidupan, mana yang boleh dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan sesuai dengan aturan yang ada dalam Islam agar tercapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat.
Antara dakwah, ilmu dakwah, dan filsafat dakwah merupakan satu kesatuan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketiga komponen ini saling berkaitan satu sama lain, tetapi ketiga komponen ini tidak memiliki tujuan yang sama dalam suatu proses kegiatan dakwah Islam.
Dakwah bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat tentang Islam beserta ajarannya, agar masyarakat mampu mencapai kehidupan yang diridhai Allah dunia dan akhit. Sementara ilmu dakwah bertujuan memberi solusi atau alternatif-alternatif yang cocok dengan situasi dan kondisi dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat umum. Di sisi lain filsafat dakwah bertujuan bertujuan memberikan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam agar sampai kepada kebenaran yang sejati sehingga wujud dari semua itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
Aziz, Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, (Jakarta, Prenada Media, 2004).
Amin, samsul Munir, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta, Amzah, 2008)
Bakhtiar, Amsal. Filsat Ilmu, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010)
Oemar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, (Jakarta, Wijaya Karsa Pratama, 1992)
Sulthan, Muhammad, Desain Ilmu Dakwah Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Yokyakarta, Pustaka pelajar, 2003)
Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta, Surau, 2003)
[16][1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010), Cet. 9, hal. 4-5
[17][2]Salmadanis, Filsafat Dakwah, (Jakarta, Surau, 2003), Cet. 2, hal. 6-7
[18][3]Muhammad Sulthan, Desain Ilmu Dakwah, Kajian Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi, (Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), Cet. 1, hal. 1
[19][4]Salmadanis, Op.Cit, hal. 14-18
[20][5]Ibid, hal. 18-20
[21][6]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta, Prenada Media, 2005), Cet. 1, hal. 2-3
[22][7]Ibid, hal. 4-5
[23][8]Ibid, hal. 61-63
[24][9]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid ke-2, h. 503-504
[25][10]Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hal. 12-16
[26][11]Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakeah, (Jakarta, Wijaya Karsa Pratama, 1992), hal. 1
[27][12]Muhammad Sulthan, Op.Cit, hal, 58
[28][13]Ibid, hal. 10-11
[29][14]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op.Cit, ke-2, h. 123-124
[30][15]Salmadanis, Op.Cit, hal. 30-34
Komentar
Posting Komentar