makalah tentang sejarah MTQ
A. Pengertian Mukhtalif Al-Hadis
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtaliful-Hadits adalah hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Sedangkan definisi secara istilah adalah : “hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya”.
Subhi Shalah mendefinisikan mukhtalif al-hadis sebagai,” Ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, karena adanya kemungkinan bisa dikompromikan, baik dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut dan lain-lain”.
Dengan demikian secara sederhana mukhtalif al-hadis adalah “Ilmu yang membahas redaksi-redaksi hadis yang secara lahiriyah saling bertentangan yang setara tingkat kemaqbulannya (shahih-shahih/shahih-hasan) untuk dipahami maksudnya.
B. Syarat-syarat terjadinya hadis mukhtalif
1. Hadis lebih dari satu
2. Sama-sama dalam drajat hadis maqbul
3. Konteks hadis dalam persoalan yang sama
4. Hadis-hadis tersebut secara lahiriyah saling bertentangan
5. Dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan atau mengamalkan salah satu yang paling kuat
C. Objek kajian
Redaksi-redaksi hadis yang kontradiktif yang kualitasnya setara atau setingkat.
D. Urgensi
1. Membantu kesulitan umat Islam dalam memahami redaksi-redaksi hadis yang kontradiktif.
2. Dapat memahami makna/kandungan beberapa redaksi hadis yang kontradiktif atau sulit dipahami.
3. Mengetahui metode atau caranya, ketika mendapatkan redaksi hadis yang kontradiktif.
E. Metode
Para ulama sepakat menggunakan dua jalan(metode) :
1. Thariqatul-Jam’I, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2. Thariqatut-Tarjih, yaitu bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka :
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tingalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Contoh :
Dengan Thariqatul-Jam’I
Hadis tentang mahrom:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ
وَقَدْ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ يُحَدِّثُهُنَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي أَنْ لَا تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
(BUKHARI - 1731) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Abdul Malik bin 'Umair dari Qaza'ah, maula Ziyad berkata; Aku mendengar Abu Sa'id yang sudah pernah mengikuti peperangan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak dua belas peperangan, berkata: "Empat perkara yang aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, atau dia (Qaza'ah) berkata; telah menceritakan Abu Sa'id tentang beberapa perkara yang dia dapatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang perkara-perkara itu menakjubkan aku (yaitu): "Tidak boleh seorang wanita bepergian sepanjang dua hari perjalanan kecuali bersama suaminya atau mahramnya dan tidak boleh shaum dua hari raya, 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adhha, dan tidak boleh melaksanakan dua shalat, yaitu setelah 'Ashar hingga matahari terbenam dan setelah Shubuh hingga matahari terbit dan tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Al Masjidil Haram, Masjidku dan Masjidil Aqsha"
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
(MUSLIM - 2386) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Laits dari Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya bahwa Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang wanita muslimah untuk bersafar sejauh sehari perjalanan, kecuali ditemani seorang laki-laki yang dari mahramnya."
و حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
و حَدَّثَنَاه ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
(MUSLIM - 2385) : Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma'i dan Muhammad bin Basysyar semuanya dari Mu'adz bin Hisyam - Abu Ghassan berkata- Muadz telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah dari Qaza'ah dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan di atas tiga malam, kecuali disertai mahramnya." Dan Telah menceritakannya kepada kami Ibnu Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Sa'id dari Qatadah dengan isnad ini dan ia menyebutkan; "Lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya."
Dari keterangan 3 hadis di atas bisa menggunakan metode Thariqatul-Jam’I, karena antara redaksi hadis yang bersangkutan bisa dikompromikan.
Dengan Thariqatut-Tarjih
Hadis tentang ziarah kubur:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
(ABUDAUD - 2817) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Juhadah ia berkata; saya mendengar Abu Shalih menceritakan dari Ibnu Abbas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para wanita yang menziarahi kuburan, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan memberikan pelita.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً
(ABUDAUD - 2816) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Mu'arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku telah melarang kalian menziarahi kuburan, sekarang berziarahlah ke kuburan, karena dalam berziarah itu terdapat peringatan (mengingatkan kematian)."
Pada satu sisi hadis pertama melarang wanita untuk berziarah namun pada hadis kedua disarankan untuk berziarah kubur karena itulah maka para ulama melakukan tarjih dengan menilai mana yang lebih kuat atau mana yang telah dihapus hukumnya.
Kemudian, akhirnya para ulama berkesimpulan bahwa ziarah kubur bagi kaum muslimin itu hukumnya sunnah demikian juga hal nya bagi wanita.
Komentar
Posting Komentar