HUKUM ZAKAT FITHRAH

Hukum Zakat Fithrah
Pengertian Dan Dasar Hukum

Zakat secara bahasa adalah bertambah atau meningkat (an-Namaa), dan juga dapat diartikan berkah (barakah), banyak kebaikan (katsir al-khair), dan mensucikan (tathhir). Sedangkan zakat secara syara’ adalah nama harta tertentu, di keluarkan dari harta yang tertentu, dengan cara-cara tertentu dan diberikan kepada golongan yang tertentu pula. Adapun makna Fitrah adalah merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan atau khilqah. Allah SWT berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا 

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah Menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. (Q.S.ar-Rum/30:30).

Selanjutnya zakat fitrah juga dapat disebut zakat puasa atau zakat yang sebab diwajibkanya adalah futhur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan. Dan juga bisa di sebut zakat badan karena berfungsi untuk mensucikan diri. Dalam istilah ahli fiqih (fuqaha), zakat fitrah adalah zakat diri yang diwajibkan atas setiap individu muslim yang mampu dengan syarat-syarat yang telah di tetapkan.

Menurut Waqi’ bin Jarah, zakat fitrah bagi puasa bulan ramadhan adalah seperti sujud sahwi terhadap shalat. Pengertiannya adalah zakat fitrah dapat menambal kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menambal kekurangan shalat. Perkataan ini diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa “zakat fitrah dapat membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan keji”.

Demikian pula dengan hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa “puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi dan tidak akan diangkat ke hadapan Allah kecuali dengan zakat fitrah”. Abu bakar Syata’ dalam kitabnya menjelaskan bahwa maksud dari “tidak diangkat” adalah merupakan kinayah dari sempurnanya pahala puasa di bulan Ramadhan itu tergantung dari orang yang berpuasa, apakah ia mengeluarkan zakat fitrah atau tidak. Pengertiannya bukan berarti, tanpa zakat fitrah berarti puasanya tidak diterima. 
Jadi seandainya saja seseorang yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian tidak mengeluarkan zakat fitrah, maka puasanya tetap diterima oleh Allah SWT.

Zakat mal (harta) pertama kali diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriah beserta diwajibkannya pula zakat fitrah, menurut pendapat yang masyhur kewajiban mengeluarkan zakat pertama kali dilakukan pada bulan syawal tahun kedua hijriah, sedangkan zakat fitrah pada bulan syawal, yakni 2 hari menjelang hari raya idul fitri.

Berikut ini adalah ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber hukum kewajiban menunaikan zakat fitrah, diantaranya adalah:

وَاَقِيْمُوْ االصَّلَوةَ وَاَتُوْاالزَّ كَوْةَ, وَمَـاتُقَدّ ِمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍتَجِدُوْهُ عِنْدَاللهِ, اِنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 

Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah /02:110).

Hadis Nabi berkenaan dengan kewajiban zakat fitrah :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر، صاعا من تمر أو صاعا من شعير، على العبد والحر، والذكر والأنثى، والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة.(متفق عليه)

Artinya: Dari Ibnu Umar, radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah saw. telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atas hamba sahaya ataupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau dewasa, dari orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan sebelum orang-orang keluar dari shalat Hari Raya Fitri.(Muttafaqun ‘alaih).


Syarat Wajib Zakat Fitrah 

Islam, artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan kerabatnya yang muslim. 
Merdeka (bukan budak). 
Menemui sebagian waktu dari bulan Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau malam hari raya idul fitri. 
Memiliki kelebihan dari nafaqahnya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafaqahi di malam hari raya idul fitri dan siang harinya. 
Berkaitan dengan syarat wajib yang ke 3, maka apabila ada seorang muslim yang meninggal dunia setelah matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya. Lain halnya apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah.

Adapun seorang bayi yang lahir sebelum matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah).

Demikian juga dengan laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri) dia tidak berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya. Akan tetapi kewajiban membayar zakat fitrahnya adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.

Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang ke 4, maka apabila ada seseorang muslim yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya, maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu). Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak, maka agar mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.


Jenis , Takaran dan Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah

Seorang Muslim yang berkewajiban zakat fitrah, maka ia harus mengeluarkan 1 sha’ atau 4 mud berwujud makanan yang dijadikan kekuatan tubuh yang biasa digunakan di daerahnya (makanan pokok). Di antara hadis yang menjelaskan tentang besarnya zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نعطيها في زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير، أو صاعا من زبيب

Artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ra., ia berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa Rasulullah saw. satu sha’ dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari sya’ir, atau satu sha’ dari anggur". (HR. Bukhari).

Pengertian hadis di atas adalah bahwa yang dimaksud Rasulallah SAW, dengan banyaknya fitrah itu adalah 1 sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab adalah nama ukuran atau takaran.

Dalam madzhab Syafi’i, jenis yang dikeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok bukan uang seharga makanan tersebut, dan juga harus sejenis tidak boleh campuran. Apabila zakat fitrah wajib pada seseorang, maka dia wajib mengeluarkan 1 sha' dari makanan pokok. Apabila dalam suatu daerah atau negara terdapat makanan pokok yang lebih dari satu maka ia dapat mengeluarkan zakat fitrah dengan salah satu makanan pokok yang lebih dominan. Apabila seseorang berada di daerah yang tidak memiliki makanan pokok, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan pokok daerah terdekat.

Menurut Imam Ar-Rafi’i 1 sha’ itu sama dengan (693 1/3 dirham). Maka jika dikonversi dalam satuan gram, sama dengan 2,751 gram atau setara dengan 2,75 kg. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, 1 sha’ sama dengan (685 5/7 dirham). ‎Maka jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya sekitar 2176 gram atau setara dengan 2,176 kg atau kurang dari 2,5 kg. Secara umum masyarakat Indonesia dalam mengeluarkan zakat fitrah sebesar 2,5 kg, sebagaimana keputusan fatwa MUI pusat tahun 2003. Ini mungkin mencari pertengahan di antara berbagai pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha dalam masalah takaran ini.

Sedangkan MUI Prov Jatim tahun 2010 menyarankan umat muslim untuk mengelurkan zakat fitrah sebesar 3 kg. Pada zaman Rasulullah Muhammad SAW besarnya zakat ditentukan dengan 1 sha’ atau empat mud. Pada saat ini, setelah dialihkan dari mud menjadi kilogram maka terjadi perselisian penentuan besarnya satu mud menjadi ons. Ada ulama yang menyatakan 1 mud adalah 6 ons, sehingga dikali empat menjadi 2,4 kg. Ada juga yang menyatakan 1 mud 6,5 ons bila dikalikan empat menjadi 2,6 kg, dan ada juga yang menyatakan satu mud 7 ons bila dikalikan empat maka 2,8 kg. Dari ukuran ini terjadi perdebatan, dan ulama memberikan imbauan untuk mengeluarkan zakat 3 kg, agar keluar dari perdebatan tersebut. Apabila berzakat menggunakan ukuran 3 kg, maka apabila ada kelebihan dianggap untuk shadaqah pada kaum dhuafa. Sebab lebih baik lebih saat memberi pada yang membutuhkan daripada kurang apalagi ukurannya tidak pas.

Sedangkan waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni: 

Waktu jawaz: mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal, dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan. 

Waktu wajib: mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui sebagian syawal). 

Waktu sunnat: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.

Waktu makruh : setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya makruh, jika tidak ada udzur. 
Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal menanti kerabat dekat, tetangga, orang yang lebih utama atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh. 

Waktu haram: setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun jika pengakhiran tersebut karena adanya udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada di tempat, atau menunggu orang yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.


Penyerahan Zakat Fitrah

Zakat di golongkan sebagai praktek ibadah yang wajib dilakukan dengan segera (‘ala al-faur), hal tersebut ditandai dengan memungkinkannya mengeluarkan zakat (tamakun) yakni dengan wujudnya harta yang dizakati dan hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat. Kewajiban yang ditanggung oleh seorang muslim dalam mengeluarkan zakat segera (‘ala al-faur) maka berkonsekuensi terhadap hukum keharaman untuk mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah. Penundaan atau mengakhirkan zakat setelah memungkinkan untuk diserahkan (tamakun), maka ia berdosa dan mewajibkan menggantinya (dhoman) jika terjadi kerusakan pada harta yang dizakati. Namun apabila ada udzur dalam penundaan tersebut semisal menanti kerabat, tetangga, orang yang lebih membutuhkan dan sebagainya, maka ia tidak berdosa tetapi wajib menggantinya (dhoman).

Niat dalam Menyerahkan Zakat 

Dalam menyerahkan zakat ada 2 syarat yang harus di ketahui :

1. Niat di dalam hati, lebih utama lagi disertai dengan ucapan.

Berkaitan dengan niat dalam zakat maka tanpa menyebutkan kata fardhu sudah sah, karena zakat yang di keluarkan itu sudah pasti fardhu hukumnya, berbeda dengan ibadah shalat. Namun yang paling utama adalah menyebutkan kata fardhu...

Penyerahan zakat boleh dilakukan oleh sendiri, melalui wakil atau diserahkan kepada Imam (amil). Penyerahan zakat kepada Imam (amil) itu lebih baik daripada diserahkan kepada wakil, jika Imam (amil) terjadi penyelewengan dalam pengurusan atau pengelolaan zakat, maka lebih baik diserahkan sendiri atau lewat wakil. Sedangkan penyerahan zakat yang dilakukan sendiri itu lebih baik daripada lewat wakil.

Zakat yang diserahkan melalui wakil, menurut pendapat yang ashah niat dari yang mewakilkan sudah mencukupi, namun yang lebih utama wakil pun juga niat ketika menyerahkan zakat tersebut, kecuali jika penyerahan zakat dan niatnya diwakilkan kepada wakil maka sudah cukup dengan niatnya wakil saja. Adapun zakat yang diserahkan melalui Imam (amil) maka niatnya cukup dilakukan di saat penyerahan kepada Imam (amil), sekalipun amil tidak niat saat menyerahkan zakat kepada yang berhak menerima.

An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menjelaskan bahwa praktek kewajiban ibadah yang berhubungan dengan Allah (haqqullah) itu pada hakikatnya tidak boleh diwakilkan kecuali dalam pembayaran zakat, pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan qurban. Berkaitan dengan pembayaran atau penyerahan zakat kepada yang berhak menerima, maka bagi yang berzakat (muzaki) boleh melakukannya sendiri atau di salurkan melalui wakil (Imam/amil). 

Diperbolehkannya mewakilkan zakat tersebut karena zakat merupakan ibadah yang menyerupai dengan pembayaran hutang untuk dibayarkan kepada yang berhak sebagai penunjang kebutuhannya.

Selanjutnya, berkaitan dengan kewajiban mengeluaran zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain baik itu dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawab nafaqah, atau wakil yang sudah mendapat izin dari yang berzakat, maka dalam niat zakatnya ada beberapa macam, berikut ini contohnya:

a) Zakat fitrah untuk diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى 

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala.

b) Zakat untuk orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya: niat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mendapatkan izin dari orang yang dizakati (tanggung jawab nafaqah) semisal seorang suami yang mengeluarkan zakat atas nama istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku zakat diperbolehkan memberikan makanan yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri. 

- Niat zakat fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan

نوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), Fardhu karena Allah Ta’ala.

- Niat zakat fitrah untuk istri

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, Fardhu karena Allah Ta’ala.


- Niat zakat fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggung jawab nafaqahnya

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.


- Niat zakat fitrah untuk orang yang ia wakili

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala.


2. Memberikan kepada yang berhak menerima zakat (mustahiqquzzakat).

Dalam madzhab Syafi’i, zakat haruslah diberikan kepada semua orang yang berhak menerima zakat secara merata, hal itu apabila memang jumlah orang yang berhak menerima terbatas dan harta zakatnya mencukupi. Apabila tidak demikian maka diperbolehkan memberikan atau menyerahkan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan yang berhak menerima zakat, jika dari setiap golongan tidak ada, maka diberikan kepada golongan yang ada.

Menurut Ibn Hajar, sebagaimana dikutip Abu Bakar Syatha: bahwa menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik, diperbolehkan menyerahkan zakat kepada satu golongan saja. Demikian inilah yang juga telah difatwahkan oleh Imam Ibn Ujail, dan juga telah difatwahkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah. Pendapat ini boleh diikuti, karena pada masa sekarang akan kesulitan untuk meratakan ke seluruh golongan yang berhak menerima zakat. Demikian juga dalam hal taqlid kepada mereka dalam hal diperbolehkannya memindah zakat atau naqluzzakat.

Berikut ini adalah doa yang di sunnatkan untuk di baca:

Do’a saat menerima zakat.

أجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, , وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

Artinya: Mudah-mudahan Allah memberi pahala atas Apa yang engkau berikan, dan Menjadikannya sebagai pembersih bagimu. Dan memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu.


- Do’a sesudah memberikan zakat:

ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم

Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Hikmah Zakat Fitrah

Zakat Fitrah mempunyai banyak hikmah, di antaranya:

Pertama: Zakat Fitrah merupakan salah satu bentuk solidaritas, khususnya kepada fakir miskin yang tidak mempunyai makanan pada hari raya Idul Fitri.

Kedua: Zakat Fitrah merupakan pembersih puasa dari hal-hal yang mengotorinya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam:

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Zakat Fitri merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa), dan bantuan makanan untuk para fakir miskin." (Hadits Hasan riwayat Abu Daud)

Waki' bin Jarrah berkata, “Manfaat zakat Fitrah untuk puasa seperti manfaat sujud sahwi untuk shalat. Kalau sujud sahwi melengkapi kekurangan dalam shalat, sedangkan zakat fitrah melengkapi kekurangan yang terjadi ketika puasa”.

Ketiga: Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur kepada Allah subhanahu wata’ala karena telah memberikan taufik-Nya sehinga bisa menyempurnakan puasa Ramadhan.

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah

Waktu paling utama melaksanakan zakat fitrah adalah pada pagi hari sebelum shalat Ied. Karenanya, kita disunnahkan mengakhirkan shalat ied untuk memberi kesempatan kepada kaum muslimin membayarkan zakat fitrahnya kepada fakir miskin.

Adapun waktu wajibnya adalah setelah terbenam Matahari akhir bulan Ramadhan sampai sebelum dilaksanakan shalat Ied. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas bahwasanya Rasululullah shallallahu ‘laihi wassalam bersabda:

فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

"Barang siapa yang membayar zakat fitrah sebelum shalat ied, maka termasuk zakat fitrah yang diterima; dan barang siapa yang membayarnya sesudah shalat ied maka termasuk sedekah biasa (bukan lagi dianggap zakat fitrah)." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas menjelaskan bahwa barangsiapa yang membayar zakat setelah shalat ied, tidak dianggap sebagai zakat fitrah, tetapi sedekah biasa. Sedangkan pelakunya telah berdosa karena mengundur-undur pembayaran zakat fitrah  dari waktu yang telah ditentukan. Hendaknya ia bertaubat kepada Allah subhanahau wata’ala dan tidak mengulanginya lagi.

Dibolehkan juga membayar zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya pada bulan Ramadlan. Alasannya, Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu pernah membayar zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Bahkan, sebagian ulama membolehkan membayar zakat fitrah pada awal bulan Ramadhan atau di pertengahan bulan.

Membayar Zakat Fitrah dengan Uang

Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang, tetapi yang wajib dikeluarkan adalah jenis makanan sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam .

Tetapi ada juga sebagian ulama yang membolehkan seseorang mengeluarkan zakat fitrah dengan uang karena kebutuhan fakir miskin berbeda-beda, khususnya zaman sekarang, kebanyakan orang lebih membutuhkan uang daripada makanan. 

Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ , وَقَالَ: «أَغْنُوهُمْ فِي هَذَا الْيَوْمِ»

"Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam mewajibkan zakat fitri dan bersabda, ‘Cukupkan mereka (fakir miskin) pada hari itu’." (HR. Daruqutni dan Baihaqi).

Mencukupkan fakir miskin bisa dengan memberikan uang atau sejenisnya yang dibutuhkan oleh fakir miskin dan tidak harus dengan bentuk makanan.


Konsep dasar dalam mengeluarkan zakat fitrah adalah dengan makanan pokok di setiap daerah, bukan dengan uang seharga makanan tersebut (qimah). Dalam kajian fiqh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang diwarnai perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Mundzir bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah yang mengatakan boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga) makanan tersebut. Sementara Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur tidak memperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat. ‎Menurut Imam Abu Hanifah, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang itu lebih efektif, karena dengan uang, penerima zakat akan mendapatkan kemudahan dalam mewujudkan keinginanannya, dan yang terpenting lagi kata Imam Abu Hanifah bahwa tujuan dari yang wajib dari membayar atau mengeluarkan zakat adalah memberi kecukupan bagi para orang yang membutuhkan (ighna’ al-fuqara’).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam al-Bulqini dari kalangan ulama Syafi’iyyah dan beberapa ulama yang lain, cenderung membenarkan pendapat yang difatwahkan oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga makanan). Dan ternyata pendapat para ulama-ulama ini boleh diikuti atau taqlid, mengingat kapasitas mereka diakui sebagai ulama ahli tarjih dan ahli takhrij.

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa dalam membayar zakat fitrah sebaiknya dilihat kondisi fakir miskin setempat. Jika mereka memang lebih membutuhkan makanan, seperti beras dan lain-lainnya sebagaimana yang tersebut dalam hadits, sebaiknya orang yang berzakat mengeluarkan zakatnya berupa makanan. Akan tetapi, jika mereka lebih membutuhkan uang, sebaiknya membayar zakat dengan uang, karena hal tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sesuai dengan tujuan diturunkannya syariah. 

Golongan yang Berhak Mendapatkan Zakat Fitrah

Golongan yang berhak menerima zakat ada 8 sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an.

اِنَّمَاالصَّدَقَتُ لِلْفُقَرَآءِوَالْمَسَكِيْنِ وَالْعَمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفىِ الرِقَابِ وَالْغَرِمِيْنَ وَفىِ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ 

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mu’allaf, yang dilunakan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).

Fuqara’ (faqir) adalah orang yang tidak memiliki harta benda atau pekerjaan sama sekali atau mempunyai pekerjaan namun tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Masakin (miskin) adalah orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan namun tiduk bisa mencukupi hidupnya. 

Amilin (amil) adalah orang-orang yang diangkat (dipekerjakan) oleh Imam atau pemerintah untuk menarik zakat dan menyerahkannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan tidak mendapat bayaran dari baitul mal atau negara. Orang-orang yang termasuk amil zakat di antaranya adalah bagian pendataan zakat, penarik zakat, pembagi zakat dan yang lainnya.

Mu’allaf, golongan ini terbagi menjadi 4 macam, yakni: orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah, orang yang baru masuk Islam dan niatnya sudah kuat, di samping itu ia memiliki pengaruh di kalangan kaumnya sehingga dengan memberikan zakat kepadanya dapat diharapkan masuk islamnya orang-orang dari kaum tersebut, orang yang membela kaum (muslimin) dari kejahatan orang-orang kafir, orang yang membela kaum (muslimin) dari keburukan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. 

Riqab (budak Mukatab) adalah budak yang di janjikan meredeka oleh tuannya setelah melunasi sejumlah tebusan yang sudah disepakati bersama dan juga di bayar secara berangsur. 

Sabilillah, adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasu korang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikanzakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah berperang.

Ibnu Sabil, adalah orang yang memulai bepergian dari daerah tempat zakat (baladuzzakat) atau melewati daerah tempat zakat. Disyaratkan bepergiannya bukanlah maksiat, atau tujuan tidak di benarkan dalam agama.

Gharimin, golongan ini terbagi menjadi 3 macam yakni: Orang yang memiliki tanggungan hutang untuk mendamaikan pihak yang bertikai, orang yang berhutang untuk menanggung beban hutang orang lain., orang yang berhutang untuk keperluan dirinya sendiri atau untuk keluarganya dengan tujuan digunakan pada perkara yang mubah. 
Apabila berhutang untuk tujuan maksiat maka hukumnya tafsil:

          a. Jika ditasharufkan pada maksiat dan tidak taubat, maka tidak berhak menerima zakat. 
          b. Jika ternyata ditasharufkan pada maksiat namun telah taubat dan diduga kesungguhan 
              taubatnya oleh orang yang zakat, maka berhak menerima zakat.
          c. Jika ternyata ditasharufkan pada perkara yang mubah, maka berhak menerima zakat.

Dan Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat fitrah adalah fakir miskin yang tidak mendapatkan makanan pada hari raya Idul Fitri. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam  :

زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

"Zakat Fitri merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa) dan bantuan makanan untuk para fakir miskin." (Hadits Hasan riwayat Abu Daud).

Golongan Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Golongan orang yang tidak berhak menerima zakat ada lima, yakni:
Orang kaya. Yaitu orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. 
Budak atau hamba sahaya selain budak mukatab. 
Keturunan dari bani Hasyim dan bani Muthalib.
 Orang kafir. 
Orang yang menjadi tanggungan nafaqahnya. Artinya tidak boleh memberikan zakat kepadanya atas nama fakir miskin. Namun apabila sebagai orang yang berperang membela agama Allah “Ghuzat” atau orang yang berhutang “Gharim” maka diperbolehkan.


Apakah boleh membayar Zakat Fitrah di awal Romadhon??

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan karena kaum muslimin tidak lagi berpuasa. Itulah mengapa zakat fitrah disebut dengan kata fithri karena ada kaitannya dengan perayaan Idul Fithri. Namun masih dibolehkan jika zakat fitrah ditunaikan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Lantas bagaimana dengan pendapat sebagian ulama yang membolehkan zakat fitrah di awal atau pertengahan bulan? Apakah seperti itu benar?

Berikut kami nukil penjelasan dari Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam kitab beliau Al Mughni. Beliau rahimahullah berkata,

Jika zakat fithri dibayarkan satu atau dua hari sebelum Idul Fithri, itu sah.
Ringkasnya, boleh saja mendahulukan pembayaran zakat fithri satu atau dua hari sebelum Idul Fithri, namun tidak diperkenankan lebih daripada itu.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانُوا يُعْطُونَهَا قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Mereka (para sahabat) dahulu menyerahkan zakat fithri satu atau dua hari sebelum Idul Fithri.“ (HR. Bukhari dan Abu Daud).

Sebagian ulama Hambali berpendapat boleh menyerahkan zakat fitrhi lebih segera, yaitu setelah pertengahan bulan Ramadhan. Sebagaimana boleh menyegerakan adzan Shubuh atau keluar dari Muzdalifah (saat haji, pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah, -pen) setelah pertengahan malam.

Adapun Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat boleh menunaikan zakat fithri dari awal tahun. Karena zakat fithri pun termasuk zakat, sehingga serupa dengan zakat maal (zakat harta).

Imam Syafi’i berpendapat boleh menunaikan zakat fithri sejak awal bulan Ramadhan sebab adanya zakat fithri adalah karena puasa dan perayaan Idul Fithri. Jika salah satu sebab ini ditemukan, maka sah-sah saja jika zakat fithri disegerakan sebagaimana pula zakat maal boleh ditunaikan setelah kepemilikan nishob.

Adapun menurut pendapat kami, sebagaimana diriwayatkan dari Al Juzajani, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun, ia berkata, telah mengabarkan pada kami Abu Ma’syar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan pada hari Idul Fithri (kata Yazid) di mana beliau bersabda,

أَغْنَوْهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupilah mereka (fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini (Idul Fithri).”(HR. Ad Daruquthniy dalam sunannya dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro). Perintah mencukupi fakir miskin di sini bermakna wajib. Jika zakat fithri tersebut diajukan jauh-jauh hari, maka tentu maksud untuk mencukupi orang miskin pada hari raya Idul Fithri tidak terpenuhi. Karena sebab wajibnya zakat fithri karena adanya Idul Fithri. Itulah mengapa zakat fithri disandarkan pada kata fithri.

Sedangkan zakat maal dikeluarkan karena telah mencapai nishob. Maksud zakat maal juga adalah untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin setahun penuh. Jadi, zakat maal sah-sah saja dikeluarkan sepanjang tahun. Adapun zakat fithri itu berbeda karena maksudnya adalah mencukupi fakir miskin di waktu tertentu. Oleh karenanya, zakat fithri tidak boleh didahulukan dari waktunya.
Jika mendahulukan zakat fithri satu atau dua hari sebelumnya, itu masih dibolehkan. Sebagaimana ada riwayat dari Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ .
وَقَالَ فِي آخِرِهِ : وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dari bulan Ramadhan.” Disebutkan di akhir hadits, “Mereka para sahabat menunaikan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum hari raya.” Perkataan ini menunjukkan bahwa inilah waktu yang dipraktekkan oleh seluruh sahabat, sehingga hal ini bisa disebut kata sepakat mereka (baca: ijma’). Karena mendahulukan zakat fithri seperti itu tidak menghilangkan maksud penunaian zakat fithri. Karena harta zakat fithri tadi masih bisa bertahan keseluruhan atau sebagian hingga hari ‘ied. Sehingga orang miskin tidak sibuk keliling meminta-minta (untuk kebutuhan mereka) pada hari ‘ied. Itulah zakat, boleh saja didahulukan beberapa saat dari waktu wajibnya seperti zakat maal.Wallahu a’lam. [Al Mughni, 4: 300-301]
Problematika Zakat 

Zakat Fitrah Kepada Kyai, Masjid dan Sebagainya

Berikut ini penulis sajikan pembahasan tentang berbagai makna sabilillah menurut beberapa ulama yang kemudian menjadi landasan diperbolehkannya memberikan zakat kepada kyai, masjid, pondok, madrasah dan sebagainya.

Sabilillah, pada dasarnya adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasuk orang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikan zakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah berperang.

Perbedaan pandangan tentang pemberian zakat fitrah kepada selain golongan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an menjadi permasalahan yang pelik, di sisi lain praktek tersebut sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat kita. Seperti dalam permasalahan mentasarufkan zakat kepada masjid, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan, guru ngaji atau kyai, yayasan sosial atau keagamaan dan yang lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam memaknai kata sabilillah dalam al-Qur’an (at-Taubah :30).

Imam Syihabuddin al-Qasthalani misalnya berpendapat bahwa Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah adalah para penuntut ilmu atau pelajar yang mempelajari ilmu syara', orang-orang yang mencari kebenaran, orang yang menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang yang membela agama yang lurus.

Imam Kasani memaknai sabililah dengan semua jalan ibadah, termasuk pula orang-orang yang berjuang dalam ketaatan kepada Allah, dan menegakkan kebaikan dengan catatan apabila memang membutuhkan pembagian zakat, karena makna sabilillah mencakup semua sektor kebaikan. Sebagian ulama Hanafiyah juga ada yang memaknai sabilillah adalah orang-orang yang mencari ilmu walaupun kaya. Imam al-Qaffal menukil dari sebagian ahli fiqih, bahwa mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat kepada segala sektor kebaikan (wujuh al-Khair) seperti mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan sebagainya, karena kata-kata sabilillah dalam Al-Qur'an (at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya).
Hanya Allah yang memberi taufiq dan hidayah.‎

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

Makalah Tentang Permainan Tradisional "Bola Bekel"

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)