Artikel Dari Darussalam ke Darussyahwat


            Darussalam adalah sebuah negeri yang berhembus angin kedamaian. Mengalir deras mata air pengetahuan. Bernaung di bawah langit kemuliaan. Desahan nafas menjadi tasbih. Tetesan keringat menjadi saksi. Ayunan langkah diiringi oleh “sayap sayap malaikat”. Semua makhluk beristighfar bagi anak anak Darussalam, hingga ikan ikan dilautan, karena mereka  kagum terhadap anak manusia di Darussalam sedang menuntut ilmu, mengeksplorasi daya nalar yang dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa.
            Tetesan tinta generasi Darussalam lebih tajam dari sayatan pedang para syuhada. Untaian hikmah mereka di kagumi oleh kawan dan disegani oleh lawan. Gerak badan mereka dijadikan panutan. Tatapan mata mereka penuh harapan.   
            Mereka menjadi “gerbong” perubahan. Karena mereka adalah makhluk penghuni Darussalam yang berjuluk “Jantong Hate Rakyat Aceh”. Jantung yang berfungsi mengatur sirkulasi “darah” agar mengalir ke seluruh tubuh yang bernama Aceh. “Darah” itu setiap tahun silih berganti, pulang dan pergi. “Pembuluh nadi dan vena” terus bekerja tiada henti, menandakan “tubuh” itu masih hidup.    
            “Darah” itu kini tersebar di seluruh pelosok negeri. Mengabdi bagi kehidupan, membangun masa depan. “Darah” itu tidak pernah menetap. Ia terus menelusuri setiap ruas negeri, memberikan pencerahan. Kadang ia mengalir ke ujung kaki yang jauh dari jantung. Namun ia “terpaksa” rela, karena bila “darah” tak sampai kesitu, kaki akan menderita lumpuh, yang berakibat tergganggunya kinerja tubuh. Oh “darah” sungguh besar jasamu.   
            Itulah sekilas “nostalgia” Darussalam yang menyimpan banyak kenangan bagi jiwa  yang pernah merajut cita dan asa disana. Namun, “nostalgia” itu kini tercemari oleh “darah kotor” yang dipompa oleh “jantung” yang terjangkiti “hipertensi”.
            “Darah kotor” itu mengalir tak tentu arah.“Sayap sayap malaikat” tergantikan oleh “sayap sayap iblis”. Rahmat yang turcurah berubah menjadi laknat yang melimpah. Ikan ikan dilautanpun mengeluarkan sumpah serapah. Angin kedamaian berubah menjadi badai kehancuran. Mata air pengetahuan di sulap menjadi mata pencaharian. Langit kemuliaan menjadi rata dengan bumi kehinaan. Desahan nafas tasbih berubah menjadi desahan nafas “birahi”. Tetesan keringat menjadi saksi “pergumulan darah kotor” di pojok kampus, rumah kos, taman kota, bibir pantai, café remang-remang, trotoar trotoar, bahkan diatas kendaraan dan mushallapun mereka berpesta pora.
Eksplorasi daya nalar menjelma menjadi eksplorasi daya “syahwat”. Tetesan tinta berubah menjadi tetesan “dosa”. Untaian hikmah berubah menjadi  untaian cumburayu, canda ria, dentuman musik, di keheningan malam dan keramaian siang. Gerbong yang seharusnya menuju ke tujuan, malah berbelok arah menuju ke tebing nan curam.
“Darah kotor” itu berpakaian tapi telanjang, berperasaan tapi bengis, berpendidikan tapi jahil. Rakyat Aceh diseret arus “darah kotor” ke liang kenistaan. Bagaimana nasib tubuh yang bernama Aceh, bila masa depannya dibanjiri “darah kotor”? Kematian, itulah sepotong kata yang pantas di waspadai oleh tubuh yang menderita “hipertensi”. “Darah kotor” itu semakin tahun semakin bertambah. “Mungkin itu sisa sisa tsunami” kata sebagian orang.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, itulah kalimat yang tepat ketika melihat kondisi generasi Darussalam hari ini. Mereka berilmu tapi tidak mengamalkan.
“Orang orang shaleh” di Darussalam bagai buih di tengah lautan. Mereka tergusur oleh derasnya arus westernisasi (kebarat baratan). Cara berpakaian, berdandan, bergaul, berkendaraan, berlibur, berpesta, berumah tangga semuanya ala barat, bahkan cara belajarpun ala barat.
Sekali waktu, duduklah ditrotoar jalan dan perhatikan lalu lalang kendaraan yang lewat. Anda akan melihat gadis gadis gaul berpelukan erat “lagee cicak wa bak u” dengan pemuda “sang kekasih”, mereka menuju kampus untuk sama sama “mununtut ilmu”. Ilmu yang sudah dibumbui oleh “iblis”. Sesampai di kampus mereka bebas berkeliaran tanpa ada teguran dari sang “dosen” yang notabenenya merupakan “pemimpin” , minimal dalam ruang belajar. Bukankah Nabi bersabda “kullukum rain wakullukum mas ulun ‘an ra’iyyatihi” setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.
Setiap muslim adalah pemimpin terhadap terhadap dirinya. Orang tua pemimpin dalam keluarga. Kepala sekolah pemimpin di sekolah. Guru pemimpin dalam ruang kelas. Rektor pemimpin dalam sebuah kampus. Dosen pemimpin dalam ruang kuliah. Pak geuchik pemimpin dalam sebuah desa. Pak camat pemimpin dalam suatu kecamatan. Pak Bupati pemimpin dalam sebuah kabupaten. Pak gubernur pemimpin dalam sebuah provinsi. Presiden pemimpin dalam sebuah Negara.
Lalu, mengapa “darah kotor” di Darussalam semakin merajalela, padahal disana “berselemak” dengan pemimpin? Suatu hal yang ironis, ketika seorang mahasiswa yang pakai sandal ke kampus “dibabat” habis habisan. Sedangkan mahasiswi yang membungkus aurat ala Eropa “dibobot” dengan nilai A plus. Padahal pakai sandal hukumnya mubah, membungkus aurat hukumnya haram. Mengapa yang mubah dilarang sedangkan yang haram dibiarkan? Bukan berarti kita anti pakai sepatu. Apapun boleh dipakai selama tidak merongrong syari’at. Peraturan pakai sepatu ke kampus tentu tidak melanggar syari’at. Tapi mengapa implementasi peraturan pakai sepatu “sehat wal afiat”, sedangkan peraturan busana muslimah “sakit sakitan”?. Takut dicap anarkis, teroris, fundamentalis, itukah alasan mereka sehingga membiarkan proses menuntut ilmu yang begitu agung nilainya dibalut oleh hembusan hembusan syahwat?
Sebenarnya, mahasiswa/i adalah makhluk yang taat dan patuh. Mereka taat membayar SPP setiap semester, patuh masuk ruang kuliah tepat waktu, patuh membuat makalah setiap Mata Kuliah

Yang sangat menyedihkan adalah munculnya pahlawan pembela “syahwat” dari kalangan “intelektual”. Mereka “meramu” dalil dalil Al Qur’an dan Hadits untuk membalut dan menghias “syahwatisasi” seolah olah ia adalah “budaya”.     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)

TAFSIR DAN ASBABUN NUZUL SURAT AL-MAIDAH AYAT 67