Tranformasi Hukum Islam dan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia


Tranformasi menurut bahasa berarti perubahan rupa (bentuk,sifat, dan lain sebagainya), perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan cara mengurangi atau menambah atau dengan menata kembali unsur-unsurnya. Hukum adalah sekumpulan aturan yang memiliki sifat umum, mengikat, dan memaksa. Legislasi hukum Islam berarti menjadikan hukum Islam sebagai hukum Negara. Artinya, hukum Islam diangkat dan dikuatkan menjadi hukum Negara.
Tranformasi hukum Islam di Indonesia adalah kegiatan merumuskan norma-norma hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran, As-Sunnah, dan kitab-kitab fiqh klasik menjadi suatu aturan yang bersifat umum, tidak memihak pada salah satu pola pemikiran, bersifat mengikat dan memaksa yang diberlakukan dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Untuk mewujudkan sifat yang mengikat dan memaksa dari suatu aturan tersebut, diperlukan adanya proses positivisasi hukum. Positivisasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang dan bertujuan untuk melegal-formalkan sebuah aturan. Dalam konteks Indonesia, lembaga yang berwenang melakukan positivisasi hukum yaitu DPR dengan persetujuan Presiden. Penerapan secara Letterlijk hukum Islam yang telah dibukukan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang sangat terpengaruh oleh pemikiran madzhab tertentu menjadi sulit, mengingat kemajemukan agama dan pemikiran yang ada di Indonesia. Syari’at Islam bisa diterapkan dengan upaya positivisasi substansi hukumnya.

Eksistensi Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Historis
Eksistensi hukum Islam di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Keberadaannya tidak terlepas dari sejarah Agama Islam di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Abdul Halim dan Teguh Prasetyo yang mengatakan bahwa sejak agama Islam Lahir, ia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Aturan-aturan tersebut kemudian dirumuskan oleh Rasulullah SAW. menjadi sebuah struktur hukum yang berfungsi mengatur kehidupan umat manusia. Dengan demikian, penerimaan Islam sebagai sebuah agama oleh seorang individu, secara otomatis ia telah menerima hukum Islam di dalam kehidupannya. Berdasarkan teori di atas, ketika masyarakat Nusantara menyatakan Islam dengan mengucap dua kalimat syahadat secara otomatis ia mengakui pula otoritas hukum Islam atas dirinya yang kemudian dikenal dengan teori syahadat.
Perkembangan hukum Islam dan proses tranformasinya menjadi sebuah undang-undang yang mendapat legalitas oleh negara juga dipengaruhi oleh kondisi politik negara dan kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Berdasarkan informsi di atas, perlu adanya pemetaan sejarah hukum Islam dari beberapa periode untuk memudahkan dalam identifikasi. adapun pembagiannya sebagai berikut:

Awal Masuknya Islam di Nusantara
Sebelum kemerdekaan dan dinamakan Indonesia, Nusantara terbagi menjadi kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh wilayahnya. Ada beberapa teori masuknya Islam ke Nusantara menurut Azyumardi Azra yang dikutip oleh Mahsun Fuad. Pertama, Islam masuk ke Nusantara pada abad 1 H atau abad VII M langsung dari Arab (Hadramaut) ke pesisir Aceh. Pendapat ini di latar belakangi oleh keinginan para sejarawan muslim untuk memastikan bahwa Islam yang ada di Nusantara asli dan otentik, bukan sinkretis Meskipun demikian interaksi masyarakat Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari Timur India juga menjadi faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Interaksi antara masyarakat Nusantara dengan kaum muslim dari wilayah lain pada masa itu diyakini melalaui sektor perdagangan. Akan tetapi pendapat ini diragukan oleh Mahsun fuad, ia mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang memilki fungsi ganda, sebagai pedagang dan sebagai da’i. Sehingga proses Islamisasi belum bisa dikatakan telah terjadi.
Kedua, Islam di Nusantara berasal dari anak Benua India (Malabar dan Gujarat), dan bukan dari Arab atau Persia. Teori ini dikemukakan oleh sarjana-sarjana Belanda salah satunya yaitu Snouck Hurgronje. Menurut mereka, orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i melakukan migrasi ke India kemudian datang ke Nusantara untuk menyebarkan Islam. Setelah itu barulah syarif fan sayyid yang menyelesaikan konversi agama. Proses ini terjadi pada abad ke XII M, yang merupakan pijakan yang mungkin dijadikan landasan tentang permulaan Islam di Nusantara. Dengan rasionalisasi bahwa hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah terbentuk.
Ketiga, teori ini menyatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari Benggali (Bangladesh), sebab kebanyakan orang yang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Akan tetapi teori ini menjadi lemah karena mayoritas orang Bangladesh bermadzhab Hanafi, bukan Syafi’i.
Penyebaran Islam di Nusantara juga melalui pergerakan sufi pengembara. Dimana disalah satu sisi hal ini menjadikan hukum Islam tidak bisa mengembangkan diri secara mandiri dalam berbagai bidang kehidupan, karena umat Islam terlalu terkurung dalam dunia tasawuf dan melupakan aspek keduaniawiannya. Meskipun pada akhirnya, setelah adanya gerakan Wahabi, pola fikir seperti ini mulai dikikis oleh ulama moderat seperti berdirinya Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain.

Masa Kesultanan atau Kerajaan Islam di Nusantara
Adanya Islam tidak mungkin terlepas dari eksistensi hukum Islam. Sedangkan eksistensi hukum Islam selalu berhubungan dengan dengan lembaga peradilan dan lembaga tahkim. Untuk melakukan identifikasi terhadap eksistenti hukum Islam pada masa kesultanan atau kerajaan di Nusantara, penulis menggunakan indikasi ada atau tidaknya peradilan Islam di masing-masing kerajaan.
Sedikitnya informasi terkait dengan sejarah peradilan agama di Indonesia berakibat pada sulitnya menemukan informasi yang lengkap tentang eksistensi hukum Islam di Nusantara. Sebelum Islam datang ke Nusantara, telah terdapat dua macam peradilan, yaitu peradilan Pradata yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan telah dibukukan dan peradilan Padu yang berdasarkan norma adat yang hidup dalam masyarakat sehingga bukan merupakan hukum yang tertulis.
Proses Islamisasi berbagai kerajaan di Nusantara sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas membawa dampak yang sangat penting dalam proses penyerapan hukum Islam ke dalam sistem pemerintahan kerajaan. Salah satu contohnya, ditambahnya kata Sultan pada gelar Raja, baik di Jawa maupun luar Jawa. Wewenang dari yang ada pada lembaga tahkim berpindah dan diberikan kepada pengadilan Agana yang bertujuan menegakkan hukum Islam. Dengan adanya perombakan sistem lembaga peradilan yang memasukkan unsur-unsur ke-Islaman di dalamnya. Muncullah peengadilan Jumat, Mahkamah Syariiyah, Pengadilan Surambi atau Pengadilan Serambi. Nama pengadilan di masing-masing kerajaan bisa saja berbeda, akan tetapi intinya tetap sama yaitu hukum Islam sudah mulai dibumikan kedalam tubuh peradilan. Meskipun demikian, peran dari peradilan Agama waktu itu masih dibatasi pada perkara perdata dan para Qadhi bertugas memberikan pertimbangan kepada raja dalam memutuskan perkara.
Rujukan dari Qadhi dalam memutuskan suatu perkara didasarkan pada kitab-kitab klasik atau kitab fiqh karya ulama terdahulu yang masih terkotak-kotak berdasarkan madzhab yang dianutnya. Sehingga pada periode ini belum bisa ditemukan proses legislasi hukum Islam yang memuat aturan-aturan global yang dapat dijadikan rujukan secara umum oleh badan peradilan.

Masa Penjajahan (Belanda sampai Jepang) di Indonesia
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Indonesia pernah mengalami penjajahan selama tiga abad lebih. Mulai datangnya Inggris sampai dengan menyerahnya Jepang kepada pasukan sekutu. Dalam rentang waktu yang demikian panjang, eksistensi hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang dan surut sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada waktu itu. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonialis Belanda juga sangat berpengaruh terhadap hukum Islam di Indonesia yang dampaknya masih bisa kita rasakan sampai saat ini.
- Teori Receptie in Complexu
Belanda pertama kali datang di Indonesia pad abad XVII dengan tujuan hanya untuk mencari rempah-rempah, akan tetapi kekayaan alam yang dimiliki oleh Nusantara pada masa itu telah mengubah niat dari Belanda, dari kegiatan perdagangan menjadi menjajah. Pada periode awal penjajahan, Belanda mengakui eksistenti hukum Islam. Sistem hukum ini dianggap sebagai norma yang hidup di masyarakat (living law), jika mereka mengusik keberadaannya, maka berarti pula mereka mengusik masyarakat yang akan menimbulkan pemberontakan.
Setelah cukup lama diam tanpa ikur campur terhadap peradilan agama, Belanda akhirnya mengeluarkan kebijakannya melalui kantor dagangnya Belanda VOC (1602-1880). Pada tanggal 2 mei 1760 dikeluarkan sebuah Resolutie der indeshe Reegering yang berikan ketentuan diberlakukannya sekumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam yang dipergunakan pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freiyer, yang bisa dikatakan sebagai bentuk legislasi pertama terhadap hukum Islam. Selain itu, Belanda juga mengeluarkan Cirbonsch Rechboek, yang disusun atas usulan Residen Cirebon, Mr. P.C Hosselaar (1757-1765); Compendium der Van Voornaamste Javaanisch Wetten Naekeuring Gotrekken uit het Mohammedaansch Wetboek Morgharrear, disusun untuk Landraad Semarang (1750) yang diambil dari kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i , yang secara substantif berisikan hukum pidana Islam dan adat; Compendium Indlansch Wetten Bij de Hoven van Bone en Goa yang diperuntukkan bagi Makassar (Sulawesi Selatan).
Kebikajan yang berkaitan dengan legislasi hukum Islam oleh Belanda ini dipengaruhi oleh teori Receptie in Complexu yang dikemukakan oleh Prof Dr. Lodenwijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927). Ia mengatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya meskipun didalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan dan juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para Qadhi Islam. Van den Berg memosisikan hukum Islam setara dengan sistem hukum lainnya. Teori ini juga berimplikasi terhadap eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia, contohnya pada tanggal 01 Desember 1835 Belanda mengeluarkan Staatsblad No.58 Tahun 1835 yang mengakui eksistenti PA di Batavia. Meskipun demikian, Belanda tetap membatasi wewenang PA hanya mengadili perkara-perkara perdata saja, sedangkan perkada pidana diserahkan ke Landraad. Pada mulanya, politik hukum Belanda ini cukup menuntungkan posisi Islam setidaknya sampai akhir abad ke-19 dengan keluarnya Staatsblad No.152 tahun 1882 yang mengatur sekaligus mengakui adanya lembaga peradilan Agama di Jawa dan Madura.
Kondisi ini tidak bertahan lama, kekhawatiran orang-orang Belanda terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia yang dapat mempengaruhi stabilitas kehidupan umat Islam di Indonesia akan mengancam kedudukan mereka di Indonesia. Menyikapi fenomana seperti ini, orang-orang Belanda yang dipelopori oleh Prof. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) melakukan upaya penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam dengan mengenalkan teori Receptie. Menurut mereka hukum yang berlaku bagi orang pribumi adalah hukum mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi (diterima dan dilaksanakan) oleh hukum adat. Sehingga, hukum adatlah yang menjadi penentu kekuatan hukum Islam.
Teori ini secara langsung mematikan eksistensi hukum Islam dan secara tidak langsung menggusur peradilan Agama Islam dikerenakan ketiadaan sumber materiil yang dijadikan rujukan. Secara praktis teori ini baru berhasil dilaksanakan oleh Ter Haar salah satu murid dari Van Vollen Hoven yang mengembangkan hukum adat. Pada periode ini yang menjadi perhatian pemerintah Belanda adalah legitimasi hukum adat dan bukan hukum Islam. Berdasarkan teori ini pula, Belanda meninjau dan akhirnya mencabut wewenang Peradilan Agama dalam menangani kasus waris orang Islam dan PA hanya menangani kasus perkawinan saja yang diatur dalam Staatsblad 1937 No.116. Hal ini adalah suatu bentuk pembunuhan secara perlahan terhadap eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia.
Dampak dari teori ini terus berlanjut sampai akhir masa kedudukan Belanda di Indonesia. Setelah Belanda menyerah terhadap Jepang, undang-undang buatan Belanda tidak serta merta diganti. Akan tetapi, undang-undang yang tidak bertentangan dengan kepentingan Jepang masih dipertahankan. Termasuk tentang Pengadilan Agama. Pada masa ini, eksistensi peradilan Agama pernah terancam dengan putusan Dewan Pertimbangan Agung milik Jepang yang menyatakan bahwa dalam rangka pemisahan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan khusus dan segala urusan diserahkan ke pengadilan biasa. Putusan ini tidak terlaksana disebabkan menyerahnya Jepang terhadap sekutu dan Indonesia memploklamirkan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada 17 Agustus 1945 yang berakibat tetap eksisnya PA hingga saat ini.
http://m-syarifuddin.blogspot.com/2009/06/tranformasi-hukum-islam-dan.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

Makalah Tentang Permainan Tradisional "Bola Bekel"

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)