Skripsi Gadai

ABSTRAK


Permalasahan gadai-menggadai adalah suatu keharusan dalam islam maupun hukum positif. Tujuan dari aqad ini adalah untuk menyerahkan suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan hutang (borq). Aqad gadai-menggadai yang selama ini berlaku dalam masyarakat kita lebih cendrung kepada tata cara adat-istiadat setempat yang notabenenya merugikan pihak penjual gadai (rahin), karena barang gadai setelah aqad berlangsung akan dikuasai oleh pihak pembeli gadai (murtahin), dan selanjutnya ia akan mengolah dan menuai hasil dari barang gadai tersebut. Praktek seperti ini sangat bertentangan dengan hukum islam sebagaimana yang didapati dalam berbagai karya ulama baik klasik maupun kontemporer khususnya ulama Syafi’iyah. Selanjutnya dalam hukum positif mengenai rahan juga telah diatur dengan cukup sempurna sebagaimana yang tercantum dalam UU No 56 Prp Tahun 1960. Hukum positif juga sangat menentang terhadap praktek gadai-menggadai secara adat yang kecendrungannya merugikan penjual gadai. Kedua acuan hukum tersebut melarang keras menguasai barang jaminan hutang, apalagi memanfaatkannya, akan tetapi pemanfaatan ini dibolehkan bila telah terlebih dahulu dilakukan kesepakatan bersama untuk mengelola lahan dan hasil yang diperoleh dibagi diantara keduanya sesuai dengan perjanjian. Walaupun hukum islam maupun hukum positif telah menggariskan permasalahan gadai sebagaimana di atas, namun masih banyak masyarakat kita khususnya masyarakat Kecamatan Samalanga masih belum mematuhinya dan tetap menjalankan gadai-menggadai secara adat. Hal ini terbukti dengan hasil penelitian penulis terhadap para tokoh masyarakat dan pelaku gadai yang ada dalam wilayah Kecamatan Samalanga. Adapun yang menjadi faktor penyebab pelaksanaan gadai secara adat dan munculnya hambatan untuk melakukan gadai sebagaimana dalam hukum islam (fiqh syafi’iyah) dan hukum positif adalah karena kurangnya penyuluhan dalam masyarakat terhadap konsep gadai yang mengacu kepada dua hukum diatas, berikut juga tidak adanya suatu larangan bagi pelaksana gadai secara adat.

BAB SATU
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama terakhir diturunkan oleh Allah Swt yang lengkap dengan segala aspek hukum yang mengatur ummat manusia dalam kehidupan dunia ini, baik meyangkut dengan ibadah, muamalah, munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Kesemua hal tersebut diatur dengan sedemikian rupa untuk dapat melancarkan kehidupan manusia sehari-hari, salah satu aspek yang kiranya dapat diperhatikan adalah aspek muamalah, yang di dalamnya diatur berbagai tata cara melakukan suatu transaksi di antara seseorang dengan orang lainnya, dan dari sekian banyak subtansi muamalah ini terdapat di dalamnya yaitu suatu permasalahan yang sangat lumrah terjadi dalam kehidupan masyarakat kita yakni gadai-mengadai harta benda.
Tentang permasalahan ini, islam sudah mengaturnya dengan sangat lengkap dan rinci, hal ini dapat kita lihat dari salah satu firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 283 yang berbunyi :
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليوًد الذى اؤتمن أمانته وليتق الله ربه .......(سورة البقرة : ۲۸۳ )
Artinya : Jika kamu dalam suatu perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebahagian kamu mempercayai sebahagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah sebagai Tuhannya…(Al-Baqarah : Ayat : 283).[1]

Berdasarkan firman Allah Swt yang telah tersebut di atas, jelaslah bahwa persoalan gadai-menggadai harta benda merupakan suatu hal yang dibolehkan (mubah) dalam agama islam. Adapun mengenai hal ini kebanyakan ulama telah sepakat bahwa gadai merupakan hal yang boleh dilakukan walaupun bukan dalam perjalanan, asalkan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam hukum islam.
Persoalan gadai dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini merupakan suatu hal yang lumrah, sehingga hampir disetiap tempat ada terjadinya penggadaian harta yang mereka miliki sebagai jaminan bagi utang yang mereka terima dari orang yang berpiutang. Namun pelaksanaan gadai oleh hampir setiap masyarakat kita adalah menyimpang dari ketentuan atau prinsip-prinsip gadai yang ada dalam islam. Sebagaimana yang kita jumpai dari praktek masyarakat Kecamatan Samalanga yang masih memperlakukan gadai sesuai dengan hukum adat kebiasaan setempat.
Bila mengkaji tentang tata cara gadai dengan memberlakukan secara adat, sungguh terdapat suatu penyimpangan dari hukum islam yang ada, karena penggadaian dengan menggunakan sistim adat mengandung unsur pemerasan dari pihak yang berpiutang terhadap pihak yang berhutang, di mana pihak yang memegang gadai melakukan penguasaan dan mengambil manfaat pada barang gadai tersebut, hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak yang berhutang, dan bisa dikatakan yang bahwa dalam praktek seperti ini tidak mengandung unsur membantu, dan akhirnya pihak yang berhutang akan bertambah sulit dalam menanggani problema yang ia alami, bahkan menimbulkan masalah baru yaitu hilangnya hak untuk dapat memanfaatkan harta benda yang ia miliki.
Praktek seperti ini sangat dilarang dalam islam, karena islam menganjurkan kita untuk saling tolong-menolong antar sesama dan tidak dibenarkan untuk memeras orang lain. Dan mengenai praktek gadai menggadai sebgaimana diatas masih terus berlaku sampai saat ini pada masyarakat Kecamatan Samalanga, mengenai larangan praktek gadai sebagaimana di atas Rasulullah Saw bersabda :
وعن على رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل قرض جر منفعة فهو ربا (رواه : الحارس بن أبى أسامة)
Artinya : Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, berkata telah bersabda Rasulullah Saw : Setiap hutang yang menarik manfaat dari padanya digolongkan kepada riba.[2]
Menurut uraian hadist di atas jelaslah bahwa praktek gadai yang selama ini dilakukan oleh sebahagian masyarakat kita adalah riba dan hukumnya haram, karena lumrah terjadi bila seseorang memberikan hutang kepada orang lain, selanjutnya ia menerima borg dari orang tersebut, maka ia menguasainya dan semua manfaat dari harta tersebut ia ambil selama hutangnya belum dibayar.
Walaupun hukum Islam telah mengatur dengan demikian rinci dan lengkap tentang tata cara pelaksanaan gadai, namun ketentuan tersebut belum pernah berjalan dengan optimal, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Demikian juga halnya dengan hukum positif, selain pelaksanaan gadai tidak sesuai dengan ketentuan hukum positif tersebut, yang namun untuk menerapkan sebagaimana yang diatur oleh undang-undang pokok agraria Nomor 56 Perpu tahun 1960 serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961,   juga mengalami hambatan karena terbentur dengan adat kebiasaan masyarakat setempat yang masih banyak mengandung unsur pemerasan. Sedangkan pemerintah telah mengusahakan untuk mempersempit mengenai pemerasan yang dilakukan oleh pihak pemegang gadai, yaitu dengan memberlakukannya undang-undang nomor 56 Perpu tahun 1960 yang mengatur tentang pengembalian dan penebusan tanah gadaian.
Ketentuan undang-undang tersebut bertujuan untuk memperbaiki ketentuan-ketentuan gadai tanah yang masih berlaku menurut hukum adat yang notabenenya banyak mengandung unsur pemerasan, karena hasil yang diperoleh dari tanah gadaian diambil oleh pemegang gadai.
Namun hingga saat ini di Kecamatan Samalanga belum pernah berlaku dengan semestinya sebagaimana yang terkandung di dalam undang-undang tersebut, karena jual gadai tanah sawah merupakan salah satu cara yang sering dilakukan apabila mereka membutuhkan uang secara tiba-tiba dan sangat mendesak. Karena dengan cara inilah tanah yang mereka miliki tidak menjadi milik orang lain untuk selama-lamanya dari pada melakukan jual lepas.
Ketentuan gadai adalah apabila dalam jangka waktu tertentu tidak ditebus maka selama itu pula tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Hal ini didasarkan kepada suatu pertimbangan bahwa gadai merupakan dasar jual beli dalam hukum adat. Di mana pemilik semula harus membeli kembali objek gadai tersebut dengan jalan menebus kembali. Berdasarkan latar belakang di atas maka timbullah suatu inspirasi bagi penulis untuk mengkaji secara langsung terhadap pelaksanaan gadai-menggadai pada masyarakat Kecamatan Samalanga apakah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum islam dan hukum positif. Selanjutnya hasil dari penelitian ini akan penulis analisa dan menyusunnya menjadi suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi . Karya ilmiah ini berjudul “Gadai Tanah Di Kecamatan Samalanga (Tinjauan Hukum Menurut Fiqh Syafi’iyah dan UU No 56 Prp Tahun 1960)”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan yang ingin diteliti sebagai berikut :
1.      Bagaimana tata cara gadai-menggadai menurut Fiqh Syafi’iyah dan UU No 56 Prp Tahun 1960.
2.      Sejauh mana ketentuan hukum gadai-menggadai menurut Fiqh Syafi’iyah dan UU No 56 Prp Tahun 1960 yang telah terlaksana pada gadai-menggadai dalam masyarakat Kecamatan Samalanga.


C.    Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan gadai-menggadai yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Samalanga.
b.      Untuk mengetahui sejauh mana yang telah digariskan dalam hukum islam dan hukum positif yaitu Undang-undang nomor 56 Prp tahun 1960 telah berlaku pada masyarakat Kecamatan Samalanga.

D.    Penjelasan Istilah
            Untuk menghindari terjadinya simpang siur atau kesalahfahaman dalam memahami sitilah-istilah yang ada dalam karya tulis ini. Maka penulis menganggap penting untuk memberikan penjelasan bagi setiap istilah yang ada, di antaranya :
a.       Gadai
Menurut istilah kamus besar bahasa Indonesia, gadai ialah :
a.        Pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai jaminan, jika telah sampai waktunya barang tersebut tidak ditebus, maka barang tersebut menjadi hak bagi orang yang memberi pinjaman.
b.        Barang yang diserahkan sebagai jaminan hutang.
c.        Kredit jangka pendek dengan jaminan sukuritas yang berlaku tiga bulan dan setiap kali diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak.[3]
Sedangkan dalam kamus hukum diberikan penjelasan gadai adalah sebagai berikut :
Suatu hak yang diperoleh seseorang yang memberikan piutang atas sesuatu barang yang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau orang lain yang menguasai harta tersebut, secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang tidak membayar hutangnya. Barang yang tidak bergerak yang dipakai sebagai jaminan hutang dijual di depan umum, dengan putusan (persetujuan) hakim atasnya.[4]
Sedangkan pengertian gadai menurut K. Ng. Suberti dan R. Tjitrosoedbio adalah “penyerahan suatu barang untuk jaminan pembayaran suatu hutang”.[5]
Atas dasar pengertian istilah yang dikemukakan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan gadai dalam pembahasan skripsi ini adalah penyerahan suatu barang oleh pihak debitur kepada kreditur sebagai jaminan pembayaran hutang.
b.      Tanah Sawah
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan tanah sawah ialah “ tanah yang digarap dan diairi air untuk tempat menanam padi”.[6] Dan berdasarkan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan tanah sawah di sini adalah sepetak atau beberapa petak tanah yang diairi air sebagai tempat untuk menanam padi.
c.       Hukum Islam
Menurut Hasby Ash-Shiddieqy, ia memberikan pengertian hukum Islam adalah sebagai berikut :
مجموع محاولات الفقهاء لتطبيق الشريعة على حاجات المجتمع.
Artinya : “Koleksi dan dan upaya para fukaha dalam menerapkan hukum Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.[7]
Dan pengertian yang diberikan oleh Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul “Dasar pokok hukum Islam dan akidah ahlussunnah wal-jamaah, ialah :
Semua peraturan yang berisikan hukum-hukum yang datang dari pada Allah Swt dan disampaikan oleh rasulnya Nabi Muhammad Saw untuk mengatur tatanan kehidupan manusia, dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan masyarakat dan negara[8].
Berdasarkan pengertian istilah yang diuraikan di atas, maka dapatlah disimpulkan yang bahwa hukum Islam merupakan keseluruhan kaedah atau peraturan-peraturan yang datang dari Allah Swt dan disampaikan melalui Rasul-Nya untuk mengatur tatanan hidup ummat manusia dalam hal ubudiyah maupun hubungan dengan manusia dan negara.   
d.      Hukum Positif
Menurut C. st. Cansil, yang dikatakan sebagai hukum positif ialah “hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam dalam daerah tertentu”.[9] Sedangkan menurut istilah yang terdapat dalam besar bahasa Indonesia, hukum positif ialah “suatu hukum yang berlaku kini dan di sini”.[10]
            Dari pengertian yang diuraikan di atas, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa yang dikatakan sebagai hukum positif ialah hukum-hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu serta dalam waktu yang tertentu.

E.     Tinjauan Kepustakaan

F.     Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode dekriptif kualitatif dengan bangun penelitian kalkulus emic, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat masalah yang terjadi pada suatu tempat.
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan karya ilmiah ini, maka penulis menempuh beberapa teknik pengumpulan data yaitu :
1.      Library Reseach, yaitu penulis mempergunakan sejumlah buku-buku yang mempunyai kaitan dengan permasalahan ini untuk dijadikan sebagai data primer dalam menyusun suatu kerangka teoritis bagi penelitian ini. Di samping itu penulis juga merujuk kepada data sekunder untuk mendukung kesempurnaannya.
2.      Field Reseach, yaitu penulis terjun langsung ke lapangan atau objek penelitian guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. Penelitian ini dipusatkan di Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen.
Selanjutnya untuk memperoleh data di lapangan, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, di antaranya :
a.       Interview, yaitu penulis melakukan wawancara langsung dengan masyarakat Kecamatan Samalanga dan termasuk di dalamnya Muspika dan tokoh-tokoh lain yang memang dianggap sesuai untuk diwawancarai tentang permasalahan ini, selanjutnya penulis juga mewancarai para penduduk yang terlibat langsung dalam proses gadai-menggadai di daerah tersebut.
b.      Observasi, yaitu penulis melakukan pengamatan langsung terhadap pelaksanaan gadai-menggadai bahkan juga turut meyaksikan proses gadai-menggadai ini bila kebetulan terdapat masyarakat yang sedang melakukan transaksi ini.
c.       Intrument
Istrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat tulis, pedoman observasi, pedoman wawancara, pedoman angket dan tape recorder.
d.      Teknik Sampling
Masyarakat yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah unsur pemerintahan, pemuka adat/mukim kepala desa dan para pelaku gadai dalam Kecamatan Samalanga yang jumlahnya adalah 20 orang. Untuk menentukan sampel penelitian ini, penulis mengacu kepada teknik  purposive sampling yang artinya penentuan sampel secara sengaja dan memilih, demi memudahkan penelitian dan tetap memperhatikan kepada validnya data dan terwakili bagi semua populasi yang lain.
e.       Teknik analisis data
            keseluruhan data yang telah terkumpul dari hasil observasi, wawancara, dan angket kemudian di deskripsikan, selanjutnya akan di analisa sesuai dengan prinsip trianggulasi (cross chech) tentang studi pustaka, observasi dan wawancara dan angket sesuai dengan data yang dibutuhkan. Karena penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan gadai tanah menurut fiqh syafi’iyah dan UU No 56 Prp Tahun 1960. dan juga untuk mengetahui sejauh mana ketentuan hukum di atas telah dilakukan masyarakat Kecamatan Samalanga dalam pelaksanaan gadai-menggadai yang mereka lakukan. Selanjutnya akan diambil kesimpulan dengan metode deduktif-induktif.
Dalam penyusunan dan penulisan, penulis berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa dan Pedoman Trasnliterasi Arab Latin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh” tahun 2001, dan buku-buku pedoman lain yang berhubungan dengan penulisan karya  ilmiah ini. Sedangkan untuk terjemahan ayat-ayat Al-Quran  penulis gunakan “Al-Quran dan terjemahannya” oleh Yayasan penyelenggaraan penterjemahan/penafsiran Al-Quran Indonesia terbitan CV. Penerbit Diponegoro Bandung angkatan IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia cetakan ke X tahun 2000.

G.    Sistematika Pembahasan
            Skripsi ini akan ditulis dalam empat bab, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan.
            Bab satu, merupakan pendahuluan, di dalamnya penulis tuliskan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, postulat dan hipotesa, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
            Bab dua, di dalamnya penulis tuliskan tentang gadai dan permasalahannya, yaitu pengertian, syarat gadai menurut hukum Islam dan gadai menurut hukum positif.
            Bab tiga, di dalamnya penulis kemukakan yaitu, pelaksanaan gadai di Kecamatan Samalanga, yang menjadi subnya ialah gambaran umum lokasi penelitian, selanjutnya tentang pelaksanaan gadai-menggadai dalam masyarakat Kecamatan Samalanga, faktor-faktor terjadinya gadai dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan gadai sesuai dengan hukum islam dan hukum positif.
            Bab empat merupakan penutup dari karya tulis ini yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran-saran.
BAB DUA
GADAI DAN PERMASALAHANNYA

A.    Gadai Dalam Kontek Fiqh Syafi’iyah
Pengertian Gadai
Secara etimologi gadai adalah الثبوت yang berarti tetap, sedangkan menurut terminologi gadai adalah :
جعل عين ملية وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذرالوفاء
Artinya : Menjadikan harta sebagai jaminan bagi hutang dan akan diambil  sebahagiannya bila seseorang tidak sanggup membayar hutang.[1]
Dasar Hukum Gadai
Di dalam melaksanakan suatu perbuatan yang mempunyai kaitan dengan hukum, tentunya  harus mempunyai landasan ataupun dasar hukumnya, hal ini untuk menjadikan permasalahan tersebut menarik untuk diperhatikan, begitu juga mengenai pelaksanaan gadai dalam hukum islam, ia mempunyai landasan hukumnya. Adapun yang menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan gadai-menggadai dalam hukum islam ialah, antara lain :
a.       Firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi :
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليوًد الذى اؤتمن أمانته وليتق الله ربه .......(سورة البقرة : ۲۸۳ )
Artinya : Jika kamu dalam suatu perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebahagian kamu mempercayai sebahagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah sebagai Tuhannya…(Al-Baqarah : Ayat : 283).[2]

b.      Hadits Rasulullah Saw dari Anas dan Ainsyah r. a riwayat Bukhari yang bunyinya sebagai berikut :
عن أنس رضى الله عنه قال : ولقد رهن النبي صلى الله عليه وسلم درعه بشعير و مشيت إلى النبي الله عليه وسلم بخبز شعير وإهالة سنخة, ولقد سمعته يقول : ما أصبح لآل محمد صلى الله عليه وسلم إلا صاع ولا أمسى وإنهم لتسعة أبيات (رواه البخاري)
Artinya : Dari Anas r.a ia berkata : Sesungguhnya Nabi Saw pernah  menggadaikan baju besinya dengan biji gandum. Aku menemui Nabi Saw dengan membawa roti dari biji gandum dan kue yang sudah tengik. Aku pernah mendengar beliau bersabda yang bunyinya “ bagi keluarga Muhammad Saw setiap pagi dan sore hanya memerlukan satu sha’, padahal sesungguhnya mereka memiliki sembilan anggota keluarga.[3]
Adapun Hadits dari Ainsyah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang bunyinya adalah sebagai berikut :
عن عاﺌشة رضى الله عنها : أن النبى صلى الله عليه وسلم إشترى من يهودي طعاما إلى أجل ورهنه درعة (رواه البخاري)
Artinya : Dari Ainsyah r. a. Sesungguhnya Nabi Saw membeli makanan dari orang Yahudi dengan cara tidak tunai, lalu beliau menggadaikan baju besinya kepada Yahudi tersebut. [4]
c.       Ijma’ ulama
Sebagaimana yang telah oleh Masjfuk Zundi, ia mengatakan bahwa “ Ulama membolehkan (mubah) perjanjian gadai, hanya mereka ada sedikit berbeda pendapat tentang apakah gadai hanya dibolehkan dalam keadaan bepergian saja atau dapat dilakukan dalam keadaan bagaimana dan kapan saja”.[5]
Dalam kitab I’anatuttalibin disebutkan, bahwa sah aqad rahan pada suatu hutang, hal ini bertujuan untuk memberikan jaminan bagi si pembeli rahan (murtahin) terhadap hutang yang ia berikan kepada penjual rahan (rahin) yang nantinya borq tersebut akan dijual bila si rahin tidak dapat membayar hutangnya .[6]
Maka berdasarkan dasar-dasar hukum yang telah tersebut di atas, bahwa gadai itu hukumnya boleh (mubah) bila dilaksanakan baik dalam perjalanan maupun di tempat tinggalnya (domisili), alasannya karena dengan adanya gadai seseorang dapat meminjam uang pada orang lain di saat sangat mendesak dan orang lain pun tidak enggan untuk memberikannya karena terdapat suatu jaminan bagi piutangnya. Bahkan dengan dibolehkannya gadai hak milik seseorang tidak akan terjual lepas menjadi milik orang lain, karena dengan melakukan gadai dapat menebusnya kembali pada saat suatu waktu yang telah ditetapkan sesuai dengan perjanjian.
Demikian juga patut diketahui, bahwa dalam pelaksanaan gadai bukanlah suatu aqad jual lepas, di mana pihak yang membeli gadai (kreditur) boleh  menikmati hasil dari barang gadaian tersebut. Sebagaimana barang gadaian itu bukanlah milik sempurna lagi bagi pihak yang menjualnya (debitur), demikian juga pihak pembeli gadai haknya pada sifat kebendaan saja yang mempunyai nilai, sedangkan untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum di atas barang tersebut tidak dibolehkan seperti mewaqafkan, menghibah serta melakukan aqad jual beli di atas barang tersebut. Oleh karena hal yang demikian, maka barang gadaian itu sebagai barang tanggungan saja (borg) atas hutang yang telah diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur.
Syarat-syarat gadai
Suatu perbuatan yang mempunyai konsekwensi hukum agar menjadi sah, maka padanya harus dipenuhi dengan berbagai persyaratan yang terkandung di dalamnya. Demikian halnya dengan pelaksanaan gadai dalam hukum islam juga harus dipenuhi dengan segala persyaratan-persyaratannya, antara lain :
أولا : العقل
ثانيا : البلوغ
ثالثا : أن تكون العين المرهنة موجودة وقت العقد ولو كانت مشاعة
رابعا : أن يقبضها المرتهن أو وكيله.
Artinya :
1.      Berakal
2.      Baliq
3.      Barang yang dijadikan jaminan harus ada pada saat aqad sekalipun satu jenis.
4.      Barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadai (murtahin) atau wakilnya.[7]
Berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan di atas, maka sangat penting untuk diketahui bahwa aqad gadai harus memenuhi berbagai criteria yang telah disebutkan, karena kalau terdapat kekurangan dari apa yang telah digariskan gadai akan nerakibat kepada batal atau tidak sah.
Adapun syarat yang pertama yang wajib dipenuhi oleh orang yang melakukan gadai adalah berakal, maksudnya bila orang yang gila melakukan gadai maka aqad yang dilakukan menjadi batal. Hal ini disebabkan oleh karena orang gila tidak cakap dalam melakukan suatu tindakan, dan harus didampingi oleh seorang pengampu (curatele) dalam setiap hal yang dilakukan, artinya ia harus diwakili oleh orang tuanya atau curatornya.
Syarat yang kedua bagi orang yang melakukan gadai haruslah baliq (dewasa), karena kalau dilakukan oleh anak-anak, maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, karena anak-anak masih kurang bisa mengakumulasikan suatu masalah dengan bijak dan terhindar dari efek-efek yang timbul di kemudiannya, maka oleh karena aqad yang dilakukan oleh anak-anak (belum baliq) dianggap tidak sah.
Syarat ketiga bagi gadai yaitu barang yang dijadikan sebagai borg (jaminan) harus ada pada saat aqad dilaksanakan sekalipun barang tersebut tidak satu jenis, karena tidak memungkinkan sesuatu barang yang tidak ada di tempat aqad dilaksanakan dijadikan sebagai borg (jaminan).
Zainuddin Al-Malibari dalam kitab I’anatuttalibin menyebutkan bahwa barang yang dijadikan sebagai rahan harus berupa benda yang dapat dijual kembali, maka dengan ini tidak dapat menjadikan borq barang yang telah di jadikan borq sebelumnya atau mutlak barang tersebut milik orang lain.[8]
Menurut Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitab Qalyubi wa ‘Umairah, benda yang dapat dijadikan sebagai borq adalah ain (benda) yang utuh, dan menurut beliau tidak dibenarkan menjadikan borq berupa hutang, karena hal ini mengakibatkan kepada sukar melakukan penyerahan benda dari pihak rahin kepada murtahin.[9]
Sedangkan syarat yang keempat adalah barang yang dijadikan borg (jaminan) harus dipegang oleh orang yang membeli gadai (murtahin). Karena tidak mungkin barang dijadikan sebagai barang jaminan dipegang oleh orang yang menjual gadai (rahin), sebab barang-barang tersebut adalah dijadikan untuk jaminan pembayaran suatu hutang apabila si penjual gadai tidak mau atau enggan untuk membayar hutang dari si pembeli gadai setelah tibanya waktu perjanjian yang ditetapkan kedua belah pihak di saat terjadinya aqad, maka barang jaminan tersebut dapat dijual oleh hakim dengan ajuan dari pihak pembeli gadai kepada hakim bersangkutan.
Kemudian hasil penjualan tersebut harganya melebihi dari hutang, maka harga yang lebih tersebut harus dikembalikan kepada sipenjual gadai (rahin). Apabila hasil penjualan tersebut tidak cukup untuk menutupi hutang yang diberikan oleh pembeli gadai kepada sipenjual gadai, maka atas segala kekurangan tersebut harus ditutupi oleh si penjual gadai.
Hak dan kewajiban para pihak
Bagi pihak yang mengadakan aqad gadai mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing, diantaranya :
a.       Hak dan kewajiban penjual gadai (rahin)
Apabila telah terjadinya aqad gadai, maka selanjutnya penjual gadai (rahin) telah mempunyai hak untuk menerima uang gadaian dari pihak pembeli gadai (murtahin). Kemudian bagi penjual gadai juga mempunyai kemungkinan untuk menikmati hasil objek gadai tersebut jika ada hasilnya, hal ini sesuai dengan hadits berikut ini :
لايغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه ، له غنمه وعليه غرمه (رواه الشافعى)
Artinya : Janganlah ia (pemegang gadaian) menutup hak dari pemiliknya (rahin). Ia berhak menikmati hasilnya dan berkewajiban untuk memikul bebannya (beban pemeliharaan).[10]
Di samping mempunyai hak-haknya bagi penjual gadai, ia juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, antara lain ialah adalah menyerahkan barang gadaian tersebut kepada si pembeli gadai dan ini merupakan kewajibannya yang paling utama. Kemudian si penjual gadai ini juga berkewajiban untuk membayar segala sesuatu yang bersangkutan dengan biaya pemeliharaan barang tersebut. Selanjutnya bila telah sampai waktunya untuk membayar hutang, maka si penjual gadai harus melunasi hutangnya, artinya ia menebus kembali apa yang telah ia gadai sebelumnya kepada si pembeli gadai.
b.      Hak dan kewajiban pembeli gadai
Bagi pihak pembeli gadai, ia berhak menerima obyek yang digadaikan sebagai jaminan (borq) dari uang yang telah ia berikan kepada pihak penjual gadai (rahin). Kemudian pembeli gadai berhak pula untuk menahan barang gadaian tersebut selama si penjual gadai belum melunasi hutangnya. Selanjutnya pembeli gadai berhak untuk mengajukan tuntutannya kepada hakim yang bersangkutan apabila penjual gadai enggan atau tidak mau membayar hutangnya, yakni melakukan penebusan terhadap barang gadaian. Dan dalam hal ini T.M Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan yaitu :
Tidak boleh bagi yang menerima gadai untuk menjual barang gadaian yang diterimanya, kecuali bila telah sampai masa untuk membayar hutang namun penjual gadai tidak sanggup untuk menebusnya dan mengharuskan kepada si pembeli gadai untuk menjualnya, atau wakilnya dengan seizin dari si murtahin (yang menerima barang gadai). Dan bila yang menggadai tidak mau menjualnya, maka orang yang menerima gadai (murtahin) boleh mengajukan tuntutan kepada hakim”.[11]

Jadi apabila telah tiba waktunya untuk membayar hutang, maka penjual gadai wajib melunasi hutangnya, artinya dengan menebus kembali obyek gadaiannya tersebut kepada si pembeli gadai, begitu juga sebaliknya si pembeli gadai wajib mengembalikan obyek gadaian tersebut kepada pemiliknya yaitu si penjual gadai dengan segera. Apabila si penjual gadai tidak mau melunasi hutangnya yaitu dengan menebus kembali obyek gadai tersebut dan selanjutnya ia juga tidak mengizinkan kepada si pembeli gadai untuk menjualnya sebagai ganti hutang, maka si penjual gadai dalam keadaan seperti ini, ia dapat mengajukan tuntutan atau perkara kepada hakim untuk menjualnya. Dan bila barang gadaian tersebut terjual dan hasil penjualannya melebihi untuk menutupi hutang si penjual gadai kepada si pembeli gadai, maka yang lebih tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya yaitu si penjual gadai. Dan apabila dari hasil penjualan obyek gadai yang dijadikan sebagai jaminan tidak cukup untuk menutupi hutang penjual gadai kepada si pembeli gadai, maka atas segala kekuarangan tersebut harus ditutupi kembali leh penjual gadai.
Pengambilan dan pemanfaatan harta
Adapun hukum pemanfaatan dan pengambilan manfaat dari obyek gadaian, maka yang terlebih dahulu perlu diketahui adalah bahwa aqad gadai-menggadai itu bukanlah aqad penyerahan milik suatu benda dan juga manfaatnya, sebab hak milik pada suatu benda suatu benda gadai tidaklah sempurna yang memungkinkan untuk dapat melakukan berbagai perbuatan hukum, misalnya mewaqafkan, menjual-belikan dan sebagainya pada suatu waktu di atas barang tersebut. Dan bagi penerima gadai, ia hanya memegang benda yang mempunyai nilai dan berada di bawah kekuasaannya, tetapi tidak pada pemanfaatan dan pengambilan manfaat dari barang tersebut. Manurut Sayid Sabiq, ia menjelaskan hal ini yang bahwa :
... لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة ولو أذن له الراهن ، لأنه قرض جر نفعا فهو ربا.
Artinya : …. Tidak halal bagi si penerima gadai untuk mengambil manfaat dari benda yang digadaikannya, meskipun oleh si pemegang gadai menyetujuinya, karena tiap-tiap hutang yang diambil manfaatnya adalah riba.[12]
            Kemudian dalam hal ini Mahmoud Syaltuot juga mengatakan bahwa :

 Terhadap yang diperbolehkan jaminan ini para ahli fiqh sependapat sebagaimana mereka juga berpendapat bahwa ikatan jaminan (gadai) tidak untuk diambil hasil keuntungannya, tetapi sebagai landasan kepercayaan dan jaminan hutang, dalam hal ini barang tersebut menjadi borg. Berdasarkan kesepakatan ahli-ahli fiqh tersebut maka seharusnya mereka bersepakatan pula yang bahwa orang yang berpiutang pula tidak berhak mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut”.[13]

            Akan tetapi apabila barang yang digadaikan tersebut berupa binatang baik untuk dikendarai ataupun untuk diperah susunya, maka boleh untuk diambil hasilnya sekedar belanjaan atasnya atau imbalan umpan yang telah diberikan kepada binatang tersebut hal ini sesuai dengan Hadits berikut ini :
عن أبى هريرة رضي الله عنه فال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الرهن يركب بنفقته إذا كان مرهونا و لبن الدر يشرب بنفقته إذا كان مرهونا وعلى الذي يركب و يشرب النفقة (رواه البخارى )
Artiya : Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw, hewan yang digadaikan  itu  boleh dikendarai  sebagai imbalan umpan yang telah diberikan kepadanya begitu juga mengambil susunya berdasarkan  umpan yang telah diberikannya. Kewajiban  bagi yang mengendarai dam mengambil susu untuk memberi makan.[14]

            Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dikemukan di atas, maka jika barang tersebut selain dari binatang tidak boleh dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, baik pihak yang menggadaikan maupun pihak yang menerima gadai kecuali atas keizinan masing-masing pihak yang bersangkutan. namun ketentuan yang demikian itu itu bisa saja bertentangan dengan prinsip hukum islam itu sendiri dalam hak milik, yaitu hak milik tersebut tidaklah mutlak, akan tetapi berfungsi sosial, sebab harta benda iu pada hakikatnya milik Allah Ta’ala.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dikemukan di atas, maka jika barang tersebut bukan dari jenis binatang tidak boleh dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, baik pihak yang menggadaikan maupun pihak yang menerimanya, kecuali atas adanya izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan dalam permasalahan gadai ini. Namun ketentuan yang demikian bisa bertentangan dengan prinsip yang ada dalam hukum islam mengenai hak milik, yaitu hak milik tersebut hanya hak pakai saja dan tidak mutlak dimiliki oleh seseorang, tetapi di dalamnya juga mengandung fungsi sosial kepada orang lain dan yang mutlak harta tersebut adalah milik Allah Swt.
Oleh karena itu hendaknya, dalam perjanjian gadai-menggadai harus dicantumkan ketentuan, yaitu bila ada kesepakatan bersama maka barang tersebut boleh dimanfaatkan oleh pihak yang menginginkannya dan menikmati hasil secara bersama-sama (produk sharing). Hal ini untuk menghindari harta benda dari fungsi mubazir dan sia-sia.
Dalam hal ini perlu juga untuk diketahui, bahwasanya kebanyakan dari para ulama selain ulama Mazhab Hanafi, tidak membolehkan memanfaatkan dan memungut hasilnya, sebab dianggap suatu praktek riba yang dilarang dalam hukum islam. hal ini sesuai seperti yang ditegaskan dalam sebuah Rasulullah Saw yang berbunyi :
وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل قرض جر منفعة فهو ربا (رواه الحارث) 
Artinya :  Dari Ali r.a, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw “Setiap hutang yang menarik manfaat (keuntungan) maka termasuk riba (HR. Haris).[15]
Akibat hukum setelah terjadinya gadai
Mengenai akibat hukum setelah terjadinya gadai tidak terdapat suatu penjelasan yang detail dalam berbagai kitab-kitab ulama maupun buku-buku karangan para pakar. Akan tetapi setiap permasalahan yang berkaitan dengan hukum yang dilakukan tentu saja mempunyai dampak hukum setelah melakukannya. Permasalahan gadai-menggadai juga seperti itu, di mana setelah gadai terjadi akan menimbulkan beberapa akses terhadap hukum dalam pelaksanaannya. Di antara konsekwensi hukum gadai setelah ia dilakukan adalah :
a.       Barang yang telah digadaikan akan menjadi jaminan hutang (borg)
Dalam hal ini, sebelum penjual gadai (rahin) membayar semua hutangnya setelah sampai tempo yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada saat melakukan transaksi gadai yang dilakukan oleh keduanya, yaitu dengan sebelum melakukan penebusan hutang oleh penjual gadai (rahin) kepada pembeli gadai (murtahin) tentu saja barang yang dijadikan borq tersebut masih tetap menjadi tanggungan hutang.
Hal ini dimaksudkan apabila dalam waktu yang telah ditentukan si rahin tidak sanggup melunasi hutangnya ataupun tidak mau membayar lagi (wanpestasi), maka si murtahin boleh menyerahkan barang tersebut kepada si rahin untuk menjual lepas barang tersebut kepada orang lain dan uang hasil penjualan tersebut ia serahkan kepada si murtahin sebagai bayaran hutang.
Ataupun bila si rahin enggan melakukan sebagaimana di atas, maka bagi si murtahin boleh meminta izin kepada si rahin (penjual gadai) agar mengizinkan kepadanya untuk menjual barang tersebut dan mengambil sebahagian dari hasil penjualan tersebut diambilnya untuk hutang dan selebihnya ia kembalikan kepada si rahin. Dan bila si rahin menolak alternatif ini, maka bagi si murtahin dapat mengajukan perkara ini kepada hakim untuk mendesak si rahin menjual barangnya.
Kemudian bila barang gadai tersebut telah terjual dan terdapat kelebihan harga dari menutupi hutang si rahin, maka harga tersebut wajib dikembalikan kepada si rahin. Dan apabila dari hasil penjualan tersebut tidak mencukupi untuk menutupi hutang, maka si rahin wajib menambahkan hartanya yang lain untuk menyempurnakan jumlah hutangnya.  
b.      Barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan oleh kedua belah pihak
Sebagaimana yang telah diuraikan pada masalah pemanfaatan dan pengambilan manfaat pada barang gadaian, bahwa pemanfaatan dan pengambilan manfaat dari barang gadaian itu tidak dibolehkan kepada kedua pihak yang melakukan gadai, karena barang tersebut telah menjadi jaminan bagi hutang yan diberikan oleh si rahin kepada si murtahin.
Dan pula keadaan barang tersebut tidak sempurna lagi dimiliki oleh si rahin, karena itu ia tidak dapat menggunakan barang tersebut sebagai obyek transaksi dalam bentuk apapun, misalnya menjual, mewaqafkan, menghibah dan lain sebagainya. Sedangkan pada murtahin benda ini adalah suatu benda yang mempunyai nilai yang ia pegang sebagai jaminan hutang ang diberikannya kepada si rahin, dan ia sama sekali tidak dapat memanfaatkannya bila tanpa izin pemiliknya yaitu si rahin.

B.     Gadai Dalam Hukum Positif
1.      Pengertian gadai
Pengertian gadai ialah suatu perjanjian menyerahkan suatu benda antara rahin (orang yang berhutang) dengan murtahin (orang yang memberikan hutang) untuk diberikan hutang sejumlah uang dan benda tersebut menjadi sebagai jaminan. Dengan kesepakatan bahwa si pemberi hutang akan mengembalikan benda tersebut bila hutang yang ia berikan telah dibayar dengan sempurna kepadanya.[16]
Sedangkan menurut Wiryono Projodikoro gadai adalah “Gadai tanah atau sandel merupakan suatu perjanjian penyerahan tanah atau perhiasan atau alat-alat rumah tangga oleh pemiliknya kepada orang lain disertai pemberian sejumlah uang kepadanya, dan pemberi hutang memakai harta tersebut dalam jangka waktu barang tersebut ditebus kembali oleh pemiliknya dengan membayar sepenuhnya hutang yang telah ia berikan kepadanya”. Dari definisi ini dapat kita simpulkan yang bahwa gadai-menggadai bukanlah perjanjian hutang-piutang, yang namun merupakan suatu perjanjian yang berhubungan langsung dengan tanah.
Menggadai berarti peralihan hak pada sepetak tanah atau benda lainnya kepada orang lain, dan harta tersebut dapat ia peroleh lagi bila pinjaman telah dilunasi kembali. Dengan kata lain gadai adalah penyerahan benda kepada orang lain dengan mengambil pinjaman uang, selanjutnya hartanya dapat diperoleh kembali bila hutangnya telah dilunasi.
Karena gadai merupakan suatu transaksi yang terjadi secara kontan, maka yang terpenting di dalam transaksi tersebut adalah penyerahan tanah oleh yang berhutang (rahin) kepada yang memberi hutang (murtahin). Walaupun pada prinsipnya si rahin harus menyerahkan tanahnya kepada si murtahin, namun ia masih dimungkinkan untuk mengadakan suatu perjanjian lain dengan pihak murtahin, misalanya perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa-menyewa, sehingga tanah yang diberikan kepada si murtahin masih dapat dikuasai olehnya.
Transaksi gadai juga termasuk dalam pembahagian transaksi jual-beli, sehingga si murtahin tidak mempunyai hak untuk meminta kembali uangnya dari si rahin. Kecuali apabila terlebih keduanya menyepakati bahwa bila si murtahin (pemberi hutang) membutuhkan uang dan meminta uangnya kepada si rahin (yang berhutang) maka ia berhak untuk meminta kembali uangnya dan si rahin harus memberikannya.[17]
Hal ini dimaksudkan untuk membantu si rahin (yang berhutang) dengan memberikan sejumlah uang kepadanya agar kesulitan yang ia hadapi terselesaikan dan dengan cara pengembalian di atas ia tidak mengalami kesulitan untuk membayar hutangnya yang harus ia bayar secara mendadak saat jatuh tempo. Karena bila perjanjian tadi tidak dilakukan maka si rahin akan terbebani lagi dengan harus membayar hutang, padahal ia dalam keadaan tidak mempunyai uang.
Demikian juga si penjual gadai tidak bisa dipaksa untuk menebus kembali tanahnya yang telah digadaikan itu meskipun tanah yang digadaikan itu musnah. “Apabila sebidang tanah yang digadaikan musnah karena malapetaka alam, umpamanya banjir maka sipemegang gadai tidak dapat menagih kembali yang ia gadai dari sipemegang gadai”.[18]
Hal ini merupakan suatu yang wajar, dan sipembeli gadai tentunya tidak dapat diminta kembali uangnya meskipun tanah gadai sebagai jaminan uang telah musnah kaena peristiwa alam, karena peristiwa alam tidak saja merugikan pihak pembeli gadai, akan tetapi si penjual gadaipun menanggung kerugian yang tak sedikit karena tanahnya telah hilang.
Uang gadai dapat ditagih kembali oleh pembeli gadai pada sipenjual gadai apabila terlebih dahulu telah diperjanjikan. “Dalam hal ini uang dapat diminta kembali oleh sipemegang gadai oleh karena itu telah diperjanjikan bukan oleh karena menurut aturan hukum adat”.[19]
Hak meminta kembali uang gadai dalam hukum adat sebenarnya tidak dibolehkan, apabila terlebih dahulu telah diperjanjian tertentu tentang hal tersebut antara kedua belah pihak.
Penebusan dari tanah yang telah digadaikan itu sangat tergantung daripada kehendak si pembeli gadai kapan saja ia dapat menebus kembali tanah gadai tersebut. Akan tetapi sipenjual gadai tentunya telah boleh melakukan penebusan pada sembarang waktu. Gadai itu dapat ditebus apabila pihak pembeli gadai telah mengusahakantanah gadai paling sedikit satu kali panen telah selesai dipungut oleh pihak pembeli gadai.
Apabila penebusan dilakukan sebelum pihak pembeli gadai memungut hasil panen, misalnya penebusan dilakukan pada saat menabur bibit, maka hasil dari panen itu tetap menjadi milik dari pembeli gadi walaupun si penjual gadai telah menebusa tanah gadai tersebut. Tanah gadai itu baru bisa diambil setelah panen selesai.

Mengenai jangka waktu penebusan, hal ini biasanya dibedakan dalam dua jangka waktu :
a.       Jangka waktu wajib tebus
Dalam jangka waktu wajib tebus, biasanya terjadi apabila oleh penjual gadai dan pembeli gadai telah diadakan suatu perjanjian, misalnya setelah berlangsung tiga tahun tanah gadai tersebut harus ditebus oleh pihak penjual gadai.
Bisanya perjanjian tersebut sering ditambah syarat, misalnya tanah tersebut tidak ditebus setela habis waktu yang dijanjikan, maka hilanglah hak dari penjual gadai. Dalam hal ini ter haar menjelaskan ‘Perjanjian itu hanya setelah lewat waktunya pembeli gadai wajib menurut supaya perjanjian itu apat diakhiri”.[20]
Ini berarti apabila penjual gadai tidak dapat dan tidak mau menebus , maak pembeli gadai dapat menuntut supaya tanah diserahkan kepadanya dengan hak milik dengan jalan melakukan tindakan hukum baru. Mungkin dengan tambahan uang jika harga lebih murah dari pada penjualan tanah itu seharusnya, bilamana dalam hal tersebut kedua belah pihak tidak memperoleh persetujuan satu sama lain, maka pembeli gadai dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan Negeri supaya ditetapkan dengan keputusan hakim, bahwa saat diberikan putusan tanah gadai sudah berpindah kepadanya dengan hak milik dan dengan penambahan uang sesua dengan harga penjualan tanah itu. Jika sehabis
waktu menebus pembeli gadai tidak menggunakan haknya itu untuk mengakhiri perjanjian gadai, maka hubungan gadai tetap berlangsung terus.

b.      Jangka waktu larang tebus
Apabila antara penjual gadai dan pembeli gadai diperjanjikan, bawhwa dalam jangka waktu tertentu misalnya delapan tahun, penjual gadai tidak boleh menebus tanahnya, artinya selama waktu tersebut penjual gadai dilarang menebus tanahnya. Tanah yang telah digadaikan tersebut baru dapat ditebus setelah lewat waktu yang diperjanjikan kedua belah pihak.
Bila tidak ada suatu perjanjian tertentu mengenai penebusan terhadap tanah yang digadaikan, maka jangka waktu penebusan berlaku aturan hukum ada yaitu tidak boleh menebus sebelum pihak pembeli gadai menikmati paling sedikit satu kali panen dari tanh itu.
Transaksi gadai tanah dalam bahasa Indonesia disebut gadai atau akad, sedangkan istilah yang dipergunakan di Daerah Istimewa Aceh secara umum dikenal dengan istilah “gala disamping publo gala atau publo akad”.[21]
Disamping istilah gala di Daerah Istimewa Aceh ada juga istilah jual akad. istilah gala dan Jual Akad kedua-duanya adalah sama, hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 1978 Nomor 395 K/Sip/1975 menyatakan :
Menurut hukum adat yang umum berlaku dalam masyarakat Aceh, bahwa oleh karena baik dalam gadai, maupun dalam jual akad pemilik tanah bermaksud menyerahkan tanahnya untuk menerima sejumlah pembayaran secara tunai, sehingga pihak yang menyerahan tetap ada hak untuk mendapatkan kembali tanah itu dengan membayar kembali dalam jumlah yang sama, oleh karena itu Pengadilan Negari berendapat bahwa jual akad sama dengan gadai.[22]

Tanah gadai yang telah ditebus harus dikembalikan kepada penjual gadai dalam keadaan yang baik sebagaimana pada sat tanah itu diterima dulu. Perbaikan-perbaikan yang telah dikerjakan oleh pembeli gadai tidak mendapat ganti rugi. ‘kerusakan tanah yang memang disengaja harus diganti kerugiannyauntuk penjual gadai”.[23]
Hak menebus tidak hilang dengan lampau waktu, ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 yang menyatakan bahwa “menurut hukum adat di seluruh Indonesia hak menebus dalam gadai tanah tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu”.[24]
Pengembalian tanah gadai harus dilakukan sekaligus pembayaran dari sebagian demi sebagian tidak beralih hak gadai pada sipenebus selama ia belum habis melunasi semua uang tebusan dari tanah tersebut. Tanah gadai itu baru beralih kepada sipenebus apabila ia telah melunasi semua uang tebusan.
Dalam gadai menggadai tanah yang berakhir terlalu lama karena tidak ditebus tentu membawa pengaruh terhadap perubahan nilai uang. karena itu dalam praktek harga gadai sering dinilai dengan emas, karena pertimbangan harga gadai dapat mengikuti perubahan nilai uang, sebab masyarakat mengetahui bahwa  bila nilai mata uang sebagai harga gadai akan berakibat bertambah lama nilai uang tersebut makin berkurang. Oleh karena itu pada umumnya masyarakat dalam perjanjian gadai tidak lagi memberi  uang sebagai harga gadai, tetapi berupa emas.
Barang-barang itu terlebih dahulu ditentukan harganya agar tidak menjadi persoalan dikemudian hari. Karena penebusan nanti tidak berdasarkan uang tetapi ia berdasarkan jumlah emas sebagaimana yang diberikan oleh pembeli gadai pada sat terjadinya gadai.
Karena sering terjadinya perubahan besar antara nilai uang pada waktu gadai dilaksanakan dengan jilai uang pada saat dilakukan penebusan, maka tentu timbul persoalan diantara pihak. Dalam hal ini penyelesaian dapat dipedomani pada putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Maret 1955 yang berbunyi sebagai berikut :
Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila bila dalam hal gadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separuh dari resiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan menebus tanah itu.[25]

Dari putusan Mahkamah Agung tersebut nampaknya adanya sesuatu kedailan yang dinampaklah adanya suatu keadilan yang ditetapkan dalam menggulangi masalah terjadinya perubahan nilai uang sebagaimana tersebt diatas.
Gadai menggadai tanah biasanya dilaukan dimuka Kepala Desa. Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan syarat sahnya gadai menggadai, melainkan dimaksud untuk memperkuat kedudukan gadai dan dengan demikian dapat mengurangi resiko bagi si pemegang gadai jika dikemudian hari ada sanggahan dari pihak-pihak lainnya ataupun pihak penjual gadai itu sendiri.
Keikutsertaan Kepala Desa sebagai saksi dalam perjanjian gadai bukanlah sebagai penanggung resiko bila terjadi persoalan, akan tetapi hanya sebagai saksi orang terkemuka dalam Desa tersebut. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Januari 1958 yang berbunyi “Gadai tanah  di Jawa Timur dilakukan oleh lurah dianggap memenuhi syarat bahwa gadai tanah itu diadakan dimuka lurah Desa.[26]
2.      Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam hal kewajiban diantaranya kewajiban diantaranya kedua belah pihak dalam pelaksanaan gadai, dapat dipisahkan antara keduanya :
a.       Hak dan Kewajiban Penjual Gadai
Menebus kembali tanah yang digadaikan merupakan suatu hak yang dimiliki oleh penjual gadai. Penebusan tersebut harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Tanah yang telah digadaikan baru dapat ditebus paling sedikit satu kali panen.
2.      Bila penebusan dilakukan diwaktu hampir atau baru mulai panen atau baru mulai tanam bibit maka hasil dari panen tersebut baru dapat diambil setelah hasil panen selesai dipungut oleh pembeli gadai.[27]
Penjual gadai juga mempunyai hak untuk meminta penambahan uang gadai asalkan penambahan tersebut tidak melebihi dari harga tanah yang digadaikan dan tentunya apabila pembeli gadai menyetujuinya. Disamping hak-hak yang dipunnyai oleh penjual gadai ia juga mempunyai kewajban-kewajiban yang harus ditaati sebagai suatu keharusan.
Menyerahkan tanah kepada pembeli gadai merupakan kewajiban yang paling utama dari sipenjual gadai. Sipenjual gadai tidak boleh menguasai tanah itu, kecuali kedua belah pihak telah diperjanjikan suatu perjanjian tambahan, diaman penjual gadai menjadi penggarap dari tanah gadai itu dengan perjanjian bagi hasil atau sebagai orang yang menyewa tanah tersebut maka kekuasaan penjual gadai atas tanah itu hanyalah berdasarkan bagi hasil atau sewa tanah dalam kwalatis tnah dalam kwalitas sama seperti orang lain yang menjadi penggarap dengan bagi hasil atau sewa tanah, sedangkan kekuasaan penuh terhadap tanah itu berada ditangan pembeli gadai. Selanjutnya penjualan gadi harus mentaati dan memenuhi perjanjian yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak disaat terjadinya pelaksanaan gadai menggadai.[28]
b.      Hak dan Kewajiban Penjual Gadai
Setelah perjanjian gadai dilaksanakan maka seketika itu juga tanah gadai tersebut beralih kepada pembeli gadai dan ia mempunyai hak atas tanah itu. Hak-hak tersebut antara lain :
1.      Pembeli gadai mempunyai hak untuk menikmati hasil dari tanah gadai itu, baik untuk memungut hasilnya atau mengolahnya. Pendeknya pembeli gadai dapat berkuasa atas tanah gadai selama belum dilakukan penebusan oleh si penjual gadai, dengan pngecualian pembeli gadai tidak boleh menjual lepas dan juga tidak boleh mentelantarkan tanah gadai tersebut.
2.      Pembeli gadai dapat memindah gadai. Dalam hal ini ada dua jalan. Pertama dengan jalan sepengetahuan dan seizin penjual gadai memindahkan hak gadai itu kepada pihak ketiga, nyakni perikatan jual gadai antara penjual gadai dengan pihak ketiga dan pembeli gadai pertama tidak terikat lagi dengan pihak ketiga dan pembeli gadai pertama tidak terikat lagi dengan sipenjual gadai semula. Kedua tanpa sepengetahuan dari si penjual gadai memindahkan gadai itu kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadilah dua perikatan jual gadai, pertama perikatan antara penjual gadai dengan pembeli gadai dan perikatan antara jual gadai kedua dengan pihak pembeli gadai yang ketiga.
 Apabila penjual gadai semula menebus tanah gadai tersebut dari pembeli gadai maka pembeli gadai tersebut harus segera menebus tanah gadai tersebut dari pihak ketiga, dengan demikian tanah gadai itu akan kembali dengan aman kepada penjua gadai semula.
3.      Disamping dapat memindahkan gadai pembeli gadai juga dapat mengadakan perjanjian bagi hasil atau sewa tanah tersebut selain dilakukan dengan pihak ketiga juga dapat dilakukan dengan penjual gadai itu sendiri.
4.      Pembeli gadai dapat mewariskan tanah gadai kepada ahli warisnya. Demikian juga kepada ahli waris penjual gadai apabila ia meninggal dunia.[29]
Disamping hak-hak yang dupnyai oleh pembeli gadai ia juga tidak terlepas dari kewajiban-kewajiban yang harus ditaatinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain :
1.      Mengurus dan menjaga tanah gadai tersebut sehingga tetap terjaga kesuburannya.
2.      Mengembalikan tanah gadai tersebut kepada penjual gadai pada suatu ketika yaitu pada saat tibanya waktu tebusan dilakukan oleh pihak penjual gadai.[30]

3.      Ketentuan Gadai Menurut Adat
Di dalam hukum adat mengenai hukum gadai tanah, tidak ada suatu ketentuan mengenai batas waktu penebusan atau berakhirnya suatu perikatan gadai. Jangka waktu penebusan itu sangat tergantung pada kehendak si penjual gadai. Kapanpun ia dapat menebus tanah itu asalkan saja pembeli gadai (murtahin) telah menikmati hasil dari tanah gadai tersebut sekurang-kurangnya adalah satu kali panen.
Apabila penjual gadai atau pembeli gadai meninggal dunia, maka hak gadai tersebut beralih kepada ahli warisnya, maka dengan ini terjadilah gadai secara turun temurun. Hal ini dikarenakan adakalanya pihak yang menjual gadai adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan tidak mampu. Hal tersebut dianggap oleh pemerintah sebagai hal yang dapat menghambat usaha pencapaian tujuan Nasional, maka untuk mengatasi hal tersebut dikeluarkanlah berbagai ketentuan.

4.                  Ketentuan Gadai Menurut UUPA
Menurut pasal 53 jo pasal 16 ayat 1 huruf h UUPA ialah “hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan untuk dihapus dalam waktu yang singkat.[31] 
Kendatipun demikian usaaha pemerintah untuk menghapuskan gadai itu dalam waktu yang singkat tidaklah dapat dilaksanakan dengan segera, oleh karena masih banyak rakyat  pedesaan yang belum terjangka oleh kredit perbankan yang memadai, sehingga hak hidup dari lembaga gadai tanah belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.
Oleh karena penghapusan dari lembaga gadai belum dapat dilakukan, maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960, kemudian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 Lembaran Negara 1961 Nomo 3 telah disahkan menjadi Undang-undang, tentang penetapan luas tanah pertanian, yang didalamnya juga terdapat pengaturan masalah gadai tanah. Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 menyatakan :
Barang siapa yang menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang waktu berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah waktu tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut uang tebusan.[32]

Isi dari pasal tersebut khususnya bagi tanah pertanian yang mengatur objek penguasaan tanah pertanian dengan jangka waktu 7 tahun atau lebih dengan sanksi bila tanah sampai waktu wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Ketentuan ini menurut R. Subekti adalah :
Untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah, yaitu si ptani yang memerlukan uang terpaksa menggadaikan sawahnya. Dianggapnya setelah menguasai tanah 7 tahun itu, si penerima gadai telah cukup menghisap hasil sawah itu hingga telah memperoleh kembali uang gadai yang dikeluarkannya.[33]

Kemudian Keputusan Menteri Pertanian dan Meteri Agraria tanggal 2 Maret 1963 Nomor SK.10/KA/1963 tentang penegasan berlakunya pasal 7 Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960.
Hak gadai termasuk golongan hak atas tanah yang harus didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Apa yang diatur oleh Perundang-undangan tersebut merupakan perubahan dari gadai menggadai menurut hukum adat kepada penggadaian tanah menurut Undang-undang yang berlaku sekarang.
Mengenai wajib daftar dari hak gadai tersebut dapat dilihat melalui peraturan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang menyatakan :
Setiap perjanjian yang bermaskud memindahkan hak atas tanah memberi suatu hak baru atas tanah atau menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas  tanah sebagai jaminan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjukan oleh Menteri Agraria, selanjutnya disebut pejabat.[34]

Dari isi ketentuan pasal 19 Peraturan Pemerintah tersebut, maka jelaslah bahwa gadai tanah pada saat sekarang ini haruslah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang pembuat akta tanah (PPAT).
Adapun yang termasuk sebagai pejabat pembuat akta tanah sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 adalah sebagai berikut :
a.       Notaris
b.      Pegawai-pegawai dan bekas pegawai mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan pendaftaran tanah dan peraturan lainnyayang bersangkutan dengan peraturan peralihan hak atas tanah.
c.       Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat.
d.      Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria. [35]
Disamping itu Camat sebagai Kepala Wilayah karena jabatannya dapat pula membuat akta tanah, hal ini sesuai dengan isi dari pada Peraturan Menteri Agraria pasal 5 yang berbunyi :
Selama dalam suatu Kecamatan belum diangkat seorangpejabat maka asisten wedana/kepala kecamatan atau yang setingkat dengan itu (selanjutnya dalam peraturan ini disebut asisten wedana/kepala kecamatan) karena jabatannya menjadi pejabat sementara dari kecamatan itu.[36]

Dari isi kedua pasal disebut diatas, maka jelas bahwa seorang yang tidak termasuk atau tidak disebut dalam peraturan tersebut diatas  tidaklah dapat membuat akta tanah. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana yang tertera dalam pasal 43 berbunyi “barang siapa yang membuat akta dimaksud pasal 19 tanpa ditunjuk oleh Menteri Agraria sebagai pejabat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan / atau dengan sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-.[37]
Dalam praktek dilembaga peradilan tanah ditetapkan isi pasal 7 Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 tersebut antara lain, Putusan Mahkamah Agung Tanggal 6 Maret 1971 No. 810/e/Sip/1970 memutuskan, bahwa ketentuan pasal 7 Perpu No. 56 Tahun 1960 bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan hanya telah diperjanjikan antara kedua belah pihak yang bersengketa.[38]
Dari isi putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan pasal 7 dapat menghapuskan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh penjual gadai atau pembeli gadai.
Dalam Pasal 7 Perpu No. 56 Prp Tahun 1960 di dalam ayat 2 dinyatakan :
Mengenai hak adai yang pada mulai berlaku peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untk mmintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus.

( 7 + ½ ) – waktu berlangsung hak gadai : x hak gadai
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman selesai dipanen.[39]

Kemudian dalam hal peraturan tersebut disebutkan lagi dalam pasal 7 ayat 3 bahwa, “ketentuan dalam ayat (2) pasl ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah berlakunya peraturan ini.
Pemegang gadai yang tidak melakukan kewjiban mengembalikan tanah yang dikuasainya dengan hak gadai menurut ketentuan pasal 7 Undang-undang Nomor 56 Perpu tahun 1960 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau dengan sebanyk-banyaknya Rp. 10.000,-.[40]
Selanjutnya menurut pasal 3 ayat 1 sampai 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 20 Tahun 1963 adalah sebagai berikut :
Ayat 1 : Juika sebelum sudah berakhir, uang gadai ditambah baik dalam bentuk uang ataupun lainnya dan penambahan itu dilakukan secara tertulis dengan melalui cara yang lazim seperti pada waktu gadai diadakan maka semenjak dilakukannya penambahan itu, timbullah gadai baru dengan jumlah uang yang baru.
Ayat 2 : Di dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini seperti yang dimaksud pasal 7 Undang-undang No. 56/Perpu/1960 mulai berlaku sejak uang itu ditambah.
Ayat 3 : Penambahan yang tidak dilakukan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini tidak menimbulkan gadai baru.

Menurut peraturan tersebut, dalam hal yang demikian timbullah hubungan gadai baru dengan sejumlah uang gadai baru pula  dan penambahan uang gadai yang tidak dilakukan sebagaimana tersebut diatas tidak dapat menimbulkan suatu gadai baru.
Selanjunya menurut pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor  20 Tahun 193, menjelaskan :
Jika dengan seizin pemilik pemindah gadai memindahkan hak gadainya kepada orang lain, maka angka waktu 7 tahun dihitung sejak terjadinya pemindahan tersebut, selanjunya berlangsung hubungan gadai baru antara pemilik tanah dan pemilik yang menerima penyerahan gadai itu.[41]

Dari isi ketentuan tersebut nampaklah jika pemegang gadai tidak melakukan pemindahan gadai akan tetapi mengadakan gadai saja, maka hubungan gadai antara dia dengan pemilik tanah tidaklah berhubungan sungguhpun disamping gadai kedua antara pemegang gadai dengan pihak ketiga, yang selanjutnya akan menguasai tanahnya, namun bagi pihak pemilik tanah pemegang gadai yang pertamalah yang bertanggung jawab untuk mengembalikan tanah kepadanya setelah 7 tahun berakhir. Waktu 7 tahun tetap saja sejak gadai pertama dilakukan.
Pemegang gadai yang pertama akan memenuhi kewajibannya sewaktu-waktu ia dapat menebus tanahnya kembali dari pihak yang menguasainya selaku pemegang gadai yang kedua.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, maka dapat dilihat ciri-ciri hak gadai setelah regulasi, adalah sebagai berikut :
a.       Hak gadai jangka waktu terbatas. Artinya pada suatu waktu akan hapus, kalau dilakukan penebusan oleh penjual gadai.
b.      Hak gadai tidak akan berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka hak tersebut akan beralih pada ahli warisnya, demikian ahli waris dari pihak penjual gadai.
c.       Hak gadai dapat dialihkan kepada pihak ketiga. Dalam arti hubungan gadai yang pertama putus dan diganti dengan gadai yang baru pula antara pemilik dan pihak ketiga tersebut.
d.      Hak gadai tidak menjadi hapus atas tanah yang dialihkan kepada pihak lain.
e.       Sebagai lembaga dari hak gadai pada waktunya akan dihapus.
f.       Hak gadai dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya. Pemegang gadai dapat untuk menyewa atau mengambil hasilkan tanah kepada orang lain.
g.      Hak gadai termasuk hak atas tanah yang harus didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

5.      Manfaat Yang Diperoleh Oleh Pelaksana Gadai
Dalam hukum positif tidak diatur mengenai manfaat yang akan diperoleh oleh kedua belah pihak dalam pelaksanaan gadai, akan tetapi yang berlaku secara kenyataan dalam hal ini dala pelaksanaan gadai, bahwa manfaat yang diperoleh kedua belah pihak nampak dengan sendirinya di dalam pelaksanaan tersebut. Yang mana dalam pelaksanaan gadai akan diperoleh manfaat baik oleh penjual gadai sendiri maupun si pembeli gadai.
Adapun manfaat yang akan diperoleh oleh kedua belah pihak di dalam pelaksanaan gadai, antara lain :
a.       Manfaat yang diperoleh oleh sipenjual gadai
Adapaun manfaat yang diperoleh oleh sipenjual gadai ialah ia dapat menutupi kebutuhan yang sedang dibutuhkan pada saat itu. Kemudian hak milik atas tanahnya tidak beralih kepada orang lain selama tanah tersebut masih terikat dalam perjanjian gadai. Disamping itu pula tanah gadai dengan mudah akan kepada yang mengembalikan uang penebusan.
Hak menebus dapat dialihkan kepada ahli warisnya dalam arti apabila penjual meninggal dunia atau tidak mampu lagi menebus tanahnya, maka dengan demikian kemungkinan untuk jatuhnya tanah gadai tersebut untuk menjadi hak milik dari si pembeli gadai dapat diatasi oleh ahli warisnya. Dalam hal ini ahli waris tersebut harus juga memperhatikan perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh pembeli gadai dan penjual gadai.
b.      Manfaat yang diperoleh oleh sipembeli gadai
Tidak hanya pembeli gadai yang memperoleh manfaat dari transaksi gadai menggadai, akan tetapi pembeli gadaipun akan memperoleh manfaat dari perjanjian tersebut.
Manfaat yang utama yang dapat diperoleh oleh pembeli gadai ialah dapat menikmati hasil sepenuhnya dari tanah gadai tersebut. Kemudian tanah gadai juga dapat dipindahkan kepada pihak ketiga selama tanah gadai tersebut dalam ditebus oleh si penjual gadai.
 BAB TIGA
PELAKSANAAN GADAI TANAH DI KECAMATAN SAMALANGA

A.    Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.      Profil Kecamatan Samalanga
            Kecamatan Samalanga adalah salah satu Kecamatan yang terletak dipenghujung bagian barat Kabupaten Bireuen yang mempunyai luas wialyah 116,93 Km2, yang terdiri dari 32 desa dari 8 kemungkiman. Setiap wilayah Kecamatan mempunyai batas-batas wilayah tersendiri. Mengenai batas-batas wilayah Kecamatan Samalanga adalah sebagai berikut :
-          Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
-          Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bener Meriah
-          Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bandar Dua
-          Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Simpang Mamplam.[1]
            Kecamatan Samalanga beriklim tropis, dengan suhu rata-rata mencapai 28-32 oC pada siang hari, dan suhu pada malam hari rata-rata mencapai 22-26 oC, dengan musim hujan kira-kira sekitar bulan September sampai dengan bulan Februari dengan curah hujan tinggi pada bulan Oktober sampai bulan Desember setiap tahunnya.[2]
a.   Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian Masyarakat Samalanga
            Penduduk Kecamatan Samalanga mengalami peningkatan seiring meningkatnya angka kelahiran. Dari data statsistik 2008, jumlah penduduk Kecamatan Samalanga sebanyak 17.794 jiwa yang terdiri dari 7.374 Kepala Keluarga (KK). Untuk mengetahui lebih jelas tentang keadaan penduduk di Kecamatan Samalanga yang tersebar di 46 desa, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.2. Jumlah Penduduk Desa/Kelurahan Di Kecamatan Samalanga
No
Desa
Lk
Pr
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
45
46
Keude Aceh
Sangso
Pante Rheng
Meulik
Namploh Baroh
Namploh Manyang
Namploh Blang Garang
Namploh Krueng
Namploh Papeun
Meunasah Lueng
Lhokseumira
Ule Jeumatan
Lancok
Paloh
Mesjid Baro
Pulo Baroh
Bate Ileik
Matang Wakeuh
Darussalam
Matang Jareung
Matang
Glumpang Payong
Cot Siren
Alue Barat
Ulee Alue
Cot Mane
Pineung Siribee
Gampong Baro
Kandang
Gampong Putoh
Mideun Jok
Mideun Geudong
Leung Keubeu
Glumpang Bungkok
Gampong Meulum
Cot Meurak Baroh
Cot Meurak Blang
Meurah
Ulee Ue
Matang Teungeh
Tanjong Baro
Angkieng Barat
Mns. Lincah
Mns. Puuk
Tanjongan Idem
405
488
497
259
194
82
146
176
230
123
82
119
149
190
208
320
728
171
261
551
354
274
127
112
131
135
302
139
251
279
705
153
260
153
413
165
262
268
120
169
371
144
90
117
139
560
546
489
336
209
114
193
192
250
165
96
282
195
210
217
336
402
179
271
599
370
240
140
122
167
158
342
175
380
283
798
165
301
310
490
221
271
332
118
180
351
161
10
56
121
1160
1034
986
595
403
226
339
368
480
288
178
401
344
400
425
656
910
350
532
1150
724
514
267
234
298
293
644
314
631
562
1503
318
561
595
903
386
533
456
238
349
722
305
190
98
213

Jumlah
11012
12103
23076
Sumber Data: Diolah berdasarkan data laporan tahunan Kecamatan Samalanga tahun 2008.

Penduduk yang menetap di Kecamatan Samalanga pada  umumnya adalah penduduk asli, dimana jumlah penduduk tersebut tersebar pada 8 kemukiman. Penduduk usia muda relatif lebih banyak dibanding jumlah penduduk usia dewasa atau usia tua. Hal ini menunjukkan tinggi angka kelahiran yang menyebabkan banyaknya generasi muda pada masa mendatang.
Rasio perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan tidak mencolok, hampir sama jumlahnya. Penyebaran penduduk tidak merata, dalam arti, ada wilayah yang padat dan ada pula yang jarang penduduknya. Padatnya penduduk pada sebagian wilayah disebabkan sebagai pusat pasar, sehingga mayoritas masyarakat berkeinginan mendiami wilayah tersebut.[3] Dengan demikian, penduduk pada umumnya berdomisili di wilayah yang tidak jauh dari Ibukota Kecamatan, karena fasilitas dan sarana pemukiman lebih lengkap.
            Masyarakat Kecamatan Samalanga pada umumnya bermata pencarian disektor pertanian. Sebagian kecil mereka berusaha dalam sektor wiraswasta, pegawai negeri, pekerja bangunan dan nelayan atau pedagang. Mayoritas penduduk Kecamatan Samalanga bermata pencarian sebagai petani disebabkan Kecamatan ini mempunyai wilayah pertanian yang luas dan didukung oleh kondisi tanah yang subur, curah hujan yang cukup dan irigasi yang memadai.
b.   Keadaan Lembaga Pendidikan
            Sektor pendidikan di Kecamatan Samalanga terus mengalami kemajuan seiring dengan pengadaan sarana dan prasarana penunjang. Pendidikan yang dikembangkan tidak terbatas pada pendidikan formal melalui lembaga pendidikan pemerintah, akan tetapi juga pendidikan non formal melalui pengajian- pengajian agama yang di selenggarakan di dayah-dayah, meunasah dan mesjid.
            Pendidikan non formal berperan mendukung peningkatan pendidikan formal, sehingga jalur pendidikan yang ditempuh masyarakat tidak hanya melalui jalur pendidikan formal di sekolah atau melalui lembaga pendidikan pemerintah, akan tetapi juga melalui pendidikan non formal.
            Peningkatan pendidikan agama dilakukan dengan pengadaan sarana dan prasaranan baik sarana dan prasarana utama maupun sarana dan prasarana pendukung dalam madrasah maupun dayah. Warga masyarakat juga memberi dukungan terhadap peningkatan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Hal ini dapat dilihat dengan tersediannya balai-balai pengajian yang dibangun oleh warga masyarakat baik secara pribadi maupun gotong royong. Kemudahan-kemudahan tersebut adalah suatu bukti nyata dari semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk memperoleh pendidikan, juga disebabkan karena adanya perhatian pemerintah maupun kalangan swasta untuk memenuhi tanggung jawab moral yang paling pokok. Pelaksanaan pendidikan di Kecamatan Samalanga didukung dengan fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai. Dengan tersedianya berbagai jenjang lembaga pendidikan yang ada di Kecamatan Samalanga akan memudahkan bagi anak dalam melanjutkan pendidikan.
c.   Kehidupan keagamaan
            Dilihat dari aspek keagamaan, penduduk Kecamatan Samalanga mendekati seratus persen beragama Islam. Kehidupan beragama di dalam masyarakat terlihat berjalan dengan sangat baik. Hal ini terlihat dari fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti aktifnya kegiatan pengajian dan Peringatan Hari-hari Besar Islam (PHBI) yang dilaksanakan setiap hari besar Islam, misalnya peringatan isra’ mi’raj, maulid Nabi dan sebagainya. Masyarakat pada umumnya mendukung dan turut berpartisipasi dalam aktivitas sosial keagamaan di kecamatan Samalanga.

B.     Tata Cara Pengikatan dan Pemutusan Hubungan Gadai
Sebelum menguraikan mengenai tata cara pemutusan hubungan gadai, terlebih dahulu penulis menguraikan mengenai pengikatan. Berdasarkan kepada hasil observasi penulis di lapangan terdapat indikasi bahwa masyarakat Samalanga melakukan gadai-menggadai. Namun dalam melaksanakan gadai tanah sawah membuat perjanjian yang menyangkut dengan gadai tanah sawah, yang mewujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yaitu :
1.      Perjanjian secara tertulis
Perjanjian gadai secara tertulis dilakukan dengan dibuatnya surat perjanjian gadai, baik yang menyangkut dengan tanah sawah maupun yang berkenan dengan harga gadai tanah sawah tersebut ataupun perjanjian lainnya. Kalau keduanya telah setuju lalu perjanjian tersebut ditulis dalam bentuk surat perjanjian gadai.
Kemudian surat perjanjian tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak. Biasanya surat perjanjian gadai itu juga ditandatangani oleh dua orang saksi dan selanjutnya ditandatangani oleh Kepala desa setempat sebagaimana yang penulis jumpai dari para pelaku gadai di tempat ini.
Jika tanah sawah gadai tersebut terletak di luar desa penjual gadai dan pembeli gadai, maka surat gadai tersebut ditandatangani oleh Kepala desa tempat terletak tanah sawah gadai tersebut. Demikian juga saksi sering dilibatkan salah seorang yang bertempat tinggal di Desa tempat sawah tersebut.[4]
Disamping itu juga sering pada saat surat perjanjian itu dibuat baik oleh penjual gadai maupun pembeli gadai dan para saksi sekaligus hadir dan menandatangani surat perjanjian gadai tanah sawah tersebut.
Saksi dalam perjanjian gadai menggadai biasanya terdiri dari dua orang. Sering yang dijadikan saksi itu dalam perjanjian gadai ialah :
a.       Saudara / Keluarga dari sipenjual gadai.
b.      Orang yang mengetahui identitas tanah sawah gadai tersebut.
c.       Orang yang sudah Dewasa atau berakal.
d.      Pemuka masyarakat setempat.[5]
Apabila surat perjanjian sudah ditandatangani oleh penjual gadai dan pembeli gadai beserta para saksi demikian juga kepala desa setempat sebagai tanda persetujuan, kemudian sipembeli gadai membayar seluruh harga gadai tanah sawah tersebut kepada penjual gadai, maka pada saat itu juga kedua belah pihak mulai terikat dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.[6]
Mengenai bentuk surat perjanjian gadai tidak terdapat suatu keseragaman antara satu desa dengan desa lainnya. Namun isi dari perjanjian tersebut yang terdapat di dalamnya hampir sama.
Hal-hal yang selalu ada dalam surat perjanjian gadai adalah sebagaimana terdapat dalam surat gadai pada lembaran lampiran, yaitu :
a.       Identitas para pihak yaitu pembeli gadai dan penjual gadai.
b.      Jumlah uang gadai yang umumnya diukur dengan harga emas 24 karat.
c.       Jumlah petak tanah dan  batas-batasnya
d.      Tanda tangan kedua belah pihak, saksi dan juga tanda tangan Kepala desa.
Biasanya pembeli gadai sebelum menandatangani surat perjanjian tersebut, lebih dahulu menyelidiki hal sebagai berikut :
a.       Apakah tanah sawah yang dijual itu miliknya atau milik bersama dengan saudara-saudaranya
b.      Apakah tanah tersebut telah digadaikan atau dijual lepas kepada orang lain.
c.       Mengenai keadaan tanah.
d.      Mengenai letak sawah gadai tersebut.
Untuk mengetahui hal-hal tersebut pihak pembeli gadai biasanya menanyakan kepada pemuka-pemuka masyarakat atau kepala desa di tempat tanah itu terletak atau menanyakan kepada orang-orang yang dianggap mengetahui hal tersebut. Setelah mengetahui hal tersebut di atas barulah menandatangani perjanjian gadai tersebut atau dengan kata lain barulah ia mau membeli gadai terhadap tanah sawah tersebut. Demikian juga sebaliknya pihak penjual gadai akan menilai si pembeli gadai apakah ia termasuk orang-orang yang terpercaya.[7]
Peranan kepala desa sebagai saksi dalam perjanjian gadai bukanlah merupakan suatu keharusan, tetapi hanya sebagai kepala desa yang telah mengetahui yang bahwa tanah yang dimiliki oleh penjual gadai telah digadaikan kepada si pembeli gadai.
Tanpa diketahui oleh kepala desa dalam perjanjian gadai, gadai itu dianggap sah juga. Namun demikian ikut sertanya Kepala desa dalam perjanjian gadai dimaksud supaya apabila terjadi sengketa dikemudian hari antara pihak penjual gadai dengan pembeli gadai atau pihak-pihak lainnya yang dapat mempersempit masalah yang timbul.
1.      Perjanjian Secara Lisan
Ada sebagian masyarakat di Kecamatan Samalanga menganggap tindakan gadai menggadai merupakan hal yang sangat pribadi, artinya perbuatan penjual gadai merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang terhadap harta miliknya sendiri. Oleh karena itu perjanjian tersebut cukup dilakukan dengan lisan saja tanpa diketahui oleh kepala desa apabila gadai menggadai itu dilakukan antara famili atau teman yang dekat.[8]
Dalam hal yang demikian mereka tidak perlu khawatir bahwa dengan cara apapun juga mereka tidak akan mendapat kesulitan kalau persetujuan dilakukan dengan lisan atas dasar percaya mempercayai.
Dalam gadai menggadai yang tidak dibuat surat perjanjian secara tertulis maka kedua belah pihak mulai terikat pada perjanjian lisan yang mereka sepakati keduanya adalah setengah gadai membayar uang kepada pihak penjual gadai.[9]
Biasanya masyarakat di Kecamatan Samalanga dalam mengadakan gadai tanah sawah sebelum sampai kepada taraf perjanjian gadai. Mereka terlebih dahulu memberikan maksudnya kepada sanak keluarga yang bahwa ia ingin menjual gadai sepetak atau beberapa petak tanah sawah, setelah diberitahukan tentang maksud si penjual gadai kepada sanak keluarganya, ternyata sanak keluarga itu tidak mau atau tidak sanggup untuk membeli gadai tersebut, barulah menawarkan kepada tetangga sekampung, jika tetangga yang sekampung tidak mau atau tidak mampu untuk membeli gadai tersebut, selanjutnya akan ditawarkan kepada orang yang berbatasan tanah sawah tersebut dengannya.
Kalaupun orang yang berbatasan sawah dengan sawahnya tidak mau atau tidak sanggup barulah ditawarkan kepada siapa yang mau membeli gadai tanah sawah tersebut.[10]
Hal tersebut diatas menunjukkan masih dipertahankan hak-hak atas sesama keluarga, sebagaimana pada jual beli tanah secara lepas. Akhirnya kalau telah mendapat pihak yang membeli tanah gadai tersebut maka kedua belah pihak bermuafakat dan memutuskan tentang sistem gadai baik menyangkut dengan emas dan perjanjian lainnya yang diinginkan oleh kedua belah pihak.
Jika kedua belah pihak telah sepakat dalam hal gadai menggadai, selanjutnya barulah mereka buat perjanjian gadai sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Kemudian mengenai pemutusan hubungan gadai yang terjadi di Kecamatan Samalanga dalam pelaksanaannya dilakukan pada saat penebusan. Penebusan yang paling cepat biasanya satu kali panen. Hak menebus yang dilakukan oleh penjual gadai tidak akan berakhir walaupun transaksi gadai tersebut berlangsung bertahun-tahun.
Pada waktu dilakukannya penebusan, besarnya uang tebusan sama seperti saatnya dilakukan jual gadai. Resiko dari berubahnya nilai uang atau harga emas ditanggung oleh sepihak, hal ini dapat kita lihat dalam kasus yang terjadi di Ulee Ue sebagai berikut :
MA pada tahun 1981 menggadaikan sepetak tanah sawah kepada AJ dengan harga gadai lima mayam emas 24 karat. Harga emas pada waktu itu Rp. 35.000,- per mayam diukur dengan uang yaitu sebanyak Rp. 175.000,- (5x 35.000,-). Kemudian pada tahun 1988 MA menebus tanah tersebut dengan uang sebanyak Rp. 300.000,- (5 x 60.000,-) karena harga emas pada saat dilakukan penebusan harga emas telah naik dari harga Rp. 600.000,- menjadi Rp. 960.000,- Per mayam.-[11]
Dari kasus tersebut nampaklah bahwa perubahan nilai uang hanya ditanggung oleh satu pihak yang mana dalam hal ini ditanggung oleh pihak penjual gadai.
Berakhirnya hubungan gadai yang terjadi di Kecamatan Samalanga disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
a.       Dilakukan penebusan baik oleh penjual gadai sendiri maupun oleh ahli waris dari sipenjual gadai, penebusan dilakukan dengan mengembalikan uang tebusan kepada pembeli gadai sekaligus.
b.      Penebusan tebusan oleh pembeli gadai. Hal ini terjadi karena semata untuk menolong si penjual gadai bukan untuk mencari keuntungan. Dikarenakan mereka mengambil hasil dari tanah hanya untuk memperoleh kembali uang yang telah mereka keluarkan untuk membeli gadai, kemudian apabila hasil dari tanah tersebut telah mencukupi untuk uang yang telah dikeluarkan untuk membeli gadai itu, kemudian mereka mengembalikan tanah gadai tersebut kepada penjual gadai tanpa meminta uang tebusan.
Dengan pengembalian tanah gadai tersebut kepada penjual gadai maka dengan sendirinya pada waktu itu berakhirlah transaksi gadi menggadai yaitu dengan sebab pembebasan oleh pembeli gadai. Hal  ini dapat dilihat dalam kasus yang terjadi di Desa Cot Mane, sebagai berikut :
Pada tahun 1990 HS membeli gadai sepetak tanah dari AI dengan harga dua mayam emas 24 karat, kemudian tanah tersebut diusahakan sendiri oleh HS. Setelah mengusahakan tanah tersebut beberapa tahun, kemudian pada tahun berikutnya yaitu tahun 1994 HS mengembalikan tanah tersebut kepada AI dengan suka rela tanpa meminta uang tebusan lagi.[12]
a.       Tanah gadai dijual lepas kepada pembeli gadai dengan cara menambah uang gadai sesuai dengan harga tanah yang selayaknya pada saat jual lepas  terhadap tanah gadai itu dilakukan.[13]
b.      Tanah gadai diwariskan kepada penjual gadai untuk menjadi hak milik.
c.       Adanya bencana alam yang menyebabkan tanah gadai menjadi musnah. Artinya tanah gadai tersebut menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi.11

C.    Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Gadai
Masyarakat di Kecamatan Samalanga sampai saat penelitian ini dilakukan masih melakukan transaksi gadai-menggadai tanah sawah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam hukum adat. beberapa faktor. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan apa yang digariskan oleh hukum Islam khususnya menurut fiqh Syafi’iyah dan ketentuan-ketentuan dalam hukum yang berlaku sekarang yaitu Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 yang menghendaki agar gadai tanah dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Hal ini ternyata disebabkan oleh beberapa faktor.
Dari hasil penelitian penulis ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat khususnya di Kecamatan Samalanga, dalam melaksanakan gadai masih melakukan menurut hukum adat setempat. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1.      Pengaruh hukum adat itu sendiri
Hukum adat yang telah dikenal oleh masyarakat sejak dahulu kala ternyata telah diikuti dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat khususnya di Kecamatan Samalanga, sehingga dalam bertingkah laku maupun dalam perbuatan-perbuatan lainnya mereka selalu dipengaruhi oleh hukum adat, demikian juga yang terjadi dalam gadai menggadai tanah sawah.
Hal yang semacam ini nampak jelas, di mana dalam gadai menggadai mereka selalu memanfaatkan keuntungan  dari tanah gadai tersebut, hal yang demikian jelas bertentangan dengan hukum Islam. Karena dalam hukum Islam tidak diperbolehkan memanfaatkan dan mengambil manfaat dari tanah gadai tersebut karena dianggap suatu riba yang diharamkan. Sebagaimana yang terdapat di dalam ungkapan dibawah ini.
... لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة ولو أذن له الراهن ، لأنه قرض جر نفعا فهو ربا.
Artinya : …. Tidak halal bagi si penerima gadai untuk mengambil manfaat dari benda yang digadaikannya, meskipun oleh si pemegang gadai menyetujuinya, karena tiap-tiap hutang yang diambil manfaatnya adalah riba.[14]
Kendatipun mereka telah mengetahui bahwa pemanfaatan dan pengambilan manfaat dari tanah gadai tersebut adalah suatu riba yang dilarang dalam hukum Islam, namun tetap saja mereka melakukan menurut hukum adat. Hal yang demikian didasarkan atas suatu pertimbangan bahwa apabila si penjual gadai tidak boleh memanfaatkan ataupun mengambil manfaat atas tanah gadai tersebut, maka oleh pihak pembeli tidak mau membeli gadai tanah sawah tersebut karena tidak ada keuntungan baginya.[15]
Demikian juga masyarakat di Kecamatan Samalanga dalam melaksanakan gadai menggadai cukup hanya dengan diketahui oleh Kepala desa ataupun tidak diketahuinya, atau hanya saja diketahui oleh saksi dengan dilakukannya perjanjian secara lisan. Hal semacam ini tentu saja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10  Tahun 1961, yang bahwa gadai menggadai harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Begitu juga peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang Nomor 56 tahun 1960, yaitu gadai menggadai yang sudah lewat waktu tujuh tahun harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan tanpa meminta uang tebusan, juga tak dihiraukan oleh masyarakat di Kecamatan Samalanga. Sehingga gadai menggadai yang sudah lampau waktu tujuh tahun harus ditebus kembali oleh penjual gadai.[16]
2.      Karena biaya dan waktu yang sangat mendesak
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat di Kecamatan Samalanga banyak yang ekonominya tidak dapat kebutuhan sehari-hari, maka oleh penjual gadai biasanya tidak menghiraukan lagi apa yang digariskan oleh hukum Islam maupun hukum positif, dikarenakan kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak dan dengan cara yang tiba-tiba. Sehingga terpaksa menjual gadai tanah sawahnya kepada siapa yang mau membeli gadai tanah sawah tersebut.
Sehingga menyebabkan transaksi sebagaimana yang dimaksud oleh paraturan-peraturan yang mengatur tentang gadai tidak pernah terlaksana sebagaimana mestinya. Demikian juga waktu yang harus mereka sediakan karena terutama sekali untuk mengurus surat yang mereka perlukan melaksanakan gadai demikian juga ongkos untuk pulang pergi ke Kantor Camat, menyebabkan masyarakat senang melaksanakan menurut ketentuan hukum adat. Karena menyita waktu yang bayak demikian juga biasanya.[17]
Disamping itu juga banyak diatara masyarakat yang mengetahui tentang ketentuan-ketentuan atau persoalan-persoalan terutama sekali yang menyangkut tentang hukum yang berlaku dalam pelaksanaan gadai tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal inipun akan mempengaruhi mereka sehingga merasa keberatan dalam melaksanakan gadai tanah sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang.[18]
Alasan yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak terlepas dari kebiasaan mereka yang selalu melaksanakan gadai menurut hukum adat yang tentunya dala pelaksanaannya lebih mudah dan uang yang mereka butuhkan lebih cepat didapatkan. Akibatnya meskipun gadai harus dilakukan secara tertulis dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Demikian juga batas waktu pelaksanaan gadai yang semestinya harus dikembalikan kepada pemiliknya setelah lewat waktu tujuh tahun.[19]
3.      Karena Perbedaan anggapan masyarakat dalam hal gadai-menggadai
Perjanjian gadai menggadai tanah di Kecamatan Samalanga bukanlah merupakan hal yang baru, gadai menggadai telah mereka lakukan dari tahun ketahun secara turun temurun dan mereka lakukan menurut hukum adat.
Meskipun hukum Islam itu telah mereka mengetahuinya, yang bahwa memanfaatkan dan mengambil manfaat dari gadai itu adalah riba, akan tetapi mereka tetap menganggap bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah berdasarkan tolong- menolong antar sesama mereka, bahkan ada diantara mereka menganggap, bahwa memanfaatkan dari barang gadaian tidaklah termasuk riba, karena didasarkan atas pertimbangan, bahwa manfaat yang mereka ambil dari hasil tanah gadai atas dasar saling memberi, dalam arti si penjual gadai meminta uang kepada pembeli gadai, dan si pembeli gadai memberikan uang tersebut untuk si penjual gadai dikala ia mebutuhkannya dalam keadaan yang sangat mendesak dengan syarat harus adanya tanggungan berupa sawah untuk dimanfaatkan dan diambil hasilnya.[20]
Demikian juga Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 telah memasuki usia ke 48 tahun, namun masyarakat di Kecamatan Samalanga belum mengikuti ketentuan undang-undang tersebut, terutama sekali yang menyangkut tentang gadai tanah sebagaimana yang diatur pasal 7 ayat 1 dan 2 dari Undang-undang tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh tujuan gadai yang berbeda yang mana dalam pelaksanaan gadai di Kecamatan Samalanga hanyalah semata-mata mereka anggap tolong-menolong sesama masyarakat yang memerlukan pertolongan. Mereka menganggap tolong-menolong merupakan suatu keharusan yang harus mereka lakukan apabila salah seorang warga desa mendapat kesulitan.[21]
Sementara UUPA menganggap hak gadai yang masih mereka ikuti dan dilaksanakannya menurut hukum adat dipandang sesuatu yang dapat menghambat pembangunan. Dikarenakan gadai yang terdapat dalam masyarakat masih bersifat pemerasan, hal ini ternyata tidak dapat diterima oleh Masyarakat di Kecamatan Samalanga atau setidak-tidaknya mereka lakukan bukanlah merupakan suatu pemerasan.[22]


C.    Hambatan-hambatan Dalam Melaksanakan Gadai
Walaupun ada diantara sebahagian masyarakat yang mengetahui tentang masalah gadai dan tata cara yang diatur oleh hukum positif yaitu sebagaimana yang termuat dalam Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960. Akan tetapi masyarakat di Kecamatan Samalanga masih melakukan gadai menurut tata cara hukum adat yang berlaku di Daerah mereka yang telah lama berkembang secara turun-temurun dari leluhur mereka. Oleh karena hal-hal yang demikian, maka terhambatlah pelaksanaan gadai yang sebagaimana mestinya, yaitu seperti diatur hukum Islam dan hukum Positif.
Adapun hambatan-hambatan yang lain tidak terlaksananya gadai meurut hukum Islam dan hukum Positif tentunya disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat menghambat terlaksananya hukum Islam dan hukum Positif, diantaranya adalah :
1.      Tidak adanya penyuluhan hukum baik oleh ulama maupun oleh Pejabat Pemerintah.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa walaupun ada diantara sebagian yang telah mengetahui tentang tata cara pelaksanaan gadai menurut ketentuan hukum Islam dan hukum Positf. Namun ketentuan dan tata cara pelaksanaan gadai semestinya yaitu sebagaimana yang telah diatur hukum Islam dan hukum Positif sampai saat ini khususnya di Kecamatan Samalanga belum dilaksanakan praktek, hampir semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan menurut prosedurnya yaitu menurut hukum Islam dan hukum Positif, bahkan ada diantara meraka yang belum mengetahui kalau sudah berlakukanya Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960. Dalam hal ini mereka mengatakan pula tidak pernah datangnya seorang pejabatpun yang menerangkan tentang pelaksanaan gadai yang mereka lakukan tidak menurut hukum yang semestinya.[23]
Dari uraian di atas dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa tidak terlaksananya gadai tanah menurut ketentuan yang diatur hukum Islam dan hukum Positif disebabkan tidak adanya penyulingan hukum baik dari ulama maupun dari Pejabat Pemerintah yang berwenang.
Camat Kepala Wilayah yang oleh Undang-undang diserahkan tugas sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sampai saat ini belum melaksanakan tugasnya dibidang gadai menggadai, meskipun Camat ada merencanakan untuk memanggil Kepala Kemukiman, Kepala desa dan Imam-imam Desa untuk menerangkan tentang prosedur yang berlaku menurut hukum Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sampai saat ini belum sempat dilaksanakan karena adanya kesibukan-kesibukan lain.  Akibat masyarakat terus melaksanakan gadai menurut kebiasaan mereka setempat.[24]
2.      Hasil tanah sawah umumnya tidak banyak.
Kecamatan Samalanga dibagi atas enam kemukiman di dalamnya terdapat 46 Desa. Namun tidak semua Desa dapat diari dengan air bendungan sungai yang sederhana, sedangkan yang dapat diari dengan bendungan-bendungan sederhana Cuma 14 Desa. Desa-desa lainnya yang tidak dapat diari air bendungan tersebut terpaksa bercocok tanam pada tadah hujan.
Akibat hal yang demikian, maka hasil tanah yang mereka peroleh atas tanah gadai tersebut umumnya tidak banyak sehingga maksud yang dikehendaki oleh ketentuan yang ada dalam hukum Islam dan hukum Positif sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentunya tidak akan disetujui oleh pembeli gadai, karena merasa dirugikan.[25]

D.    Analisa Penulis
Berdasarkan kepada data di lapangan, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Kecamatan Samalanga pada umumnya memahami hukum islam dan hukum positif mengenai tata cara gadai-menggadai tanah, namun mereka masih sangat sering melakukan gadai dengan tata cara adat yang notabenenya menyimpang dari ketentuan syar’i dan hukum positif.
Ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakat sudah mengakar, dan sangat sulit untuk dirubah kebiasaan ini. Apalagi tidak adanya kepedulian dari pihak terkait untuk menanggulanginya. Adapun usaha yang perlu dilakukan adalah penyuluhan dan mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan gadai menggadai.
Hal lain yang membuat kecendrungan masyarakat di tempat ini melakukan gadai dengan cara demikian adalah karena terdapat sisi manfaat yang dapat di ambil oleh sepihak yaitu pembeli gadai, di mana ia dapat menguasai tanah milik orang lain dan memanfaatkannya untuk mengolah dan menuai panen darinya. Walaupun hal ini secara otomatis dapat merugikan pihak penjual gadai, bahkan akan lebih mempersempitkan lagi kesempatan baginya untuk dapat menebus hutangnya, karena lahan produktif yang ia miliki telah dikuasai oleh orang lain.
 BAB EMPAT
P E N U T U P
A.    Kesimpulan
Bab ini merupakan bab yang terakhir dari karya ilmiah ini, oleh karena itu penulis ingin menarik beberapa kesimpulan dan mengemukakan saran yang dianggap perlu.
1.      Hukum Islam membolehkan gadai menggadai baik dalam perjalanan maupun ditempat tinggal.
2.      Dibolehkannya dalam hukum Islam dan hukum Positif adalah sebagai kebaikan dalam masyarakat, bukanlah untuk mencari keuntungan.
3.      Barang gadaian yang berada dibawah kekuasaan pembeli gadai adalah sebagai jaminan pembayaran suatu hutang, bukan untuk dimanfaatkan dan diambil hasilnya, kecuali atas keizinan bersama untuk menjadi milik bersama.
4.      Dalam hukum Positif sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1991 khususnya yang mengatur tentang gadai adalah untuk memberantas unsur-unsur pemerasan yang dilakukan oleh pembeli gadai terhadap penjual gadai yang umumnya ekonomi lemah dikala mereka membutuhkan dengan cara tiba-tiba dan mendesak.
5.      Ketentuan-ketentuan baik dalam hukum Islam maupun hukum Positif belum sepenuhnya dilaksanakan di Kecamatan Samalanga.
6.      Gadai menggadai yang berlaku di Kecamatan Samalanga masih dilakukan menurut ketentuan menurut hukum adat setempat.
7.      Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat terlaksanakan gadai menurut ketentuan adat, sebagai berikut :
a.       Masyarakat masih terpengaruh dengan hukum adat.
b.      Perbedaan anggapan masyarakat terhadap gadai menggadai yang mereka lakukan, adalah berdasarkan tolong menolong.
c.       Karena biaya dan waktu yang mendesak.
8.      Hambatan-hambatan dalam penerapan hukum Islam dan hukum Positif dalam hal gadai menggadai, antara lain :
a.       Tidak adanya penyuluhan hukum dari Ulama maupun dari Pejabat Pemerintah.
b.      Hasil tanah umumnya tidak banyak.
9.      Perjanjian gadai menggadai yang terjadi dalam masyarakat umumnya dilaukan secara tertulis, kecuali gadai menggadai tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga sendiri, maka dalam hal tidak dibuat surat perjanjian.
10.  Hubungan gadai menggadai akan berakhir apabila :
a.       Dilakukan penebusan oleh penjual gadai.
b.      Dibebaskan dari penebusan oleh pembali gadai.
c.       Tidak menjual lepas gadai kepada pembeli gadai.
B.     SARAN-SARAN
1.      Untuk menunjang terlaksananya gadai menggadai sebagaimana yang diatur oleh Hukum Islam dan hukum Positif yaitu sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 56 Perpu tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sebaik oleh yang berwenang baik Departemen maupun non Departemen memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat tentang sebagaimana gadai menggadai menurut hukum Islam dan hukum Positif yang sebenarnya.
2.      Hendaknya sebelum Undang-undang Nomor 56 Perpu Tahun 1960 dilaksanakan secara tegas dalam arti menerapkan sanksi-sanksinya, khususnya di Kecamatan Samalanga, alangkah baiknya terlebih dahulu diberi dan dipermudah pengurusan perkreditan bagi masyarakat khususnya para petani, sehingga mereka bila memerlukan sejumlah uang tidak menggadaikan tanahnya yang menyimpang dari ketentuan hukum.
3.      Kepada masyarakat diharapkan supaya melaksanakan gadai tanah sawah dihadapan Camat dan sekaligus dibatasi waktu untuk gadai tanah selama tujuh tahun.
4.      Penulis menghimbau kepada semua pihak baik Pemerintah Majelis Ulama, maupun pemuka-pemuka masyarakat, agar dapat menyadarkan umat Islam supaya terhindar dari hal-hal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan syariat Islam dan ketentuan lainnya yang tidak bertentangan dengan Islam, termasuk masalah gadai menggadai. 



[1] Sumber Data: Matrik Statistik Kecamatan Samalanga, Tahun 2008.

[2]Ibid.

[3] Ibid.

                [4] Hasil wawancara penulis dengan Tgk Nurdin  Kepala Mukim Mesjid Raya, 2 Mei  2008.

[5] Hasil wawancara penulis dengan Tgk. Abu Bakar Kepala Desa Mideun Jok, 1 Mei  2008

[6] Hasil wawancara penulis dengan Tgk. Amin  Kepala Mukim Meurah, 3 Mei  2008.

[7] Hasil wawancara penulis dengan Pak Yahya  Kepala Mukim Meugit, 2 Mei  2008.

                [8] Hasil wawancara penulis dengan Zakariya Amin Kepala Desa Cot Siren, 4 Mei  2008.

                [9] Hasil wawancara penulis dengan A Karim  Kepala Mukim Batee Ileik, 1 Mei  2008.

[10] Hasil wawancara penulis dengan Rusli Kepala Desa Pulo Baroh, 5 Mei  2008.

[11] Hasil wawancara penulis dengan M Hasyem Basyah Kepala Desa Matang Wakeuh, 8 Mei  2008.

[12] Hasil wawancara penulis dengan Ben Banta Kepala Desa Cot Mane, 5 Mei  2008.

[13] Hasil wawancara penulis dengan Rusli Ali Kepala Desa Pineung Siribee, 10 Mei  2008.

[14] Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, Jld. III, Libanon : Darul Fikr, tt, hlm.. 188.

[15] Hasil wawancara penulis dengan Tgk. Zamzami pimpinan pesantren Mazra’atul Akhirah Desa Cot Siren. 11 Mei 2008.

[16] Hasil wawancara penulis dengan Abdullah SM Kepala Desa Alue, 5 Mei  2008.

[17] Hasil wawancara penulis dengan Ali Basyah pelaku gadai Desa Bate Iliek, 1 Mei  2008.

[18] Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Haitami Kepala Desa Angkieng Barat, 7 Mei  2008.

[19] Sudargo Gautama dan G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,...hal. 190.

[20] Hasil wawancara penulis dengan Tgk Isa Imam Desa Pulo Baroh, 5 Mei  2008.

[21] Hasil wawancara penulis dengan Khaidir Staf Kantor Camat Samalanga, 10 Mei  2008.

[22] Hasil wawancara penulis dengan Ramli Zaini masyarakat Desa Matang Teungeh, 20 Mei  2008.

[23] Hasil wawancara penulis dengan Fauzi Harun pelaku gadai Desa Mideun Geudong , 12 Mei  2008.

[24] Hasil wawancara penulis dengan Khaidir staf kantor Camat Kecamatan Samalanga, 10  Mei  2008.

[25] Hasil wawancara penulis dengan Fauzi Harun Pembeli Gadai Desa Blang Dalam, 24 Januari 1994




[1] Ibrahim Bajuri, Fathul Qarib, Jakarta : Al-Haramaini, Jilid I, tt, hal. 359.
[2] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang : Toha Putra, 1989, hlm. 71.

[3] Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari¸Juz. II, Indonesia : Maktabah Dahlan, tt, hlm. 958.
[4] Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari,... hal. 958.

[5] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Haji Masagung, 1991, hlm. 117.

[6] Zainuddin Al-Malibari, I’anatuttalibin, Juz. III, Semarang : Toha Putra, tt, hal. 54.
[7] Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, Jld. III, Libanon : Darul Fikr, tt, hlm. 188.
[8] Zainuddin Al-Malibari, I’anatuttalibin,…hal. 54.

[9] Jalaluddin Al-Mahalli, Qalyubi wa Umairah, Juz. II, Beirut : Darul Fikr, 2003, hal. 327.
[10] Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, ...  hlm. 190.
[11] T. Muhammad Hasby, Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 421.
[12] Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, ...hlm. 188.

[13] Mahmoud Syaltuot, Al-Fatwa, Jld. II, (Terjemahan Bustami A Gani dan Zaini Dahlan), Jakarta : Bulan Bintang, tt, hlm. 105. 
[14] Imam Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari,...hlm.959.
[15] Ash-Sya’anny, Subulussalam, Juz. III, Bandung : Maktabah Dahlan, tt, hal. 53.
[16] Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Jakarta, tt, hal. 112.
[17] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, Jakarta : Bulan Bintang, tt, hal. 32.

[18] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan,... hal. 33

[19] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, hal. 34.
[20] Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, hal. 115.
[21] T. I. El. Hakim, Beberapa Segi Hukum Adat Tentang Tanah Perdesaan Desa, Darussalam : Universitas Syiah Kuala, 1981, hal. 32.

[22] 19T. Moehd Rasyid, Yurisprudensi Daerah Istimewa Aceh, Buku V Hukum Perdata, Hasil Kerja Sama Antara Pengadilan Tingga Banda Aceh dengan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, 1978/1979, hal. 17.

[23] Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, hal. 116.

[24] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, hal. 35.
                [25] Chidir Ali, Yurispudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, Jilid Il, Bina Cipta, Jakarta, t.t. hal. 169.

[26] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, hal. 37.

[27] Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, hal. 116.
[28] Mr. B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, hal. 118.

[29] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, hal. 38.

[30] S.A. Hakim, Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan, hal. 39.
[31] Sudargo Gautama dan G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung : Alumni, 1973, hal. 162.

[32] Sudargo Gautama dan G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,...hal. 190.

[33] R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung : Citra Aditya, 1989, hal. 58

[34] Sudargo Gautama dan G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,...hal. 219.

[35] Bakhtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Bandung : Alumni, 1993, hal. 79.
[36] Bakhtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah,...hal. 82.

[37] Sekretariat Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 No. 1-91, Indonesia : Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1961, hal. 354.

[38] A P. Parlindungan,..., hal. 112.
[39] Sudargo Gautama dan G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,...hal. 191.

[40] Sudargo Gautama dan G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,...hal. 192
[41] Bakhtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah,...hal. 84.
[1] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Quran, 1995), hal.
[2] Ash-Syan’any, Subulu As-salam, Juz. III, Maktabah Dahlan, Bandung, tt, hlm. 53.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, hlm. 246.
[4] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Semarang : CV. Aneka, 1969, hlm. 388.
[5] K. Ng. Suebekti dan R. Tjitrosoedbio, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Jakarta : Pramadya Paramita, Jakarta, 1969, hlm. 1006.
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,….hlm. 877.
[7] T. Muhammad Hasby Ash-Shiddiieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, hlm. 44.
[8] Idris Ahmad, Dasar-dasar Pokok Hukum Islam dan Aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah, Jakarta : Pustaka Azam, 1969, hlm. 7.
[9] C. St. Cansil, Buku Saku Untuk Setiap Orang, Jakarta : Erlangga, 1986, hlm. 24.
[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,….hlm. 315.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)

MAKALAH BUDIDAYA TANAMAN CABAI