Legenda Pendekar Islam Negeri Cina Sirajuddin Abbas

  [image: Pernahkah anda mendengar nama Klenteng Sam Poo Kong atau Klenteng
Gedung Batu di Simongan Semarang? Konon, klenteng tersebut dibangun untuk
tempat beristirahat sekaligus sholat komandan armada laut Dinasty Ming dari
Cina pada abad 15/16 lalu. (SuaraMedia News)]

Pernahkah anda mendengar nama Klenteng Sam Poo Kong atau Klenteng Gedung
Batu di Simongan Semarang? Konon, klenteng tersebut dibangun untuk tempat
beristirahat sekaligus sholat komandan armada laut Dinasty Ming dari Cina
pada abad 15/16 lalu. (SuaraMedia News)
Untuk tempat sholat..!? Ya, Komandan Armada yang dikenal dengan nama Cheng
Ho atau Zheng He ini memang beragama Islam, dimana dikisahkan ayahnya pernah
naik haji dan ia sendiri disunat sejak kecil. Namun perjalanan armada Cheng
Ho bukanlah untuk menyebar-nyebarkan agama Islam di tempat yang
disinggahinya, walau ia muslim. Lebih layak kalau perjalanan armadanya
adalah untuk riset, menagih upeti dari Majapahit dan mengamankan Sriwijaya
dari serangan bajak laut yang juga orang-orang Cina. Kota Palembang sekarang
yang banyak dihuni orang-orang berwajah Cina tapi beragama Islam mungkin
bisa dijadikan kunci untuk menelisik lebih jauh tentang peran Cina muslim
dalam islamisasi di Indonesia. Juga tentang keberadaan preman-preman
Palembang yang kondang mungkin bisa dihubungkan dengan adanya perkampungan
yang dihuni para bajak laut di masa lalu. Bagaimana dengan mpek-mpek? di
daerah Cina selatan dikabarkan ada makanan sejenis itu yang mungkin
merupakan cikal bakal mpek mpek Palembang.



Siapakah Cheng Ho sebenarnya?

Kisah pelayaran Cheng Ho tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang
mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya (laporan khusus Time di bawah
tajuk The Asian Voyage: In the Wake of the Admiral, ed. August 20-27, 2001)
tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik fiksi maupun
non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi kelautan-perkapalan di Eropa
khususnya pasca penjelajahan sang maestro.


Legenda Sinbad Sang Pelaut yang begitu populer di Timur Tengah juga
terinspirasi oleh kisah legendaris Cheng Ho. Di Indonesia, terutama Jawa,
juga terdapat jejak historis yang tak terbantahkan sebagai pengaruh misi
muhibah Cheng Ho. Selain itu, juga cukup banyak berbagai karya sastra yang
bertutur tentang Cheng Ho/Sam Poo Kong seperti yang ditulis Remy Silado
(saya sendiri belum membaca, disarikan dari resensi seorang teman).



Cerita lisan Dampu Awang yang begitu kuat di masyarakat pesisir utara Jawa
juga disinyalir merupakan pengaruh dari legenda itu. Jadi siapakah Cheng Ho
sehingga pengaruhnya begitu besar?



Cheng Ho sebetulnya adalah nama yang diberikan oleh Cheng Tzu atau Chu Teh
yang lebih populer dengan sebutan Yung Lo, kaisar ke-3 Dinasti Ming yang
berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Nama asalnya adalah Ma Ho, lahir 1370
M dari keluarga miskin etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas muslim
Tionghoa campuran Mongol -Turki. Karena jasanya dalam turut mengkudeta Kien
Wen, akhirnya Ma Ho diberi jabatan penting oleh Kaisar Yung Lo sebagai
pemegang komando atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana yang
melayani kaisar sebagai polisi rahasia (Seagrave, 1999).



Ini merupakan jabatan sangat berpengaruh, sebagai bukti kepercayaan sang
kaisar pada Cheng Ho, ia diberi mandat untuk memimpin ekspedisi laut sebagai
Commander in Chief lewat sebuah dekrit kerajaan (Imperial Decree). Sementara
wakil dan sekretaris masing-masing dipegang oleh Laksamana Muda Heo Shien
(Husain) dan Ma Huan serta Fei Shin (Faisal) sebagai juru bahasa Arab,
selain Ma Huan yang memang mahir berbahasa Arab juga Hassan, seorang imam di
bekas ibukota Sin An (Changan). Dalam menjalankan politik diplomasi laut
ini, Kaisar Yung Lo mengeluarkan armada berjumlah 62 kapal besar dengan 225
junk (kapal berukuran lebih kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit
termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa,
ahli geografi, para tabib, juru tulis dan intelektual agama. Kisah itu
kemudian ditulis antara lain di Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming).



Sejak 1405, awal mula Cheng Ho mengadakan pelayaran sampai wafatnya, 1433 ia
telah mengadakan pelayaran selama 7 kali dan mengunjungi lebih dari 37
negara: dari berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudra Hindia sampai ke
Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco
dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan
Laut Merah hingga pesisir Kenya.



Dilihat dari kuantitas dan waktu, ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para
pengembara mana pun di Eropa: Chistopher Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand
Magellan, Francis Dranke dan lain-lain. Karena prestasinya yang luar biasa
menjadikan Cheng Ho semakin dimitoskan dan diberi julukan kaisar sebagai Ma
San Bao ("Ma" si Tiga Permata). Julukan sebagai ungkapan rasa sayang dalam
adat Tionghoa. Setelah Cheng Ho meninggal dunia karena sakit pada tahun
1435, di usia 65 tahun, ia dimakamkan di Niushou (Bukit Kepala Banteng),
Nanjing, Cina Daratan.



Dalam komunitas Tionghoa dewasa ini, terlepas dia seorang muslim atau tidak,
tokoh Cheng Ho menjadi semacam tokoh mitologi yang diagungkan. Ia tidak
hanya dipuja dan dikagumi sebagai seorang Bahariwan Agung tetapi juga
disembah sebagai dewa di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Poo Kong
terutama oleh penganut agama leluhur Tionghoa. Di kemudian hari,sang maestro
ini dikenal dengan berbagai sebutan: Sam Poo Tay Djin, Sam Poo Tay Kam, Sam
Poo Toa Lang dan lain-lain.



Ini adalah sebuah anakronisme historis. Sebab Cheng Ho yang manusia biasa
dan muslim itu kemudian diberhalakan sebagai dewa yang disembah di
kelenteng. Lebih menyedihkan lagi, sejarah Cheng Ho selalu ditulis secara
hagiografis yaitu berlebih-lebihan yang cenderung melampaui manusia lumrah
bukan menggunakan pendekatan sejarah kritis. Akibatnya, sosok Cheng Ho
tampil sebagai manusia yang nyaris sempurna yang hanya pantas ada di alam
mitos. Padahal Cheng Ho adalah seorang Muslim Tionghoa lumrah sebagaimana
lainnya yang tentu memiliki berbagai keterbatasan. Jasa terbesar dia
barangkali adalah telah menjalin persahabatan antara Tiongkok dengan negara
atau kerajaan lain di dunia ini yang diperkukuh dengan pertukaran kebudayaan
yang masih tampak hingga dewasa ini, termasuk di Jawa.



Sino-Javanese Muslim Cultures

Memang telah terjadi apa yang disebut "Sino-Javanese Muslim Cultures" yang
membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem
sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan
Tionghoa Islam lain dengan Jawa. Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures itu
tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam misalnya
masjid, yang menunjukkan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga
berbagai seni/sastra, batik, ukir dan unsur kebudayaan lain. Sayang,
fenomena Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak terpelihara dengan baik
bahkan oleh masyarakat Tionghoa muslim sendiri.



Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengenai asal-usul/genealogi mereka.
Para sejarawan Tanah Air juga sangat langka yang merawat atau memelihara
kesejarahan akulturasi Tionghoa, Islam, Jawa ini. Mereka umumnya terkena
penyakit intellectual laziesness atau kemalasan intelektual untuk melakukan
penggalian sejarah yang memang minim dokumentasi tertulis ini.



Perpustakaan Nasional juga tidak menyimpan dokumen-dokumen berharga
kaitannya dengan kesejarahan Jawa terutama Jawa prakolonial sebuah kurun di
mana perjumpaan Tionghoa, Islam, Jawa mengalami intensitas tinggi. Oleh
karena itu sangatlah wajar apabila setiap kali diadakan pembicaraan mengenai
asal-usul Islam di Jawa, para sejarawan selalu mengulang-ulang teori klasik,
sekaligus klise, yakni bahwa Islam yang tersebar di Jawa ini melalui para
pedagang dari India Belakang (Gujarat) dan Timur Tengah terutama Persia.
Padahal jika kita mau jujur, bangsa Tionghoa-lah sebetulnya yang memiliki
peran cukup signifikan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya.[image:
alt]



Argumentasi ini tidak hanya didasarkan pada laporan sejarah yang dilakukan
Ma Huan (seorang muslim Tionghoa yang juga sekretaris Cheng Ho) yang pada
abad ke-15 mengunjungi pesisir Jawa tetapi juga oleh beberapa pengembara
asing lain seperti de Baros (Portugis), Ibnu Battuta (Maghrib), dan
Loedwicks (Belanda). Teks-teks babad lokal juga menceritakan adanya
orang-orang Tionghoa muslim yang mempunyai pengaruh kuat dalam proses
penyebaran Islam di Jawa.



Fakta yang tak terbantahkan tentu saja adalah apa yang saya sebut
Sino-Javanese Muslim Cultures tadi. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan,
Jepara , menara masjid di pecinan Banten (Jawa Barat), konstruksi pintu
makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur), arsitektur Keraton dan Taman
Sunyaragi di Cirebon (Jawa Barat), konstruksi Masjid Demak (Jawa Tengah)
terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kuranya,
konstruksi Masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya semuanya menunjukkan
adanya keterpengaruhan budaya Tionghoa yang sangat kuat.



Peninggalan sejarah yang tak terelakkan dari masyarakat Tionghoa muslim
adalah dua masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali
Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang
didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai. Bukti-bukti kesejarahan
ini belum termasuk kelenteng kontroversial yang diduga kuat oleh beberapa
sejarawan sebagai bekas masjid yang dibangun masyarakat Tionghoa muslim pada
abad ke-15/16. Kelenteng-kelenteng dimaksud adalah Kelenteng Ancol
(Jakarta), Kelenteng Talang (Cirebon), Klenteng Gedung Batu (Simongan,
Semarang), Kelenteng Sampokong (Tuban) dan Kelenteng Mbah Ratu (Surabaya).
Inilah sekelumit dari fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas.



Fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas sekaligus menunjukkan bahwa
komunitas Tionghoa di negeri ini pernah hidup berdampingan secara damai
dengan etnis lain, Jawa, Betawi. Mereka tidak hanya saling tukar-menukar
kebudayaan tetapi lebih dari itu juga mengadakan perkawinan silang dengan
perempuan setempat karena kita tahu para pengembara Tionghoa pada waktu itu
semuanya laki-laki. Kata nyonya yang begitu melekat dalam masyarakat kita
pada awalnya berasal dari akar kata Hokian "nio" atau "niowa" yang berarti
perempuan lokal yang dinikahi laki-laki Tionghoa.



Dari sinilah maka tidak mengherankan apabila banyak masyarakat Indonesia
yang sebetulnya masih memiliki darah Tionghoa. Hal ini misalnya ditunjukkan
dengan adanya tembong biru pada pantat atau bagian bawah lain dari bayi yang
baru lahir. Tembong biru itu mengisyaratkan bahwa si bayi mempunyai darah
Mongoloid atau darah Tionghoa (Mongoolse Vlek).



Fakta harmoni Tionghoa-Jawa ini kemudian dirusak oleh Belanda dengan
menerapkan politik segregasi berupa passenstelsel, keharusan bagi setiap
orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian
ke luar distrik tempat mereka tinggal, dan wijkenstelsel, pelarangan bagi
Tionghoa untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun satu
ghetto yang kemudian dikenal dengan Pecinan sebagai tempat tinggal. Sejak
itu Tionghoa menjadi terisolasi dari publik ramai, dan menjadi eksklusif.
Fakta ini diperparah dengan adanya penulisan sejarah Jawa yang
Nerlando-centris sehingga semakin mengucilkan peran dan eksistensi
masyarakat Tionghoa terlebih Tionghoa muslim di Indonesia. Hal inilah yang
sepatutnya kita luruskan bersama.(myn) SuaraMedia.Com

http://www.mail-archive.com/sahabatinteraktif@yahoogroups.com/msg45403.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)

MAKALAH BUDIDAYA TANAMAN CABAI