Makalah Tentang Islam di Aceh

BAB I
PENDAHULUAN
1.3  Latar Belakang Masalah
Manusia tidak dapat lepas dari hukum dalam setiap sendi-sendi kehidupannya. Hal tersebut terjadi pula dalam tatanan masyarakat. Cicero menyatakan ubi cocietas ibi us, yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum1. Indonesia menganut pluralitas hukum dimana terdapat tiga sistem hukum yang berlaku sebagai hukum positif, yaitu hukum barat, hukum adat, serta hukum Islam
Hukum Islam bersifat universal, artinya berlaku sama bagi semua pemeluk agama Islam dimanapun, tidak terbatas pada nasionalitas seseorang. Keberlakuan hukum Islam di Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat. Hal tersebut diakibatkan oleh sejarah bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa setiap wilayah memiliki hukum adatnya masing-masing sebagai hukum positif mereka. Dalam pranata sosial adat mereka, hukum adat yang didasari oleh asas magis-religius, yang merupakan pengaruh dari hukum Islam, merubah kaedah kesusilaan menjadi menjadi kaedah hukum yang kemudian berlaku dalam masyarakat mereka.
Aceh merupakan daerah yeng memiliki keistimewaan sebab menerapkan syariat Islam sebagai hukum positif mereka. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh berdasarkan Syariat Islam. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah, yaitu Islam masuk ke Indonesia berawal di Samudra Pasai, pesisir utara pulau Sumatra, yang kemudian mengalami perkembangan yang pesat. Hukum Islam tersebut kemudian memberikan pengaruh yang besar kepada hukum adat yang berlaku di Aceh, sehingga melahirkan hukum positif Aceh yang mengandung syariat Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian syariat Islam di dalam hukum Islam dan pengaturannya?
2. Bagaimana hubungan syariat Islam dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia ?
3. Bagaimana keberlakuan syariat Islam di Indonesia ?
4. Bagaimana penerapan syariat Islam di Aceh
1Darmawan Prinst, Hukum Acara Pidana; suatu pengantar, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Djambatan, 1989) hal 1.
BAB II 
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.1.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam bersumber dari agama Islam yang diturunkan langsung dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam Al Quran dan As Sunnah. Kerangka dasar agama dan ajaran Islam adalah akidah, syariah, dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akidah yang kemudian melahirkan syariah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku, baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya lainnya.
Iman dan Ihsan atau tasawuf merupakan manivestasi dari akidah. Iman yang berarti kepercayaan Islam merupakan pokok-pokok agama Islam (Ushul ad-Din). Menurut ahlul sunnah wal jamaah, iman Islam terdiri dari rukun iman yang berjumlah enam, yaitu iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab, hari akhir, serta qadha dan qadar. Ihsan yang berarti kebaikan, merupakan etika Islam. Adapun iman, amal (saleh), akhlak atau budi perketi luhur adalah syarat-syarat dari Ihsan². Sedangkan tasawuf bertujuan sama dengan ihsan, tetapi menganut cara-cara yang berbeda seperti pada orang sufi yang melakukan panteisme dengan tujuan bersatu dengan Tuhan, namun cara yang digunakan tidak sesuai lagi dengan islam dan aliran sunnah wal jamaah. Namun demikian, tidak semua cara dalam sufi bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Hal tersebut diakibatkan oleh hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian para ulama tentang akidah mempunyai kecenderungan berbeda-beda yang menimbulkan aliran-aliran atau mahzab-mahzab tertentu di kalangan umat Islam
Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.
²Syahar Saidus, Asas-asas hukum Islam, cet. Kesatu (Jakarta: Penerbit Alumni, 1996) hal 25.
2.1.2 Pengertian Syariat Islam
Syariat dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya³. Norma ilahi tersebut berupa ibadah yang mengatur tata cara dan upacara hubungan langsung dengan Tuhan, dan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat
Ibadah berkaitan dengan rukun Islam, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Dalam norma tersebut, tidak boleh ada penambahan dan pengurangan sebab tata hubungan dengan Tuhan telah pasti ditetapkan oleh Allah SWT sendiri yang dijelaskan kemudian secara rinci oleh rasul-Nya. Dengan demikian, dalam ibadah tidak diperbolehkan adanya pembaruan atau bid’ah, yaitu proses yang membawa perubahan (penambahan atau pengurangan) mengenai kaidah, susunan, dan tata cara beibadah sesuai dengan perkembangan zaman.
Muamalah, hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan As sunnah, sedangkan perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad untuk mengaturnya lebih lanjut dalam menentukan kaidahnya menurut ruang dan waktu (yang dimanifestasikan berupa hukum positif). Kaidah-kaidah muamalah terbagi atas kaidah yang mengatur hubungan perdata dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan publik. Dalam hubungan perdata terdapat hukum munakahat atau hukum perkawinan, wirasah atau hukum kewarisan, dan hukum perdata lainnya, sedangkan dalam hubungan publik terdapat hukum jinayat atau hukum pidana, khilafah atau al-ahkam as-sulthaniyah atau hukum tata Negara, syiar atau hukum internasional, serta mukhasamat atau hukum acara.
Ilmu khusus yang memahami, mendalami, dan merinci syariat, baik ibadah maupun muamalah, agar dapat dirumuskan menjadi norma hidup (kaidah konkret) yang dapat dilaksanakan manusia muslim baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota kehidupan sosial, disebut ilmu fiqih. Ilmu fiqih terbagi atas fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Hasil pemahaman tentang syariat yang disebut hukum fiqih dapat berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya. Itulah yang memungkinkan terjadinya syariat Islam di Aceh yang tidak dimiliki oleh syariat yang berkembang di daerah lain.
³Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, cet. Ketiga Belas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 34.
2.1.3 Pengertian Hukum Adat
Hukum adat menurut istilah adalah adatrecht, yaitu hukum rakyat, hukum agama, hukum kebiasaan, dan hukum tidak tertulis, yang menurut Snouck Hurgronje disebut sebagai aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Menurut Van Vollen Houven, hukum adat berasal dari aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat dimana aturan-aturan tersebut diikuti oleh seluruh masyarakat yang apabila dilanggar akan dikenakan sanksi yang memaksa. Dengan demikian, hukum adat adalah kebiasaan adat istiadat yang tidak terkodifikasikan, akan tetapi apabila dilanggar akan dikenakan sanksi sehingga menimbulkan akibat hukum.
Hukum adat menurut Ter Haar, merupakan hukum yang menjelma dalam keputusan masyarakat, dimana berawal dari kebiasan (yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat) yang oleh masyarakat dikehendaki untuk berlaku pada masyarakatnya sehingga ditambahkan sanksi yang memaksa kedalamnya. Setelah itu keputusan masyarakat tersebut termanifestasikan dalam keputusan penguasa adat (secara formil). Tidak ada hukum adat yang lahir diluar keputusan, sehingga jika belum terdapat keputusan penguasa, maka belum dikatakan hukum adat.
Proses terbentuknya hukum adat secara sosiologis (menurut Soerjono Soekanto) adalah dimulai dengan sifat manusia yang tidak dapat hidup sendiri yang kemudian melakukan interaksi baik dengan orang lain maupun dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya. Interaksi tersebut kemudian menjadi pengalaman yang dinilai baik dan buruk. Kemudian pengalaman tersebut berubah menjadi sistem nilai, yaitu pandangan baik atau buruk, adil atau tidak adil, dan patut atau tidak patut. Sistem nilai ini dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu agama, pengetahuan, dan pergaulan. Disinilah pengaruh hukum Islam masuk ke dalam hukum adat yang ada pada masyarakat Aceh. Sistem nilai yang telah bercampur dengan hukum Islam tersebut ternyata dipandang baik oleh masyarakat Aceh, kemudian terbentuklah pola pikir mengenai bagaimana interaksi selanjutnya yang harus dilakukan oleh masyarakat Aceh tersebut. Setelah itu, muncullah sikap (kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat), dimana masyarakat Aceh memilih cenderung untuk berbuat dengan berperilaku sesuai dengan hukum Islam dalam hukum adat mereka tersebut. Kemudian dimanifestasikanlah sikap tersebut dalam perilaku mereka, yang dilakukan berulang-ulang serta terus-menerus yang kemudian disebut kebiasaan. Kebiasaan mereka pun berlaku bagi orang banyak sehingga merupakan kebiasaan umum yang kemudian menjadi norma dimana norma yang selanjutnya terbentuk adalah norma antar pribadi yaitu norma hukum. Disinilah proses terakhir dimana kebiasaan masyarakat Aceh yang telah terpengaruh oleh hukum Islam dalam hukum adat mereka tersebut kemudian menjadi hukum nasional Aceh yang disahkan dengan UU No.11 tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
2.2 Analisis
2.2.1 Hubungan Syariat Islam dengan Hukum Adat
Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsur-unsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk terjadinya pelanggaran di dalam prakteknya.
Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi norma hukum.
Dalam hubungannya, para ahli etnologi, antropologi, dan hukum adat menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kedudukan keagamaan4.
4Zuhri Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta: Praja Grafindo persada, 1996) hal.143
Hal itu disebabkan bahwa hukum Islam mempengaruhi hukum adat. Hukum adat didasari atas prinsip magis religius yang merupakan pengaruh langsung dari agama, contohnya mengenai aliran animisme dan dinamisme yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Menurut A Johns, ia meyakini bahwa doktrin Islam telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kerajaan. Hal ini benar khususnya di Aceh dan Malaka selama masa-masa awal Islam Asia Tenggara5. Ilmuan lain yang mengikuti pandangan tersebut berpendapat walau kekuatan adat lokal telah termanifestasikan dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga efektif pada level komunal dan berhasil memodifikasikan beberapa praktek hukum, terutama dalam bidang-bidang dalam keluarga dan nilai nilai sosial. Inilah yang menjadi dasar syariat Islam sebagai manivestasi dari hukum Islam mampu diberlakukan dalam pranata sosial masyarakat Aceh dalam hakikatnya merupakan propinsi di Indonesia yang juga tunduk pada hukum nasional Indonesia
Menurut dialog yang saya adakan dengan dosen hukum adat saya, ibu Meliyana Yustikarini S.H., M.H, beliau menyoroti syariat Islam yang menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat aceh, disebabkan oleh hukum Islam yang datang pada awal masuknya Islam, yaitu sekitar abad ke 11 melalui samudera Pasai, yang kemudian mampu diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Hukum Islam tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan hukum adat tersebut. Kemudian dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memutuskan untuk memiliki otonomi daerah yang membuat hukum mereka tersebut diakui dan dilegalkan oleh negara menjadi hukum tertulis mereka. Sehingga berdasarkan pengertiannya, masyarakat Aceh sama dengan masyarakat hukum adat.
Selain itu, beliau juga menambahkan bahwasanya saat Islam masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh (Samudera Pasai), para politikus Belanda, yang salah satunya adalah Snouck Hurgronje, melakukan penelitian yang mendalam mengenai Islam beserta hukumnya. Penelitian yang dilakukan Snouck Hurgronje tersebut dilakukan di Aceh. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencari dan menemukan kelemahan Islam yang digunakan sebagai politik bangsa Belanda agar masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam tetap tunduk dan patuh dengan bangsa Belanda.
5Lukito ratno, Pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia, cet. Kesatu (Jakarta: Perpusnas Katalog dalam Terbitan (KDT), 1998) hal.43
2.2.2 Keberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Syariat Islam diterima di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama adalah alasan sejarah dimana Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 (berdasarkan catatan Marcopollo) atau sekitar abad ke-11 berdasarkan prasasti yang ada di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam telah mengakar di Indonesia sejak lama sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Alasan kedua adalah Alasan penduduk. Menurut sensus, 88,09% penduduk Indonesia adalah Islam (sensus tahun 1980), sehingga jelas mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan syariat Islam mudah diterima di Indonesia.
Alasan ketiga adalah alasan yuridis dimana hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, menjadi hukum positif yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Materi-materi hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh ordonasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama antara lain pada undang-undang pokok perkawinan UU No. 1 tahun 1974, UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang kewarisan, serta peraturan-peraturan lainnya.
Alasan yang terakhir adalah alasan konstitusional. Di bawah Bab Agama, dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa6. Atas dasar inilah dalam NKRI tidak boleh berlaku sesuatu atau bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu, dan kaidah Budha bagi umat Budha, serta NKRI wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterusnya, dimana untuk menjalankan syariat tersebut diperlukan perantaraan kekuasaan negara
2.2.3 Penerapan syariat Islam di Aceh
Aceh sejak dulu tidak berhubungan dengan Belanda, namun dipaksa melaksanakan hukum pidana (wetboek van straftrecht) dan hukum perdata (burgerlijk wetboek), sebab merupakan hukum nasional bangsa Indonesia dimana Aceh merupakan territorial Indonesia sehingga wajib tunduk pada hukum tersebut. Namun, pancasila dan UUD 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia ternyata berlandaskan agama yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD serta sila pertama dalam pancasila. Selain itu dilatarbelakangi oleh sejarah bahwa hampir semua tokoh pejuang Aceh berasal dari kalangan ulama, menjadikan masyarakat Aceh mampu menjalankan dan mempertahankan kedudukan dan harkat serta ciri khas bangsa Indonesia yang religius dan memegang kuat adat dalam tatanan hukum yang berlaku di wilayah mereka.
6 Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, cet. Ketiga belas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 7.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 18 UUD 1945, propinsi Aceh resmi ditetapkan sebagai daerah istimewa. Kemudian ditetapkanlah UU No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh. Propinsi Aceh berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 memiliki empat keistimewaan, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaran pendidikan, serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pada era reformasi, TAP MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN menegaskan daerah istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus guna mempertahankan integrasi bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan seni budaya. Selanjutnya GBHN ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Indonesia merupakan negara hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus seharusnya diatur berdasarkan UU khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 ditetapkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kemudian diperbaharui oleh UU No.11 tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Keppres No.11 tahun 2003 tentang mahkamah syari’ah dan mahkamah syari’ah propinsi lahir guna melaksanakan hukum Islam yang menentukan wewenang dari mahkamah syari’ah yang selanjutnya ditetapkan beberapa peraturan daerah (qanun). Pelaksanaan syariah oleh mahkamah syariah diatur dalam Qonun No.10Tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam dan Qonun No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam yang salah satu ketentuannya adalah kewajiban berbusana Islami bagi pemeluk muslim di seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Namun belum ada ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun tersebut. Kedua Qonun tersebut diistilahkan dalam bahasa fiqh sebagai Qonun formil, sedangkan Qonun materil belum disahkan. Hal ini menunjukkan kekosongan hukum yang membuat tersangka dapat lepas dari jeratan hukum, sehingga dalam Qonun No.10 Tahun 2002 kekosongan ini diatasi dengan tetap memberlakukan KUHP sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa mahkamah syariah hanya menerapkan setengan syari’at Islam di Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam yang tidak ditetapkan sepenuhnya disebabkan oleh perbedaan pendapat para ahli. Contohnya adalah Qonun jinayat yang tidak konsisten dimana landasan argumentasinya tidak jelas rujukannya, asal dalam mengambil rujukan dari Hukum Pidana islam dan KUHAP. Selain itu yang membuat fatal adalah Qonun ini dikeluarkan di Aceh yang merupakan wilayah Negara republik Indonesia sehingga bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Qonun juga ingin diberlakukan pada orang diluar agama Islam, padahal hal tersebut melanggar hak asasi manusia dalam menjalankan agama sesuai kepercayaannya masing-masing, maka Qonun ini melanggar ayat lakum dinukum wa liya din yang artinya bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Penerapan hukum pidana Islam pada mahkamah syariah mempengaruhi tatanan pola hukum secara keseluruhan di Indonesia, karena penerapan syari’at Islam tanpa dilengkapi ketentuan hukum yang sejajar dan lebih tinggi, hanya menjadi celah para penegak hukum untuk melakukan penyimpangan dalam praktiknya. Aceh merupakan daerah yang mendapat legitimasi untuk menerapkan syariat Islam, sehingga membuat hukuman pidana Islam ditetapkan bukan sekedar simbolis saja, seperti hudud, qishah, dan ta’zir terhadap pelaku maksiat dan kriminalitas. Namun yang menjadi tantangan selanjutnya bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan syariat Islam adalah berlakunya hukum barat di Indonesia, serta kurangnya minat para ulama dan ahli hukum di Indonesia dalam mengkaji secara mendalam dan terarah mengenai syariat Islam dan keberlakuannya di dalam tatanan hukum nasional Indonesia pada umumnya serta di dalam hukum Aceh pada khususnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun perdata dalam bentuk norma Ilahi.
Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah
agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan.
Berdasarkan alasan sejarah, penduduk, yuridis, dan konstitusional, Syariat Islam mampu diterima dan diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor diterimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.
Belum adanya ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun, menciptakan terjadinya kekosongan hukum, membuat Aceh memberlakukan QonunNo.10 Tahun 2002 yang berisi tetap memberlakukan
KUHP sebagai dasar hukum. Untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh secara total dan menyeluruh adalah dengan membuat hukum acara Qanun oleh pemerintah Aceh agar Mahkamah Syariah dapat total menjalankan tugasnya dengan tidak hanya menerapkan setengah syari’at Islam di Aceh. Selain itu diperlukan keterlibatan aktif di dalam masyarakat dalam penerapan syariat Islam agar dapat menegakkan syariat Islam sepenuhnya yang tidak melanggar hukum dan norma lainnya yang berlaku di Indonesia.
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan Prinst, Hukum Acara Pidana; suatu pengantar, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Djambatan, 1989)
Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, cet. Ketiga Belas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, cet. Kelima (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
H.A Ddzajuli, Fiqh Jinayah, cet. Ketiga (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
H.A Ddzajuli, Fiqh Siyasah, cet. Kedua (Bandung: Prenada Media, 2003)
Lukito ratno, Pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia, cet. Kesatu (Jakarta: Perpusnas Katalog dalam Terbitan (KDT), 1998) hal.43
Syahar Saidus, Asas-asas hukum Islam, cet. Kesatu (Jakarta: Penerbit Alumni, 1996) hal 25
Zuhri Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta: Praja Grafindo persada, 1996) hal.143

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

Makalah Tentang Permainan Tradisional "Bola Bekel"

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)