MAKALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959 yang ditanda tangani oleh Mr. Hardi. Sebagai daerah otonomi, melalui surat keputusan tersebut, kepada Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu : Keagamaan, Peradatan dan Pendidikan. Namun keistimewaan tersebut terutama hak untuk menjalankan Syariat Islam di Aceh ( bidang keagamaan ) tidak pernah terealisasikan karena tidak pernah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya. Bahkan ada kesan keistimewaan tersebut dihalangi dan secara tidak langsung dicabut kembali dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah.
Meskipun demikian, sebenarnya Syariat Islam sebagian dari padanya telah berjalan sejak lama di tengah masyarakat Aceh. Ajaran Islam di bidang ibadah, perkawinan dan kewarisan telah dilaksanakan sejak lama, bahkan sejak masa kesultanan Aceh dahulu sehingga telah meresap dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Berlakunya Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara kaffah merupakan dambaan masyarakat Aceh sejak lama dan telah diperjuangkan selama puluhan tahun ke Pemerintah Pusat di Jakarta, namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh Negara sejak disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999.  Syariat Islam yang dicanangkan berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriyah adalah Syariat Islam secara kaffah ( menyeluruh/ sempurna ). Timbul pertanyaan mengapa harus ditambah kata-kata “ kaffah “ ?
Bukankah ketika kita berikrar melaksanakan Syariat Islam berarti kita harus melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meskipun tanpa menyebut kata-kata kaffah seperti tertera dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 208.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Peraturan Perundang-undangan Yang Berkenaan Dengan Pelaksanaan Syariat Islam di NAD
Sebagai implementasi dari Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, terutama dalam rangka penjabaran keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, telah lahir pula beberapa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, antara lain :

1.     Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majlis Permusyawaratan Ulama ( MPU ) Provinsi DaerahIstimewa Aceh yang disahkan tanggal 14 Juni 2000.

2.     Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam yang disahkan tanggal 25 Juni 2000.

3.     Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

1.    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000
Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja MPU NAD merupakan penjabaran keistimewaan daerah Aceh di bidang Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah. Lembaga MPU ini sebagai pengganti lembaga Majlis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang telah ada sebelumnya.
Menurut PERDA tersebut, lembaga MPU ini merupakan suatu badan yang independen dan bukan unsur pelaksana Pemerintah Daerah dan DPRD.MPU merupakan mitra sejajar Pemerintah Daerah dan DPRD.
Sesuai dengan fungsinya, maka MPU bertugas memberi masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan Daerah dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintah Daerah, maupun kepada masyarakat di daerah.
Berkaitan dengan tata hubungan MPU dengan lembaga pemerintahan, telah lahir pula Qanun Nomor 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majlis Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi Lainnya. Dalam Qanun tersebut secara konkrit ditegaskan tentang kewenangan Majlis Permusyawaratan Ulama ( MPU ) yakni : memberikan pertimbangan, saran/fatwa baik diminta maupun tidak diminta kepada
Badan Eksekutif, Legislatif, Kepolisian Daerah NAD, Kejaksaan, KODAM dan lain-lain badan/Lembaga Pemerintah. Dalam qanun tersebut tidak dicantumkannya kewenangan MPU untuk memberi pertimbangan dan saran/fatwa kepada Badan yudikatif ( Peradilan ). Hal ini disebabkan lembaga peradilan termasuk Peradilan Syariat Islam adalah lembaga yang independent, bebas dari campur tangan dan pengaruh dari pihak manapun sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kontribusi yang dapat diberikan MPU terhadap lembaga Peradilan adalah dalam bentuk penyusunan Rancangan-rancangan Qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam yang setelah menjadi Qanun, nantinya menjadi rujukan bagi Mahkamah Syar’iyah dalam penyelesaian perkara.
Dalam rangka penyiapan Qanun-qanun dimaksud, di bawah MPU Nanggroe Aceh Darussalam telah dibentuk pula sebuah badan yang bertugas mengkaji dan merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan. Badan tersebut diberi nama “ Badan Kajian Hukum dan Perundang-undangan” yang saat ini diketuai oleh Prof.Dr H.Rusydi M.Ali Muhammad, SH. dengan beberapa anggota yang terdiri dari praktisi hukum ( hakim Mahkamah Syar’iyah ), Birokrat dan akademisi ( dosen ). Di antara peraturan perundang-undangan yang telah pernah dikaji dan disusun oleh Badan tersebut adalah Rancangan Qanun tentang Pengelolaan Zakat ( Qanun Nomor 7 Tahun 2004 ) dan Rancangan Qanun tentang Hukum Acara Jinayat yang draftnya telah diselesaikan pada tanggal 11 Agustus 2004. Saat ini draft Rancangan Qanun tersebut telah ada di DPRA untuk dibahas dan disahkan menjadi Qanun.
Perlu diketahui pula bahwa sesuai dengan tuntutan dari ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, MPU Nanggroe Aceh Darussalam dalam tahun 2007 telah mempersiapkan pula suatu Rancangan Qanun baru tentang MPU yakni Rancangan Qanun tentang Organisasi, Tata Kerja, Kedudukan Protokoler dan Keuangan Majlis Permusyawaratan Ulama. Qanun dimaksud telah disahkan DPRA dan diundangkan di Lembaran Daerah dengan Nomor : Tahun 2008.

2.     Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 mengatur bidang-bidang yang menjadi pokok pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Aceh. Menurut PERDA tersebut ada 13 ( tiga belas ) bidang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, yaitu :
a.    Aqidah ;
b.    Ibadah ;
c.    Mu’amalah ;
d.   Akhlak ;
e.    Pendidikan dan dakwah Islamiyah/amar makruf nahi mungkar ;
f.     Baitul Mal ;
g.    Kemasyarakatan;
h.    Syiar Islam;
i.      Pembelaan Islam;
j.      Q a d h a;
k.    J i n a y a t;
l.      M u n a k a h a t;
m.  M a w a r i s.

Ke tiga belas bidang tersebut di atas secara umum pelaksanaannya telah berjalan, namun belum menyeluruh ( kaffah ) meskipun pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah telah lebih lima tahun yang lalu dicanangkan yakni sejak tanggal 1 Muharram 1423 H. 5Berdasarkan pasal 3 dari PERDA tersebut, Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membimbing serta mengawasi pelaksanaan Syariat Islam dengan sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa terlaksananya Syariat Islam dibumi Aceh bukan semata-mata tanggung jawab pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tanggung jawab Negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi NAD.

3.    Perda Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi NAD
Sesuai dengan konsideran dari PERDA tersebut, bahwa pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999.
Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Tugas Dinas Syariat Islam adalah melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di bidang Pelaksanaan Syariat Islam.
Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi, yakni :
1.       Perencanaan dan penyiapan qanun yang berhubungan dengan Syariat Islam;
2.       Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam;
3.       Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam;
4.       Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam;
5.       Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.

Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah : pengiriman da’i ( pendakwah ) ke daerah perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah ( WH ) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan ( Mahkamah Syar’iyah ). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi pamong Praja dan Wilayatul Hisbah.
Di samping Dinas Syari’at Islam di tingkat Provinsi selaku perangkat Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur, maka di tingkat Kabupaten/Kota juga dibentuk lembaga yang sama yang merupakan perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota yang berada di bawah Bupati/Walikota. Namun sampai saat ini lembaga pengemban tugas di bidang pelaksanaan syari’at Islam ini belum seragam baik namanya maupun stuktur Organisasinya antara satu daerah Kabupaten/Kota dengan Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Aceh.
Hal ini disebabkan masing-masing lembaga tersebut dibentuk dengan Peraturan Daerah/Qanun Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sebagai contoh ada daerah Kabupaten/Kota yang hanya membentuk ”Kantor Syari’at Islam” ( pimpinannya hanya eselon III/a ) sementara di daerah lain dibentuk ”Dinas Syari’at Islam” ( pimpinannya eselon II/b ). Di samping itu ada pula daerah tingkat dua yang menggabungkan tugas instansi ini dengan tugas lainnya di bidang keluarga sejahtera ( dulu Kantor BKKBN ), sehingga instansi tersebut diberi nama ”Dinas Syari’at Islam dan Keluarga Sejahtera” seperti yang ada di kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Singkil.  Setelah lahirnya Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( Undang-undang No. 18 tahun 2001 ), dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang telah menjadi kewajibannya, Pemerintah Daerah telah menetapkan pula beberapa Qanun yang berkait dengan pelaksanaan Syariat Islam, yakni :

1.       Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam ( yang dilaksanakan oleh Mahkamah syar’iyah );
2.       Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam  bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam;
3.       Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan  Sejenisnya;
4.       Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir ( Perjudian );
5.       Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat ( Mesum );
6.       Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan zakat.

Namun Qanun tersebut telah dicabut dan diganti dengan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 tentang Badan Baitul Mal. Mengenai hal-hal apa saja yang diatur dalam Qanun-qanun tersebut diatas akan diuraikan secara tersendiri pada saat pembahasan tentang Qanun-qanun tersebut.
Di samping dalam bentuk PERDA dan Qanun, dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam, Pemerintah Provinsi telah pula mengeluarkan sejumlah perangkat peraturan lainya seperti Instruksi, Surat Keputusan dan Peraturan Gubernur, antara lain :
1.       Instruksi Gubernur Nomor 05/INSTR/2000 tentang Pembudayaan Kemakmuran Mesjid dan Meunasah;
2.       Keputusan Gubernur Nomor 47 Tahun 2001 tentang Penggunaan Sebutan Nomenklatur di Lingkungan Pemerintah Provinsi Nanggroe  Aceh Darussalam;
3.       Instruksi Gubernur Nomor 02/INSTR/2002 tentang Pelaksanaan  Zakat Gaji/Jasa Bagi Setiap Pegawai/Karyawan di Lingkungan  Pemerintah Provinsi NAD;
4.       Instruksi Gubernur Nomor 04/INSTR/2002 tentang Larangan Judi ( Maisir ), Buntut, Taruhan dan Sejenisnya yang Mengandung Unsur-unsur Perjudian di Provinsi NAD;
5.       Instruksi Gubernur Nomor 05/INSTR/2002 tentang Tata  Pergaulan/ Khalwat antara Pria dan Wanita dalam Provinsi NAD;
6.       Instruksi Gubernur Nomor 06/INSTR/2002 tentang Pelaksanaan Shalat Berjama’ah di Lingkungan Kantor / Instansi / Badan/  Lembaga /Dinas dalam Provinsi NAD
7.       Surat Keputusan Gubernur Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi  Nanggroe Aceh Darussalam;
8.       Surat Keputusan Gubernur Nomor 01 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah;
9.       Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Tehnis Pelaksanaan Uqubat Cambuk.
10.    Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2005 tentang Mekanisme Pengelolaan zakat.
11.    Instruksi Gubernur NAD Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pemotongan Zakat dari Gaji dan Honorarium bagi setiap Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat di Lingkungan Pemerintah Provinsi NAD.
12.    Instruksi Gubernur NAD Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Pemotongan Infaq dari Perusahaan yang mendapat Pekerjaan pada Pemerintah Provinsi NAD.

Jauh sebelum lahirnya Undang-undang tentang Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh ( UU No. 44 Tahun 1999 ), Pemerintah Daerah Propinsi telah pernah pula mengeluarkan suatu instruksi yakni Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor : 02/INSTR/1990 tentang Kewajiban tentang Harus Dapat Membaca Al Quran dan Pemahaman Adat Istiadat Daerah bagi Murid Sekolah Dasar. Dengan Instruksi ini diharapkan agar semua anak tamatan sekolah dasar telah dapat membaca Al Quran ( bebas dari buta huruf Al Quran ).
Semua peraturan perundang-undang dan Keputusan / Edaran / Instruksi yang dikeluarkan Pemerintah Daerah tersebut dimaksudkan untuk mendukung serta mendorong terlaksananya Syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Namun demikian pelaksanaan Syariat itu sendiri tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua lapisan masyarakat yang mengaku beragama Islam. Kegagalan dalam pelaksanaannya di Nanggroe Aceh Darussalam setelah diberi kesempatan oleh Pemerintah Pusat berarti tanggung jawab kita bersama, baik terhadap Negara maupun terhadap Allah Yang Maha Kuasa.

B.  Substansi Materi Qanun-qanun Yang Berkenaan Dengan Pelaksanaan Syari’at Islam di NAD
a)    Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam
1.    Sekilas tentang Sejarah Mahkamah Syar’iyah di Aceh :
Bagi masyarakat Aceh, lembaga “ Mahkamah Syar’iyah “ Telah dikenal sejak awal masa kemerdekaan Indonesia dahulu yakni sejak tahun 1947, ketika Aceh masih berstatus keresidenan yang berada di bawah Propinsi Sumatera.
Secara formal keberadaan Mahkamah Syar’iyah di Aceh saat itu didasarkan kepada surat kawat Gubernur Sumatera – ketika itu dijabat oleh Mr. Teuku Muhammad Hassan – tanggal 13 Januari l947 Nomor 189 serta diikuti dengan surat kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tanggal 22 Pebruari l947 Nomor 226/3/djaps yang berisi perintah membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh dan Kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera Nomor 896/3/djaps yang ditujukan kepada Jabatan Agama Daerah Aceh di Kutaraja yang berisi pemberitahuan tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyah, yang mencakup :
a.    Nikah, thalaq, rujuk, nafkah dan sebagainya;
b.    Pembahagian pusaka;
c.    Harta wakaf, hibah, sedekah dan selainnya;
d.   Baital mal.

Surat kawat Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera tentang kewenangan tersebut telah dikuatkan pula dengan Keputusan Badan Pekerja DPR Daerah Aceh Nomor 35 tanggal 3 Desember 1947. Di samping itu dalam keputusan tersebut ditegaskan pula bahwa vonnis-vonnis ( putusan ) Mahkamah Syar’iyah dipandang serupa dengan kekuatan vonnis Hakim negeri.
Ketika timbul suara-suara yang meragukan dasar hokum Mahkamah Syar’iyah di Sumatera ( termasuk yang ada di Aceh ) pada tahun l953, Seksi E Parlemen ( DPR ) mempertanyakan hal tersebut kepada Pemerintah. Lalu Menteri Agama atas nama Pemerintah pada tanggal 10 Desember 1953 telah memberikan jawaban secara panjang lebar sekitar lahirnya Mahkamah Syar’iyah tersebut dengan menekankan pula bahwa Mahkamah Syar’iyah telah menjadi suatu kenyataan dan walaupun dasar hukumnya tidak kuat, akan tetapi untuk menghapuskan begitu saja, akan membawa akibat yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan akan betul-betul menyinggung perasaan umat Islam.
Pada tahun 1955, Front Pemuda Aceh dalam konferensi yang berlangsung tanggal 31 Juli sampai dengan 4 Agustus 1955 telah pula mengeluarkan resolusinya yang antara lain berisi desakan kepada Pemerintah agar status Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh yang telah ada, diteruskan/dipertahankan.
Selanjutnya pada tanggal 25 Januari 1956, 17 orang tokoh masyarakat Aceh yang kebetulan bekerja di lingkungan Departemen Agama membuat suatu pernyataan yang intinya mengharap/meminta kepada Kementerian Agama agar memperjuangkan dasar hokum (status) Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh dengan bersungguhsungguh hingga tercapai meskipun dengan jalan menyimpang dari prosedur biasa.
Kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh saat itu baru menjadi kuat setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 yang diundangkan tanggal 6 Agustus 1957 yang khusus mengatur tentang Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di PropinsiAceh. Peraturan Pemerintah tersebut hanya berumur dua bulan tiga hari, karena dicabut kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura ( termasuk Aceh ) yang ditetapkan tanggal 9 Oktober 1957.
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Aceh sebagaimana halnya di daerah-daerah lainnya di luar Jawa dan Madura yang didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 45

2.    Mahkamah Syar’iyah di Aceh Era Otonomi Khusus :
Keberadaan Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan tuntutan sejarah yang secara formal legalistic ditetapkan pula sebagai salah satu “ alat kelengkapan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istrimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam “, seperti termaktub dalam pasal 25 dan 26 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001. Kehadirannya adalah dalam rangka menyelenggarakan salah satu keistimewaan Aceh yakni keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama ( baca Agama Islam ), sebagaimana digariskan dalam pasal 3 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999.
Mahkamah Syar’iyah sebagai pelaksana Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tetap merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001.
Sebagai konsekuensi dari peradilan yang mengacu kepada system peradilan nasional, maka Mahkamah Syar’iyah juga harus menganut tiga tingkatan peradilan, yakni peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat kasasi, dimana untuk tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hal inipun secara tegas dinyatakan dalam pasal 26 ayat (2) Undangundang tersebut di atas.
Secara kelembagaan, Mahkamah Syar’iyah termasuk dalam lingkungan peradilan agama, salah satu dari empat lingkungan peradilan yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan erat dengan system peradilan yang ada di Indonesia hanya mengenal empat lingkungan saja, sehingga tidak mungkin menempatkan “Peradilan Syari’at Islam” yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai salah satu lingkungan peradilan tersendiri di luar lingkungan peradilan agama.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 secara tegas menetapkan hanya empat lingkungan peradilan yang ada di Indonesia yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung.
Dalam pasal 10 ayat ( 2 ) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jugaditegaskan kembali keempat lingkungan peradilan tersebut yakni :
a.    Peradilan Umum;
b.    Peradilan Agama;
c.    Peradilan Militer;
d.   Peradilan Tata Usaha Negara.

C.  Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah Dan Syiar Islam
a.    Tanggal pengundangan dan isinya :
1.    Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2002/07 Sya’ban 1423 H. dan diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi NAD pada tanggal 6 Januari 2003/01 Dzulkaidah 1423 H.
2.    Isinya adalah 11 Bab dengan 27 buah pasal.

b.   Hal-hal yang diatur di dalamnya :
1.    Ketentuan Umum yang berisi penjelasan dari isitilah-istilah yang digunakan di dalam Qanun tersebut ( Bab I ).
2.    Tujuan pengaturan pelaksanaan Syariat Islam dan fungsi ketentuanketentuan dalam Qanun ( Bab II ).
3.    Pemeliharaan Aqidah ( Bab III ).
4.    Pengamalan Ibadah ( Bab IV ).
5.    Penyelenggaraan Syiar Islam ( Bab V ).
6.    Pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun, Penyidikan dan Penuntutan terhadap pelanggaran Qanun ( Bab VI ).
7.    Pengadilan yang berwenang memeriksa terhadap pelanggaran Qanun ( Bab VII ).
8.    Ketentuan ‘uqubah terhadap pelanggar Qanun ( Bab VIII ).
9.    Pembiayaan yang diperlukan dalam pelaksanaan Qanun (Bab IX).
10.              Ketentuan peralihan ( Bab X ).
11.              Ketentuan penutup ( Bab XI ).

c.    Pengertian beberapa istilah dalam Qanun ini :
1.    Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
2.    Aqidah adalah Aqidah Islamiyah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
3.    Ibadah adalah shalat dan puasa.
4.    Syiar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah, untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.
5.    Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.

d.   Tentang Pemeliharaan Aqidah :
1.    Pemerintah ( tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota ) dan lembaga masyarakat wajib membimbing dan membina aqidah ummat serta mengawasi dari pengaruh paham/aliran sesat.
2.    Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarganya.
3.    Setiap orang wajib memelihara aqidah dari pengaruh paham/aliran sesat.
4.    Setiap orang dilarang menyebarkan paham/aliran sesat.
5.    Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam atau menghina/melecehkan agama Islam.
6.    Bentuk paham/aliran sesat ditetapkan melalui fatwa MPU.

e.    Tentang Pengamalan Ibadah :
1.    Pemerintah ( tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota ) dan lembaga masyarakat wajib menyediakan fasilitas, menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.
2.    Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarganya.
3.    Setiap orang Islam yang tidak punya uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.
4.    Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.
5.    Setiap Instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjama’ah.
6.    Pimpinan gampong wajib memakmurkan mesjid dan meunasah dengan shalat berjama’ah dan pengajian agama.
7.    Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.
8.    Setiap orang/badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang bagi orang muslim yang tidak punya uzur syar’i untuk tidak berpuasa Ramadhan.
9.    Setiap orang Islam yang tidak punya uzur syar’i dilarang makan dan minum di tempat/depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.
10.              Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan menegakkan shalat tarawih dan amalan sunat lainnya.

f.     Tentang Penyelenggaraan Syiar Islam :
1.    Pemerintah ( tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota ) dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.
2.    Setiap Instansi Pemerintah/lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan mempergunakan tulisan arab melayu di samping tulisan latin.
3.    Setiap instansi Pemerintah/lembaga swasta dianjurkan menggunakan penanggalan Hijriyah dan Masihiyah dalam surat-surat resmi.
4.    Setiap Dokumen resmi yang dibuat Pemerintah Provinsi NAD wajib mencantumkan penanggalan Hijriyah di samping penanggalan Masihiyah.
5.    Setiap orang Islam wajib berbusana Islami.
6.    Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.

g.     Pengawasan, Penyidikan dan Penuntutan terhadap Pelanggar Qanun :
1.    Pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi dan kabupaten/Kota.
2.    Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat : Gampong, Kemukiman, Kecamatan atau wilayah/lingkungan lainnya.
3.    Wilayatul hisbah diberi wewenang menegur/menasehati pelanggar Qanun dan menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada penyidik.
4.    Penyidikan terhadap pelanggaran qanun dilakukan oleh : Pejabat kepolisian NAD ( penyidik POLRI ) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ).
5.    Dalam menjalankan penyidikan, penyidik wajib menjunjung tinggi Syariat Islam dan hukum yang berlaku.
6.    Jaksa adalah sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan/penetapan hakim Mahkamah Syar’iyah dalam kasus pelanggaran qanun.
7.    Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam qanun ini diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Syar’iyah.

D.  Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Khamar Dan Sejenisnya
a.    Tanggal Disahkan dan isinya :
1.    Disahkan Tgl. 15 Juli 2003/ 15 Jumadil Awal 1424
2.    Di undangkan Tgl. 16 Juli 2003 / 16 Jumadil Awal 1424
3.    Tempat Pengundangan Lembaran Daerah Provinsi NAD Tahun 2003 Nomor 25 Seri D No.12
4.    Isinya 10 BAB 39 pasal

b.   Pengertian Khamar :
1.    Menurut Qanun Nomor 12/2003: ”Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir”.
2.    Menurut Revisi Qanun Nomor 12/2003 : ”Khamar adalah minuman yang mangandung zat memabukkan dan atau mengandung alkohol, bila dikonsumsi dapat menyebabkan kecanduan, terganggu kesehatan dan atau kesadaran”. (psl 1 angka 19 Revisi Qanun).

c.    Tujuan larangan minuman khamar dan sejenisnya ini adalah:
1.    Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak akal;
2.    Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat minuman khamar dalam masyarakat;
3.    Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan minuman khamar dan sejenisnya.
d.   Larangan dan pencegahan :
Pasal 4 : Minuman khamar dan yang sejenisnya hukumnya haram.
Pasal 5 : Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 6 :
1)   Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang memproduksi menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.
2)   Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.

e.    Peran serta masyarakat :
Pasal 10 :
1.    Masyarakat berperanserta dalam upaya pemberantasan minuman khamar dan sejenisnya.
2.    Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tertulis apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 11 : Wujud peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 adalah melapor kepada pejabat yang berwenang terdekat, apabila mengetahui adanya perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud daam Pasal 5 sampai Pasal 7.

f.     Ketentuan Uqubat :
Pasal 26 :
1.    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan `uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.
2.    Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan `uqubat ta`zir berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
3.    Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah jarimah hudud.
4.    Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah ta`zir. Pasal 27 : Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 merupakan penerimaan daerah dan disetor langsung ke kas Baitul Mal.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dilihat kepada isinya, beberapa qanun tersebut di atas hanya mengatur tentang hukum materil jinayat ( pidana ) bagi Mahkamah Syar’iyah. Sedangkan qanun yang mengatur tentang hukum materil bidang mu’amalah yang akan digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah hingga saat ini belum ada.  Oleh karena itu Pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu segera memfokuskan perhatiannya untuk penyusunan qanun-qanun tentang hukum materil mu’amalah untuk menjadi pegangan Mahkamah Syar’iyah dalam penyelesaian perkara-perkara mu’amalah. Sebab jika qanun tentang mu’amalah belum ada, operasionalisasi Mahkamah Syar’iyah di bidang mu’amalah ini belum dapat berjalan meskipun telah ditetapkan sebagai salah satu kewenangannya.

B.  Saran
Dalam pembahasan materi di atas mengenai Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh masih banyak kekurangan, baik di segi penulisan ataupun di dari penyusunan kalimatnya,oleh sebap itu kami selaku penulis minta maaf sebesar - besarnya kepada dosen dan mahasiswa semua, sebagai penyempurna kami mengharap kritik dan saran yang positif dari teman-teman.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syariat Islam (Aceh, 2005), h. 84.

Daniel Lev, Islamic Courts in Indonesia (1985), hal. 10;Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh(2003), h. 48.

Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syari'at Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi, Banda Aceh- Jakarta: Kerja sama Ar-Raniry Press dan Logos Wacana Ilmu, 2003, h. 45.

Hardi, Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, h.181.

Al Yasa' Abu Bakar, Pelaksanaan Syari'at Islam, dalam Syari'at di Wilayah Syari'at : Pernik-Pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, h.39.

Al Yasa' Abu Bakar, Pelaksanaan Syari'at Islam, dalam Syari'at di Wilayah Syari'at : Pernik-Pernik Islam di Naggroe Aceh Darussalam,  h.42 dan 50.

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supermasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Setjen Depkeh dan HAM,2002.  h. 142.

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, Jawa Timur: Banyu Media cetakan Pertama 2005, h. 225-227.

Suparman Ustman. 2001. Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. h. 111

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TSUNAMI ACEH 2004

Makalah Tentang Permainan Tradisional "Bola Bekel"

MAKALAH KHALAF: AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)