Pedoman dalam Bekerja
Adapun dalam hadis, Rasulullah s.a.w. menyerukan supaya kita berdagang. Anjuran ini garis-garis ketentuannya diperkuat dengan sabda, perbuatan dan taqrirnya.
Dalam beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai berikut:
“Pedagang yang beramanat dan dapat dipercaya, akan bersama orang-orang yang mati syahid nanti di hari kiamat.” (Riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)
“Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid.” (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan)
Kita tidak heran kalau Rasulullah menyejajarkan kedudukan pedagang yang dapat dipercaya dengan kedudukan seorang mujahid dan orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam percaturan hidup, bahwa apa yang disebut jihad bukan hanya terbatas dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.
Seorang pedagang dijanji suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah serta pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar dengan jalan apapun. Harta dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan membangkitkan untuk mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Justru itu barangsiapa berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan memperoleh kedudukan sebagai mujahidin.
Urusan dagang sering menenggelamkan orang dalam angka dan menghitung-hitung modal dan keuntungan, sehingga di zaman Nabi pernah terjadi suatu peristiwa ada kafilah yang membawa perdagangan datang, padahal Nabi sedang berkhutbah sehingga para hadirin yang sedang mendengarkan khutbah itu menjadi kacau dan akhirnya mereka bubar menuju kepada kafilah tersebut.
Waktu itulah kemudian turun ayat yang berbunyi sebagai berikut:
“Apabila mereka melihat suatu perdagangan atau bunyi-bunyian, mereka lari ke tempat tersebut dan engkau ditinggalkan berdiri. Oleh karena itu katakanlah (kepada mereka) bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada bunyi-bunyian dan perdagangan itu dan Allah sebaik-baik Zat yang memberi rezeki.” (al-Jumu’ah: 11)
Oleh karenanya, barangsiapa yang mampu bertahan pada prinsip ini, disertai dengan iman yang kuat, jiwanya penuh taqwa kepada Allah dan lidahnya komat-kamit berzikrullah, maka layak dia akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin dan syuhada’.
Dari fi’liyah (perbuatan) Rasulullah sendiri kiranya cukup bukti bagi kita untuk mengetahui sampai di mana kedudukan perdagangan itu, bahwa di samping beliau sangat memperhatikan segi-segi mental spiritual sehingga didirikannya masjid di Madinah demi untuk bertaqwa dan mencari keridhaan Allah dengan tujuan sebagai jami’ tempat beribadah, institut, lembaga da’wah dan pusat pemerintahan, maka Rasulullah memperhatikan pula segi-segi perekonomian. Untuk itu maka didirikannya pasar Islam yang langsung berorientasi pada syariat Islam, bukan pasar yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti halnya pasar Qainuqa’ dulu.
Pasar Islam ini langsung diawasi oleh Rasulullah sendiri. Beliau sendiri yang mentertibkan subjek-subjeknya dan beliau pula yang langsung mengurus dengan memberi bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan. Sehingga dengan demikian tidak ada penipuan, pengurangan timbangan, penimbunan, cukong-cukong dan lain-lain yang insya Allah hadis-hadis yang menerangkan hal itu akan kami tuturkan di bab Mu’amalat nanti dalam fasal halal dan haram tentang kehidupan secara umum bagi setiap muslim.
Dalam sejarah perjalanan para sahabat Nabi, kita dapati juga, bahwa di antara mereka itu ada yang bekerja sebagai pedagang, pertukangan, petani dan sebagainya.
Rasulullah berada di tengah-tengah mereka di mana ayat-ayat al-Quran itu selalu turun kepadanya, beliau berbicara kepada mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat Jibril senantiasa datang kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah. Semua sahabatnya mencintai beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin meninggalkan beliau walaupun hanya sekejap mata.
Oleh karena itu, maka kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti apa yang dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang berusaha mencari pencaharian dan perusahaan. Dan yang tidak tahu tentang ajaran Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada rekan-rekannya yang lain. Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang mengetahui supaya menyampaikan kepada yang tidak tahu.
Sahabat Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada umumnya ahli dalam perdagangan dan menempa dalam pasar. Misalnya Abdurrahman bin ‘Auf seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya Saad bin ar-Rabi’ salah seorang Anshar separuh kekayaan dan rumahnya serta disuruhnya memilih dari salah seorang isterinya supaya dapat melindungi kehormatan kawannya itu. Abdurrahman kemudian berkata kepada Saad: Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap hartamu dan isterimu, saya tidak perlu kepadanya. Selanjutnya kata Abdurrahman: Apakah di sini ada pasar yang bisa dipakai berdagang? Jawab Saad: Ya ada, yaitu pasar Bani Qainuqa’. Maka besok paginya Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju dan samin. Dia jual-beli di sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi seorang pedagang muslim yang kayaraya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih bertumpuk-tumpuk.
Abubakar juga bekerja sebagai pedagang, sehingga pada waktu akan dilantik sebagai khalifah beliau sedang bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan lain-lain.
Pendirian Gereja Tentang Masalah Dagang
Begitulah masyarakat Islam dalam menghadapi dunianya dalam naungan agamanya, mereka berdagang, juga membeli. Tetapi perdagangan dan jual-belinya itu tidak sampai melupakan berzikrullah. Dimana waktu itu orang-orang di abad-abad pertengahan kebanyakannya di bawah kekuasaan raja-raja dan negara-negara Eropah Kristen masih bimbang dalam menghadapi pertentangan yang hebat antara fikiran-fikiran apa yang disebut penyelamatan yakni menyelamatkan diri dari dosa yang menyelubunginya. Fikiran ini bertentangan dengan fikiran Aklirus yang menganjurkan berusaha dan berdagang di satu pihak, dan di pihak lain adanya perkataan yang berkumandang, bahwa celakalah manusia yang berani menantang ajaran pemimpin-pemimpin agama (rijaluddin) dan sibuk dengan urusan pencaharian, perusahaan dan perdagangan. Dikatakannya juga, bahwa dosa bukan hanya suatu kejelekan yang pelakunya akan dibalas sesuai dengan banyaknya dosa yang dilakukan, tetapi dosa, seperti yang biasa dikatakan, yaitu dosa abadi dan laknat di bumi dan langit dalam kehidupan di dunia dan akhirat nanti,
Untuk itu seorang Uskup bernama Agustine mengatakan: “Kesungguhan dalam urusan perdagangan pada hakikatnya suatu dosa, karena dapat memalingkan orang dari ingat kepada Allah,”
Yang lain pun berkata: “Seseorang yang membeli sesuatu kemudian pulang dan menjualnya lagi dengan tidak ada imbangan yang harus dia lakukannya, maka orang tersebut akan termasuk golongan pedagang yang menjauhkan sorga dan kesuciannya.”
Pendapat-pendapat ini tidak lebih hanya latah terhadap ajaran-ajaran Paulus yang mengatakan: Bahwa seorang penganut Masehi tidak layak menentang kawannya yang lain dengan suatu pertentangan yang mematikan. Untuk itu, maka tidak ada perdagangan yang berkembang di kalangan orang-orang Masehi.”
Perdagangan yang Dilarang
Islam pada prinsipnya tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-unsur kezaliman, penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh Islam. Misalnya memperdagangkan arak, babi, narkotik, berhala, patung dan sebagainya yang sudah jelas oleh Islam diharamkan, baik memakannya, mengerjakannya atau memanfaatkannya.
Semua pekerjaan yang diperoleh dengan jalan haram adalah suatu dosa. Dan setiap daging yang tumbuh dari dosa (haram), maka nerakalah tempatnya. Orang yang memperdagangkan barang-barang haram ini tidak dapat diselamatkan karena kebenaran dan kejujurannya. Sebab pokok perdagangannya itu sendiri sudah mungkar yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh Islam dengan jalan apapun.
Ini tidak termasuk orang yang memperdagangkan emas dan sutera, karena kedua bahan tersebut halal buat orang-orang perempuan. Justru itu mereka ini kelak di hari kiamat tidak akan dibangkitkan dalam golongan pendurhaka yang ditempatkan di neraka Jahim.
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. keluar ke tempat sembahyang, tiba-tiba dilihatnya banyak manusia yang sedang berjual-beli. Kemudian Rasulullah memanggil mereka: Hai para pedagang! … Mereka pun lantas menjawab dan mengangkat kepala dan pandangannya. Maka kata Rasulullah:
“Sesungguhnya pedagang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan sebagai pendurhaka, kecuali orang yang takut kepada Allah, baik dan jujur.” (Riwayat Tarmizi, Ibnu Majah dan Hakim. Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)
Dari Watsilah bin al-Asqa’ ia berkata: “Rasulullah pernah keluar menuju kami –sedang kami adalah golongan pedagang– maka kata beliau: ‘Hai para pedagang, hati-hati kamu jangan sampai berdusta.'” (Riwayat Thabarani)
Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta, karena dusta itu merupakan bahaya (lampu merah) bagi pedagang. Dan dusta itu sendiri dapat membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada neraka.
Di samping itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muliammad s.a.w. pernah bersabda:
“Tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih, salah satu di antaranya ialah: Orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli) karena sumpah dusta.” (Riwayat Muslim)
“Dari Abu Said ia berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor kambing, kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu jual dengan tiga dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi tiba-tiba dia jual dengan tiga dirham juga. Saya utarakan hal itu kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah menjual akhiratnya dengan dunianya.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Di samping itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat keluar dari lingkungan umat Islam.
Hindari pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran itu membawa celaka, seperti firman Allah: Wailul lil muthaffifin (celakalah orang-orang yang mengurangi takaran).
Dan hindari pulalah dari penimbunan, sehingga Allah dan RasulNya tidak akan membiarkan dia begitu saja.
Terakhir, hindarilah perbuatan riba. Karena sesungguhnya Allah akan menghancurkannya.
Seperti tersebut dalam hadis yang mengatakan:
“Satu dirham uang riba dimakan oleh seseorang, sedangkan dia tahu (bahwa uang tersebut adalah uang riba), akan lebih berat (siksaannya) daripada tigapuluh enam kali berzina.”37 (R iwayat Ahmad)
Penjelasan satu persatu persoalannya ini, insya Allah akan kami terangkan nanti di bab Mu’amalat.
Bekerja Sebagai Pegawai
Seorang muslim boleh saja bekerja mencari rezeki dengan jalan menjadi pegawai, baik itu pegawai negeri atau swasta, selama dia mampu memikul pekerjaannya dan dapat menunaikan kewajiban. Tetapi di samping itu seorang muslim tidak boleh mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukan ahlinya, lebih-lebih menduduki jabatan hakim.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
“Siallah Amir, siallah kepala dan siallah kasir. Sungguh ada beberapa kaum yang menginginkan kulit-kulitnya itu bergantung di bintang yang tinggi, kemudian mereka akan diulurkan antara langit dan bumi, karena sesungguhnya mereka itu tidak pernah menguasai suatu pekerjaan.” (Riwayat Ibnu Hibban dan al-Hakim, ia sahkan sanadnya)
Abu Dzar pernah juga meminta kepada Nabi untuk diberi suatu jabatan, maka oleh Nabi ditepuknya pundak Abu Dzar sambil beliau bersabda:
“Hai Abu Dzar! Engkau orang lemah, kekuasaan adalah suatu amanat dan kelak di hari kiamat akan menyusahkan dan menyesalkan, kecuali orang yang dapat menguasainya karena haknya dan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.” (Riwayat Muslim)
Dan sabda Rasulullah juga tentang masalah hakim sebagai berikut:
“Hakim itu ada tiga macam: Satu di sorga dan dua di neraka. Yang di sorga, yaitu seorang hakim yang tahu kebenaran dan ia menghukum dengan kebenaran itu. (2) Seorang laki-laki yang tahu kebenaran tetapi dia menyimpang dari kebenaran itu, maka dia berada di neraka. (3) Seorang laki-laki yang menghukum manusia dengan membabi-buta (bodoh), maka dia di neraka.” (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Majah)
Jadi sebaiknya seorang muslim tidak perlu ambisi kepada kedudukan-kedudukan yang besar dan berusaha di belakang kedudukan itu sekalipun dia ada kemampuan. Sebab kalau kedudukannya itu dijadikan pelindung, maka kedudukannya itu sendiri akan menghambat dia. Dan barangsiapa mengarahkan setiap tujuannya itu untuk show di permukaan bumi ini, maka dia tidak akan peroleh taufik dari lanqit.
Telah bersabada Rasulullah s.a.w. kepadaku:
“Hai Abdurrahman! Jangan kamu minta untuk menjadi kepala, karena kalau kamu diberinya padahal kamu tidak minta, maka kamu akan diberi pertolongan, tetapi jika kamu diberinya itu lantaran minta, maka kamu akan dibebaninya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Dari Anas, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa mencari penyelesaian suatu hukum tetapi dia minta supaya dibela, maka hal itu akan dibebankan kepada dirinya. Dan barangsiapa dipaksakannya, maka Allah akan mengutus Malaikat supaya meluruskannya.” (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Ini, kalau dia tidak tahu, bahwa orang lain tidak akan mampu mengatasi kekosongan itu dan apabila dia tidak tampil niscaya kemaslahatan akan berantakan dan retak tali persoalan. Kalau dia tahu hanya dialah yang mampu, maka dia boleh bersikap seperti apa yang dikisahkan al-Quran kepada kita tentang Nabiullah Yusuf a.s. dimana ia berkata kepada tuannya:
“Jadikanlah aku untuk mengurus perbendaharaan (gudang) bumi, karena sesungguhnya aku orang yang sangat menjaga dan mengetahui.” (Yusuf: 55)
Demikianlah tata-tertib Islam dalam mengatur masalah mencari pekerjaan-pekerjaan yang bersifat politis dan sebagainya.
Kepegawaian yang Diharamkan
Diperbolehkannya bekerja sebagai pegawai seperti yang kami katakan di atas, diikat dengan suatu syarat tidak menjadi pegawai yang membahayakan kaum muslimin. Oleh karena itu seorang muslim tidak halal bekerja sebagai pegawai atau prajurit dalam ketenteraan yang memerangi kaum muslimin atau bekerja sebagai pegawai dalam suatu pabrik yang memproduksi senjata untuk memerangi kaum muslimin. Dan tidak boleh seorang muslim bekerja sebagai pegawai suatu lembaga yang melawan Islam dan memerangi umatnya. Termasuk juga pegawai yang membantu kepada perbuatan zalim dan haram, seperti pekerjaan yang meribakan uang, tempat arak, tempat dansa atau di tempat-tempat permainan yang kosong dan sebagainya.
Mereka ini semua tidak dapat dibebaskan dari dosa. Tidak berarti mereka tidak bersekutu dan tidak berbuat haram. Sebab seperti prinsip-prinsip yang telah kami kemukakan sebelumnya, bahwa menolong perbuatan haram berarti haram. Justru itulah Rasulullah s.a.w. melaknat juru tulis riba dan dua orang saksinya sebagaimana dilaknatnya orang yang makan riba. Pembuat dan pelayan yang menuangkan arak dilaknat seperti dilaknat orang yang minum.
Ini semua berlaku dalam keadaan yang tidak terpaksa (normal) dimana seorang muslim harus memasukinya demi mencari rezeki. Kalau ternyata dalam keadaan yang memaksa, maka dapat dinilai menurut keperluannya itu, yaitu menjadi makruh dengan syarat dia harus tetap berusaha untuk mencari pekerjaan lain yang halal dan jauh dari dosa-dosa.
Setiap muslim harus menjaga dirinya dari hal-hal yang masih syubhat, dimana syubhat itu dapat menipiskan agama dan melemahkan keyakinan, betapapun besarnya gaji dan berharganya pekerjaan tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu, beralih kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (Riwayat Ahmad. Tarmizi, Nasa’i, Ibnu Hibban dalam sahihnya dan Hakim, Tarmizi berkata: hadis ini hasan sahih).
Dan sabdanya pula:
“Seseorang tidak akan mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang taqwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang mubah karena takut kepada berbuat sesuatu yang dilarang.” (Riwayat Tarmizi)
Pedoman Secara Umum Tentang Bekerja
Pedoman secara umum tentang masalah kerja, yaitu Islam tidak membolehkan pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka hatinya dan dengan jalan apapun yang dimaksud. Tetapi Islam memberikan kepada mereka suatu garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan juga kepada masalah kemaslahatan umum. Garis pemisah ini berdiri di atas landasan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mengatakan: “Bahwa semua jalan untuk berusaha mencari uang yang tidak menghasilkan manfaat kepada seseorang kecuali dengan menjatuhkan orang lain, adalah tidak dibenarkan. Dan semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara individu-individu dengan saling rela-merelakan dan adil, adalah dibenarkan.”
Prinsip ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha belas-kasih kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan sikap permusuhan dan penganiayaan, maka kelak akan Kami masukkan dia ke dalam api neraka.” (an-Nisa’:29-30)
Ayat ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal:
- Perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak.
- Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak lain.
Syarat kedua ini dapat kita ambil dari kata-kata dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu.
Perkataan ini ditafsirkan oleh ahli-ahli tafsir dalam dua pengertian yang masing-masing sesuai dengan proporsinya:
Arti pertama: Satu sama lain tidak boleh bunuh membunuh.
Arti kedua: Kamu tidak boleh membunuh diri diri kamu dengan tangan-tangan kamu sendiri.
Walhasil ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri (vested interest). Sebab hal demikian, seolah-olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi, menipu, mengaburkan, mengelabui, riba dan lain-lain pekerjaan yang diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan.
Tetapi apabila sebagian itu diperoleh atas dasar saling suka sama suka, maka syarat yang terpenting jangan kamu membunuh diri kamu itu tidak ada
***
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu’ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
Komentar
Posting Komentar