Sejarah Rasulullah SAWW (Bagian 5)
Setelah
terjadinya perang Uhud yang merupakan pembalasan dendam suku Quresy
atas kekalahan telaknya pada perang Badr, kekuatan kaum muslimin di
Madinah mulai diperhitungkan. Munculnya kekuatan baru yang membawa
simbol keagamaan baru dirasa oleh banyak suku Arab sebagai ancaman yang
serius. Untuk itu, ketika Abu Sufyan meminta dukungan dana dan tentara
dari suku-suku tersebut untuk memerangi Madinah dan menghancurkan kaum
muslimin, segera terkumpul pasukan dan dana yang besar.
Pada
tahun kelima hijriyah, sekelompok orang Yahudi datang ke Mekah untuk
memprovokasi kaum kafir Quresy agar menyerang kaum muslimin di Madinah.
Untuk memperkuat pasukan, Quresy meminta bantuan suku-suku Arab lainnya
yang memendam permusuhan dengan Rasulullah SAW. Dalam perang ini, Quresy
juga meminta bantuan suku-suku Arab yang memiliki perjanjian militer
dengannya. Akhirnya, Abu Sufyan berhasil menghimpun kekuatan sebesar 10
ribu tentara. Jumlah ini dipandang amat besar untuk menyerang sebuah
kota yang jumlah penduduknya baik laki-laki, perempuan, anak kecil
maupun orang lanjut usia, hanya sekitar 10 ribu orang.
Ketika berita rencana serangan pasukan besar yang dikenal dengan Ahzab
ini sampai ke telinga Rasulullah SAW, beliau mengumpulkan para
sahabatnya untuk meminta pendapat mereka. Pada saat itu, Salman
Al-Farisi, sahabat Nabi yang berasal dari negeri Persia mengatakan,
bahwa orang-orang di negerinya biasa menggali parit ketika
mengkhawatirkan serangan musuh. Pendapat ini akhirnya disetujui oleh
Nabi SAW.
Rasul
memerintahkan para sahabatnya untuk menggali parit di sepanjang wilayah
utara kota Madinah. Sebab, daerah utaralah satu-satunya pintu yang
mudah untuk memasuki kota Madinah, mengingat bukit-bukit bebatuan yang
membentengi kawasan timur dan barat kota ini sehingga musuh tidak
mungkin menyerang dari sana. Bukit-bukit itu juga relatif menutupi
kawasan selatan kota Madinah, meski tetap meninggalkan celah-celah
kecil.
Selama
enam hari, seluruh kaum muslimin termasuk pemimpin mereka, yaitu
Rasulullah SAW bahu membahu menggali parit. Setelah parit siap, pasukan
kaum muslimin mengambil posisi pertahanan di dalam kota Madinah. Dan
pasukan pemanah juga telah siap di posisi masing-masing.
Di
saat seperti itu, Yahudi bani Quraidhah yang tinggal di Madinah merobek
isi perjanjian damai dengan Rasulullah. Tidak hanya itu, mereka juga
bersiap-siap melakukan pengkhianatan dan membantu pasukan Ahzab untuk
menghabisi kaum muslimin. Akibatnya, umat Islam menghadapi musuh yang
besar di luar dan musuh di dalam.
Pasukan
kafir terperangah ketika menyaksikan bentangan parit yang menghalangi
gerak maju mereka. Bangsa Arab saat itu tidak mengenal strategi
pertahanan dengan membuat parit. Di luar parit pasukan Ahzab mendirikan
kemah. Beberapa kali pasukan berkuda Ahzab berusaha menyeberang parit,
namun usaha mereka gagal setelah pasukan muslimin menghalau mereka
dengan hujan anak panah.
Suatu
ketika, beberapa jawara Ahzab termasuk Amr bin Abdi Wad berhasil
menyebrangi parit melalui bagian yang relatif sempit. Di sanalah, Amr
dengan congkaknya menantang siapa saja yang berani untuk bertarung
dengannya. Hanya Ali bin Abi Thalib yang menjawab tantangan itu, karena
Amr bin Abdi Wad dikenal sebagai pahlawan Arab yang keberaniannya paling
kesohor. Nabi SAW melilitkan serbannya di kepala Ali dan mendoakannya.
Ali
yang mewakili kaum muslimin kini berhadap-hadapan dengan Amr yang
mewakili kubu kaum kafir. Debu-debu beterbangan dan serunya pertarungan
itu hanya bisa didengar dari dentingan suara pedang. Semua menantikan
hasil pertarungan itu dengan hati berdebar-debar. Tak lama kemudian
terdengar pekik takbir Ali yang menandakan terbunuhnya Amr di tangan
pahlawan muslim ini. Kemenangan Ali atas Amr dipuji oleh Rasulullah SAW
dalam sebuah hadisnya. Beliau bersabda, pukulan Ali pada perang parit
lebih mulia dari ibadah seluruh manusia dan jin.
Kekalahan
Amr telah menebar kekecewaan dan keputus-asaan di hati kaum kafir.
Bertiupnya badai yang memporakporandakan perkemahan mereka dan minimnya
persediaan rumput untuk binatang ternak dan kuda-kuda mereka telah
mengendurkan tekad untuk menyerang kota Madinah. Akhirnya Abu Sufyan
yang menjadi komandan pasukan Ahzab memerintahkan untuk berkemas dan
kembali ke Mekah.
Kisah perang Ahzab secara cukup detail diceritakan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab.
Sebagaimana
yang telah disinggung sebelum ini, ada tiga kabilah Yahudi yang tinggal
di Madinah dan sekitarnya. Mereka adalah kabilah Bani Qainuqa, bani
Nadhir dan Bani Quraidhah. Dengan mereka inilah Nabi SAW mengikat
perjanjian untuk tidak saling mengganggu. Perjanjian ini dibuat untuk
menciptakan suasana damai di Madinah antar beberapa kelompok untuk bisa
hidup berdampingan dengan damai.
Namun
ketiga kabilah Yahudi tersebut akhirnya melakukan pengkhianatan dan
pelanggaran terhadap kesepakatan. Kabilah Bani Qainuqa dan kabilah bani
Nadhir diusir dari Madinah kerena pengkhianatan mereka. Sedangkan bani
Quraidhah mendapatkan hukuman yang lebih berat karena pengkhianatan
mereka yang amat besar. Seperti yang telah dijelaskan tadi, di saat kaum
muslimin Madinah menghadapi ancaman serangan pasukan Ahzab yang
berjumlah sepuluh ribu orang, Yahudi bani Quraidhah merobek isi
perjanjian damai mereka dengan Rasulullah.
Pengkhianatan
yang dilakukan oleh kelompok sedemikian besar sehingga mengancam
keamanan seluruh Madinah. Setelah berakhirnya perang Ahzab atau perang
Khandaq yang diwarnai dengan kepulangan pasukan kafir ke negeri
masing-masing, Allah swt memerintahkan Nabi-Nya untuk mengepung dan
menyerang bani Quraidhah. Dengan posisi yang terjepit dan mental yang
telah melemah karena kepergian pasukan Ahzab, bani Quraidhah menyerah di
tangan Nabi SAW.
Nabi
SAW memberikan wewenang kepada Saad bin Mu’adz, pemimpin Aus yang dulu
sekutu dekat kelompok ini, untuk memutuskan hukuman apa yang akan
dijatuhkan terhadap bani Quraidhah. Saad memutuskan untuk memenggal
kepala orang-orang lelaki dari kelompok ini dan menawan anak kecil dan
kaum wanitanya. Vonis ini disebut oleh Rasulullah sebagai vonis ilahi.
Komentar
Posting Komentar